Wednesday, August 6, 2008

Instrumen CUCEI

Fraser et al. (1996) telah mengembangkan suatu instrumen lingkungan pembelajaran di kelas (learning environment) di tingkat universitas atau sekolah tinggi, yakni kuisener College and University Classroom Environment Inventory disingkat CUCEI.
Sebagai mana instrumen yang sejenis merupakan skala yang dapat memprediksi hasil belajar siswa dengan apa yang terjadi pada lingkungan pembelajaran di kelas, dan juga mencerminkan pandangan baru dalam belajar secara kognitif.
Skala CUCEI terdiri dari tujuh sub-skala, yakni :
  1. Personalisation : beberapa hal yang berkaitan dengan perhatian Dosen kepada mahasiswa, seperti mudah ditemui (approachable), suka menolong (helpful), mau mendengarkan (responsive), mampu menjelaskan (able to explain), mudah dihubungi (accessibility), Innovation : beberapa hal yang berkaitan dengan pengajaran (lectures), penilaian (assessment), sumber belajar dan pendekatan cara mengajar (resources and teaching approaches),
  2. Student Cohesion : sejauh mana mereka saling memahami, saling menolong dan memberikan dorongan antara seorang mahasiswa dengan mahasiswa yang lain,
  3. Task Orientation : sejauh mana para mahasiswa memandang semua kegiatan pembelajaran penting, seperti menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan Dosen dan tetap berfokus pada pelajaran, . : sejauh mana para mahasiswa bekerja sama dan bukannya bersaing satu sama lain dalam tugas-tugas yang diberikan pada suatu pelajaran,
  4. Individualisation, dan
  5. Equity : sejauh mana para mahasiswa diperlakukan setara, atau sederajad oleh Dosen dalam proses pembelajaran.Instrumen ini masing-masing terdiri dari 49 item, dengan tujuh item untuk tiap-tiap skala, serta menggunakan respon pilihan menggunakan model skala Linkert (sangat tidak setuju – sangat setuju).
Kata kunci : learning environment, College and University Classroom Environment Inventory
Catatan : instrumen/skala dalam artikel ini dan e-book yang berkaitan dengan hal itu dapat dipesan lewat hand_oz@yahoo.com

Tuesday, August 5, 2008

Principles of Adult Learning Scale (PALS)

