Saturday, April 28, 2007

Mahasiswa Sebagai Pelanggan Lembaga Pendidikan Tinggi Dalam Perspektif Manajemen dan Pemasaran

Konsep pemasaran yang dipelajari di sekolah bisnis membantah bahwa kebutuhan pelanggan menjadi fokus perusahaan dalam mendefinisikan tujuan bisnisnya dan laba dihasilkan melalui terciptanya kepuasan pelanggan (Snipes, Thomson, 1999). Oleh karena itu memenangkan strategi bisnis harus dimulai dengan suatu analisis yang menyangkut kinerja yang telah dicapai perusahaan dibandingkan dengan harapan pelanggan, khususnya layanan yang diberikan oleh industri. Smith dan Morgan (1990) menjelaskan bahwa staf administrasi dan akademik lembaga pendidikan tinggi tidak bisa lagi mengabaikan kebutuhan mahasiswa yang spesifik sebagai konsumen, yakni keinginan dan kepuasan mahasiswa harus bersesuaian. Hal ini disebabkan karena kebutuhan akan pemasaran lembaga pendidikan tinggi, khususnya di Indonesia mendapat porsi yang besar saat ini berkaitan dengan beberapa faktor seperti misalnya keterbatasan dana, meningkatnya program dan kebutuhan akan layanan, serta meningkatnya kompetisi lembaga pendidikan tinggi sejenis. Bagaimanapun pendidikan tinggi yang berorientasi hanya menjual jasa masih lazim dilakukan, karena tampaknya lembaga pendidikan tinggi masih memusatkan perhatiannya pada kebutuhan mereka sendiri dan mempertimbangkan mahasiswa hanya sebatas sebagai masukan untuk memuaskan kebutuhan lembaga. Ada beberapa pertimbangan yang mungkin berkaitan pada fokus kepuasan pelanggan lembaga pendidikan tinggi, mungkin ini karena alasan pertimbangan ekonomi sehingga kepuasan mahasiswa sebagai pelanggan tidak bisa direalisasikan seketika. Hasil penelitian menyatakan bahwa usaha untuk meningkatkan kepuasan mahasiswa sebagai pelanggan lembaga terutama akan berpengaruh pada masa depan mahasiswa, oleh karena itu jika pertumbuhan ekonomi sudah pulih maka meningkatkan kepuasan pelanggan akan dapat direalisasikan dalam waktu yang akan datang (Anderson, Fornell & Lehmann, 1994). Alasan yang lain bahwa kepuasan pelanggan tidak menjadi fokus mungkin disebabkan oleh mutu layanan, walaupun mutu layanan dianggap penting tetapi sulit untuk mendefinisikan, mengukur, dan memelihara. Beberapa peneliti setuju bahwa mutu layanan terabaikan dan secara abstrak sulit untuk mendefinisikan dan mengukurnya (Cronin & Taylor, 1992; Carman, 1990).

Persepsi pelanggan (mahasiswa) pada mutu layanan (pendidikan) tidak perlu sama dengan persepsi lembaga tentang mutu layanan yang disampaikannya, dan itu sulit mengukurnya. Beberapa perusahaan secara sederhana bahwa mutu hanya diukur dalam perspektif proses produksi saja (Gronroos, 1990). Namun saat ini perusahaan mulai menyadari bahwa ukuran mutu yang dihasilkan tidak sesuai dengan persepsi pelanggan terhadap mutu, dan ini juga terjadi pada lembaga pendidikan, sehingga akhirnya hanya pelanggan dan bukan manajemen yang harus diperhitungkan dalam pasar yang penuh persaingan untuk merebut pelanggan. Kepuasan dan persepsi pelanggan (mahasiswa) akan menjadi pendorong pergeseran mutu. Beberapa peneliti pemasaran mengusulkan bahwa beberapa keuntungan yang diperoleh dari pelanggan perlu ditingkatkan. Kepuasan mempunyai dua bentuk dasar, yakni kemampuan perusahaan (lembaga pendidikan) untuk menarik pelanggan (mahasiswa) baru perlu ditingkatkan, dan kemampuan dari perusahaan (lembaga pendidikan) untuk memelihara pelanggan atau loyalitas pelanggan (Karat, Zahorik, & Keiningham, 1995).