Menurut Conti (2004), istilah gaya mengajar seorang guru/dosen mengacu pada mutu yang berbeda yang diperlihatkan oleh seorang guru, konsisten dari suatu situasi ke situasi yang lain tanpa melihat materi yang sedang diajarkan.
Didasarkan pada rujukan di atas, Dupin-Bryant (2004) mendefinisikan gaya mengajar (teaching style) seorang guru yang berfokus pada siswa sebagai gaya mengajar yang responsif, kolaboratif, berfokus pada masalah, dan demokratis di mana guru dan siswa dapat memutuskan bagaimana, apa, dan kapan pelajaran dilaksanakan (p. 42). Di sisi lain, gaya mengajar seorang guru yang berfokus pada guru (teacher centered) merupakan gaya mengajar yang sangat formal, dikendalikan oleh guru, dan sangat otokratis di mana guru akan mengarahkan bagaimana, apa, dan kapan siswa belajar (p. 42).
Untuk menilai gaya mengajar seorang guru, Conti (1979) mengembangkan suatu skala lewat disertasinya, yakni Principles of Adult Learning Scale (PALS). Sejak tahun 1979, PALS telah mengalami beberapa kali perbaikan (Conti, 1983, 1985, 2004). Beberapa pengujian terhadap konstruk itu telah dilakukan, PALS telah terbukti mempunyai validitas content dan reliabilitas yang tinggi untuk menguji gaya mengajar seorang guru (Conti 1979, 1982, 1983; Premont, 1989; Parisot, 1997).
PALS suatu kuisener yang terdiri dari 44 item dengan responden dapat memberikan respon dari 1 = sangat tidak setuju – 5 = sangat setuju. Skor PALS yang tinggi menandakan bahwa gaya mengajar berpusat pada siswa, sedangkan skor yang rendah menandakan bahwa gaya mengajar hanya berpusat pada guru.
Tujuh faktor yang mendasari penilaian gaya mengajar lewat PALS (Conti, 1985, p : 11) adalah :
  1. Kegiatan yang berpusat pada siswa (Learner-Centered Activities) : Mencerminkan sejauh mana gaya mengajar seorang guru lebih kolaboratif dengan perilaku yang mendorong para siswa untuk lebih bertanggung jawab atas belajar mereka sendiri, mereka yang mendukung gaya mengajar yang berpusat pada guru (teacher-centered) menyukai pengujian formal dibanding teknik evaluasi informal.
  2. Pengajaran yang selaras (Personalizing Instruction) : Mencerminkan sejauh mana seorang guru menggunakan sejumlah teknik di mana pengajaran diselaraskan dengan kebutuhan yang unik dari tiap siswa, dan lebih menekankan kerjasama dibandingkan berkompetisi.
  3. Berhubungan dengan pengalaman (Relating to Experience) : Mencerminkan sejauh mana seorang guru menekankan kegiatan belajar dengan mempertimbangkan pengalamannya dan mendorong siswa mempelajari sesuatu yang relevan dengan beberapa pengalaman mereka saat ini.
  4. Memprediksi kebutuhan siswa (Assessing Student Needs) : Penilaian yang dilakukan oleh seorang guru yang berorientasi ke arah mengenali keinginan masing-masing siswa, memberi konsultasi dan bimbingan secara pribadi pada tugas-tugas yang diberikan.
  5. Membangun iklim (Climate Building) : Mengukur apakah guru telah menciptakan iklim yang baik dan ramah di kelas, mendukung komunikasi dan iteraksi antar siswa. Mengambil suatu resiko juga perlu diajarkan, kesalahan dilihat sebagai bagian dari proses belajar.
  6. Berpartisipasi dalam kegiatan belajar (Participation in the Learning Process) : Mencerminkan sejauh mana seorang guru bertumpu pada siswa dengan mengidentifikasi beberapa masalah mereka dan mempunyai keinginan untuk ikut memecahkannya, mengijinkan para siswa untuk ikut berpartisipasi dalam pengambilan keputusan tentang beberapa topik yang tercakup / akan diberikan di kelas.
  7. Bertindak luwes dalam pengembangan pribadi siswa (Flexibility for Personal Development) : Mencerminkan konsepsi diri seorang guru sebagai fasilitator dan bukan sebagai penyedia pengetahuan. Keluwesan dipelihara dan disesuaikan dengan lingkungan pembelajaran di kelas dan isi kurikulum agar sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan siswa yang berubah.

Kata kunci : teaching style, Principles of Adult Learning Scale (PALS).

Catatan : instrumen/skala dalam artikel ini dan e-book yang berkaitan dengan hal itu dapat dipesan melalui e-mail : hand_oz@yahoo.com.

Monday, August 4, 2008

Adult Classroom Environment Scale (ACES)