Friday, April 20, 2007

Students’ Perception of Assessment Questionnaire (SPAQ)

Peran dan fungsi penilaian yang dilakukan oleh siswa dalam kelas mereka dapat dipandang dari dua perspektif yang saling berhubungan, yang pertama sebagai bagian dari proses pengajaran, dan yang kedua sebagai bagian dari proses belajar siswa. Penilaian yang dilakukan secara tradisional diidentifikasi sebagai suatu komponen yang penting dalam pengajaran. Barry dan King (1998 : 330) mengusulkan model dengan tiga tahapan, yakni model tahap pengajaran di mana pengajaran sebagai proses perencanaan yang berulang, proses pengajaran itu sendiri, dan evaluasi. Mereka juga mengidentifikasi bahwa tujuan penilaian ini mempunyai hubungan antara orang yang terlibat di dalamnya (siswa, guru, orangtua) dengan lembaga yang menggunakan hasil penilaian (sekolah, sistem pendidikan, pemerintah, pemberi kerja, lembaga yang lain, dan masyarakat pada umumnya).

Bagaimanapun, format dan tugas penilaian yang spesifik diberlakukan di sekolah dan diputuskan oleh para guru dan administrator pendidikan. Dalam penilaian ini, Barry dan King (1998 : 330) juga mempertimbangkan apa yang terjadi di dunia saat ini, penilaian yang berguna untuk meningkatkan belajar siswa, menghasilkan umpan balik yang berkaitan dengan kemajuan proses belajar mengajar, memotivasi siswa, membangun keyakinan dan percaya diri, dan mengembangkan ketrampilan dalam melakukan evaluasi. Reynolds, Doran, Allers, dan Agruso (1995) juga berargumentasi bahwa belajar yang efektif akan terjadi, jika antara proses pengajaran, penilaian, dan hasil belajar siswa saling berhubungan. Oleh karena itu penilaian merupakan suatu komponen inti dalam pengajaran, dan sebagai peran kunci dalam belajar siswa.

Kuisener yang berkaitan dengan penilaian siswa dikembangkan oleh Schaffner et al. (2000) dikenal sebagai SPAQ (Students’ Perception of Assessment Questionnaire), di mana para siswa diminta untuk merespon 55 item pernyataan yang berkaitan dengan perasaan mereka tentang apa yang dilakukan oleh guru selama proses pengajaran berlangsung, dan sejauh mana mereka mendapatkan sesuatu yang telah dipelajarinya. SPAQ meliputi lima aspek yang diukur :

·Congruence with Planned Learning : sejauh mana tugas yang dinilai, materi ujian yang diberikan sesuai sasaran, tujuan, dan kegiatan program pembelajaran.

·Authencity : sejauh mana tugas-tugas dan ujian yang diberikan sesuai dengan situasi nyata yang dialami siswa.

·Student Consultation : sejauh mana para siswa dapat berkonsultasi dan mendapat informasi yang berkaitan dengan tugas-tugas yang diberikan.

·Transparency : sejauh mana tujuan dan bentuk dan materi tugas, ujian dijelaskan dengan sunguh-sungguh kepada siswa.

·Diversity : sejauh mana para siswa mempunyai kesempatan yang sama dalam mengerjakan tugas.

Friday, April 6, 2007

Hubungan Antara Student Outcomes Dengan Lingkungan Pembelajaran Di Kelas

Skala untuk mengukur hasil belajar siswa (Student Outcomes Scales) terdiri dari dua instrumen, instrumen pertama digunakan untuk mengukur sikap siswa terhadap suatu mata pelajaran dan instrumen kedua untuk mengukur kemanjuran akademik siswa (student academic efficacy).

Sikap siswa terhadap suatu mata pelajaran adalah pengukuran yang dilakukan untuk mengetahui sejauh mana para siswa tertarik, menikmati dan mengharapkan pelajaran sesuai dengan materi yang akan diberikan. Untuk menyelidiki sikap siswa terhadap suatu mata pelajaran, suatu instrumen telah dikembangkan. Instrumen ini sebenarnya didasarkan pada Test of Science-Related Attitudes (TOSRA; Fraser, 1981), terdiri dari 70 item yang dikelompokkan dalam enam skala yang berbeda. Enam skala itu yakni : sikap terhadap suatu mata pelajaran (attitude toward the subject matter), sikap terhadap pemeriksaan hal-hal yang bersifat ilmiah (attitude toward scientific inquiry), sikap dalam mengadopsi hal-hal yang bersifat ilmiah (adoption scientific attitudes), kenikmatan yang diperoleh dari pengalaman belajar (enjoyment of the learning experience), tertarik pada suatu mata pelajaran yang tersedia sebagai bagian dari pengalaman belajar (interest in the subject matter at hand, apart from the learning experience), dan tertarik pada karir di bidang ilmu pengetahuan (career interest in science). Contoh item yang berkaitan dengan sikap siswa terhadap suatu mata pelajaran, misalnya : Dalam suatu eksperimen, aku dapat mengenali apa yang terjadi dalam diriku.