Darkenwald dan Valentine (1986), mencatat kurangnya data penelitian pada lingkungan psikososial pembelajaran di kelas (learning environment) untuk pendidikan orang dewasa. Menurut mereka ditemukan banyak fakta bahwa skala lingkungan pembelajaran di kelas yang ada dirancang hanya untuk kelas-kelas pada sekolah dasar dan menengah dan itu tentu tidak valid untuk penelitian yang ditujukan untuk pendidikan orang dewasa. Mereka mengembangkan Skala Adult Classroom Environment (ACES)1, yang digunakan pada lingkungan pembelajaran di kelas untuk pendidikan orang dewasa (dengan berbagai pendekatan), dan terdiri dari tujuh dimensi (tujuh item untuk setiap dimensi). Skala atau instrumen itu menjadi dasar untuk merancang penelitian yang dilakukan terhadap lebih dari 500 orang dewasa (mahasiswa) yang mengikuti program pendidikan sertifikasi (1atau 2 tahun) yang dilaksanakan oleh University College Cork (U.C.C.). Penelitian seperti itu belum banyak dilaporkan sebelumnya yang dilakukan pada orang dewasa Irlandia berkaitan dengan persepsi mahasiswa terhadap lingkungan pembelajaran di kelas mereka.
Tujuh dimensi skala ACES diperlakukan untuk semua mahasiswa yang terdiri dari orang dewasa selama empat minggu pada bulan April 1996, dan menguji ketujuh dimensi berikut (Darkenwald, 1987) :
  1. Affiliation : sejauh mana para siswa saling berhubungan secara positif satu sama lain.
  2. Teacher Support : sejauh mana guru memberikan bantuan, dorongan, tampak bersahabat, dan memberikan perhatian ke pada siswa.
  3. Task Orientation : sejauh mana para siswa dan guru tetap berfokus pada tugas dan prestasi.
  4. Personal Goal Attainment : sejauh mana guru sangat luas memberikan peluang untuk siswa untuk mengejar minat mereka secara individu.
  5. Organization and Clarity : sejauh mana kegiatan kelas disampaikan dengan jelas dan diorganisir secara baik.
  6. Student Influence : sejauh mana guru mengajar dengan berpusat pada siswa dan mempersilahkan para siswa untuk berpartisipasi dalam memutuskan rencana pembelajaran.
  7. Involvement : seberapa jauh kepuasan siswa dipenuhi dan berpartisipasi dengan aktif dan menaruh perhatian dalam suatu kegiatan.
Kata kunci : learning environment, ACES
Catatan : instrumen/skala dalam artikel ini dan e-book yang berkaitan dengan hal itu bisa dipesan lewat e-mail : hand_oz@yahoo.com






Friday, August 1, 2008

Hubungan Antara Iklim Kelas (Classroom Climate) Dengan Prestasi Siswa

Bloom (1964) mendefinisikan iklim dengan kondisi, pengaruh, dan rangsangan dari luar yang meliputi pengaruh fisik, sosial, dan intelektual yang mempengaruhi siswa. Moos (1979 : 81) menggambarkan iklim sekolah sebagai atmosfer sosial sebagai dampak adanya suatu pengaturan atau lingkungan psikososial pembelajaran (learning environment), di mana para siswa mempunyai pengalaman yang berbeda, tergantung dari apa yang disajukan oleh para guru dan administrator sekolah. Selanjutnya Bloom (1964) mengungkapkan bahwa pengukuran di lingkungan psikososial pembelajaran di kelas/sekolah merupakan komponen yang menentukan arah dalam meramalkan dan selalu mencari cara terbaik untuk kesuksesan pembelajar (Anderson & Walberg, 1974). Sejak saat itu banyak penelitian yang menunjukkan bahwa persepsi siswa terhadap lingkungan (psikososial) pembelajaran di kelas dapat diukur dengan instrumen melalui survei, dan hasil penelitian mereka dijamin validitasnya (Anderson & Walberg, 1974; Fraser, 1997, 1998a, 1998b, 2002b; Moos, 1979). Sehingga mengevaluasi prestasi siswa secara individual akan membawa ke arah efektivitas dalam mengorganisasi lingkungan pembelajaran di kelas (Walberg, 1974).

Sekalipun kita sepakat secara konsep dengan istilah iklim sekolah yang didefinisikan di atas, terdapat sejumlah isu yang patut untuk dikaji lebih lanjut, misalnya bagaimana menilai atau mengukur iklim sekolah, atau dengan kata lain variabel atau faktor apa saja yang mendasari iklim sekolah, bagaimana mengukur iklim sekolah mereka dan bagaimana menjelaskannya. Isu yang lain misalnya apakah ada hubungan antara iklim sekolah dengan keefektifan sekolah (the effectiveness of the school), bagaimana memprediksi dan mengendalikan iklim sekolah, data apa saja yang diperlukan untuk masing-masing variabel yang mendasari iklim sekolah, perlu dipertimbangkan siapa yang akan menjadi partisipan agar dapat diperoleh data yang akurat sehingga dapat menjelaskan iklim sekolah yang sesuai dengan apa yang terjadi.