Kemanjuran akademik siswa (Student Academic Efficacy) merupakan sub-bidang kajian dari self efficacy yang mengacu pada pertimbangan pribadi tentang kemampuan mereka dalam mengorganisir, melaksanakan berbagai macam kegiatan pengajaran dalam meningkatkan kinerja mereka dalam pendidikan (Zimmerman, 1995). Self-Efficacy menyatakan suatu aspek dari teori kognitif sosial Bandura ( 1997), dan dipercaya berkaitan dengan penilaian seseorang tentang apa yang dapat mereka lakukan berkenaan dengan ketrampilan yang dimilikinya, dan sejauh mana seseorang yakin akan kemampuan yang dimilikinya (Bandura, 1986). Self-efficacy siswa dapat mempengaruhi beberapa aspek perilaku yang penting dalam belajar. Penelitian yang dilakukan di masa lampau telah menemukan bahwa self-efficacy yang tinggi secara positif mempengaruhi perilaku seseorang dalam bekerja, berusaha, ketekunan, dalam mencapai sasaran dan meningkatkan kinerja (Bandura, 1982, 1989; Schunk, 1989; Zimmerman, Bandura,& Martinez-Pons, 1992). Peningkatan self-efficacy seseorang seringkali akan mengakibatkan seseorang bersedia lebih terlibat dan tugas merupakan suatu tantangan (Pajares, 1996). Sikap siswa terhadap Academic Efficacy dimodifikasi dari skala yang dikembangkan oleh Jink dan Morgan (1999). Contoh item yang berkaitan dengan sikap siswa terhadap kemanjuran akademik mereka, misalnya : Saya lebih baik dibanding teman sekelasku dalam mata pelajaran matematika.

Penelitian pada lingkungan pembelajaran di kelas secara konsisten mempunyai hubungan dengan hasil belajar siswa (student outcomes) dalam cakupan lintas antar negara, bahasa, kultur, mata pelajaran, dan tingkat pendidikan ( Fraser, 1998a, 1998b, 2002a). Koul dan Fisher (2002) melakukan penyelidikan yang pertama di India dengan mempertimbangkan sikap siswa dan persepsi siswa terhadap lingkungan pembelajaran di kelas mereka. Mereka menggunakan skala WIHIC dan skala sikap siswa terhadap mata pelajaran ilmu pengetahuan alam di kelas mereka, dengan melibatkan 1021 siswa kelas 9 dan 10, dan menemukan hubungan positif antara sikap siswa terhadap mata pelajaran ilmu pengetahuan alam dengan skala WIHIC (Apa yang terjadi di kelas ini). Pajares ( 1996) menyelidiki kemanjuran akademis pada beberapa tugas yang berkaitan dengan mata pelajaran matematika, dan dengan cara yang sama Schunk dan Rice (1993) mengkaji self-efficacy antar siswa yang menerima perbaikan layanan pendidikan. Zeldin dan Pajares (2000) baru-baru ini juga menyelidiki self-efficacy para wanita dalam bidang matematika, karier di bidang sain dan teknologi. Beberapa kajian penelitian telah menyajikan secara konsisten, dengan bukti yang meyakinkan kemanjuran akademik mempunyai hubungan positip dengan motivasi akademik (e.g. Schunk & Hanson, 1985), ketekunan ( lyman Et al, 1984), kinerja memori (Berry, 1987), dan kinerja akademis siswa (Schunk, 1989).

Dorman, J.P., Fisher, D.L., dan Waldrip, B.G. (http://www.worldcebooks.com/education/ etlxbook/5946/5946.chap1.pdf) mengidentifikasi beberapa faktor dari lingkungan pembelajaran di kelas yang berpengaruh pada hasil belajar siswa (sikap dan academic efficacy siswa), antara lain skala Dukungan Guru, Keterlibatan Siswa, dan Berorientasi pada Tugas berpengaruh pada academic siswa, sedangkan skala Kekompakan Siswa, Dukungan Guru, Berorientasi pada Tugas, dan Kesetaraan berpengaruh pada sikap siswa terhadap ilmu pengetahuan.