Tujuan, Permasalahan, dan Pertanyaan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini akan menyelidiki beberapa faktor spesifik yang berperan positif pada iklim kelas dan menentukan hubungan antara beberapa faktor yang mendasari iklim kelas dengan prestasi siswa kelas 6 SD dalam mata pelajaran matematika atau mata pelajaran yang lain. Tujuan penelitian dapat dijabarkan dalam tiga permasalahan yang akan dinyatakan dalam tiga pertanyaan penelitian, sebagai berikut :
  1. Masalah yang pertama akan mengidentifikasi persepsi siswa pada iklim kelas dalam mata pelajaran matematika, sehingga masalah ini dapat dinyatakan dalam pertanyaan penelitian : Apakah ada hubungan antara persepsi siswa terhadap iklim kelas dalam mata pelajaran matematika dengan prestasi mereka dalam mata pelajaran itu ?
  2. Masalah yang kedua akan mengidentifikasi persepsi siswa terhadap beberapa faktor yang mendasari iklim kelas (cohesiveness, friction, satisfaction, competitiveness, dan difficulty) yang berhubungan dengan prestasi mereka dalam mata pelajaran matematika, sehingga masalah ini dapat dinyatakan dalam lima pertanyaan penelitian sebagai berikut : a) Apakah ada hubungan antara persepsi siswa terhadap factor cohesiveness (kekompakan siswa) dengan prestasi mereka dalam mata pelajaran matematika ? ; b) Apakah ada hubungan antara persepsi siswa terhadap factor friction (tidak kesepahaman) dengan prestasi mereka dalam mata pelajaran matematika ? ; c) Apakah ada hubungan antara persepsi siswa terhdap factor satisfaction (kepuasan) dengan prestasi mereka dalam mata pelajaran matematika ? ; d) Apakah ada hubungan antara persepsi siswa terhadap factor competitiveness (daya saing) dengan prestasi mereka dalam mata pelajaran matematika ? ; dan e) Apakah ada hubungan antara persepsi siswa terhdap factor difficulty (kesulitan) dengan prestasi mereka dalam mata pelajaran matematika ?
  3. Masalah ketiga mengidentifikasi status sosioekonomi siswa dan hubungannya dengan prestasi mereka dalam mata pelajaran matematika, sehingga pertanyaan penelitiannya adalah : Adakah hubungan antara status sosioekonomi siswa dengan prestasi mereka dalam mata pelajaran matematika ?
Instrumen
Persepsi siswa terhadap lingkungan pembelajaran di kelas mereka diukur menggunakan My Class Inventory disingkat MCI. MCI dikembangkan sebagai penyederhanaan dari instrumen lingkungan pembelajaran di kelas yang telah digunakan selama ini (Diamantes, 1994) dan berbeda dengan instrument yang ada. Pertama agar para siswa tidak cepat jenuh dan lelah, sehingga MCI jumlah itemnya tidak terlalu banyak, yang kedua agar para siswa lebih dapat memahami dan dengan cepat memberikan responnya, yang ketiga pilihan responnya hanya ya atau tidak sehingga mereka lebih leluasa memberikan responnya, dan yang terakhir pertanyaan dan jawaban/respon disajikan bersama dalam satu lembar dan MCI relative lebih cepat diselesaikan walaupun terdiri dari 25 item pernyataan yang dikelompokkan dalam lima dimensi yang mendasari iklim kelas. Prestasi siswa dalam mata pelajaran matematika dapat dievaluasi melalui ulangan harian, ujian semesteran atau evaluasi dalam bentuk yang lain.

Kata kunci : Iklim Kelas, MCI, Prestasi Siswa
Catatan : instrumen/skala dalam artikel ini dan e-book yang berkaitan dengan hal itu dapat dipesan lewat e-mail : hand_oz@yahoo.com

Thursday, July 31, 2008

Persepsi Siswa Terhadap Pembelajaran Di Kelas (Learning Environment)

Seperti halnya beberapa tahun yang lalu, saat ini mata pelajaran matematika masih dianggap sukar oleh para siswa mulai dari tingkat SD sampai SMA dan bahkan di Perguruan Tinggi, dan tidak hanya di kota-kota kecil bahkan untuk tingkat nasional sekalipun dan ini dapat disimak dari passing grade hasil ujian nasional untuk tingkat SD, SMP, dan SMA.

Bertolak dari kenyataan di atas, rancangan penelitian ini didesain untuk menyelidiki beberapa faktor yang berpengaruh pada persepsi siswa terhadap lingkungan pembelajaran di kelas dalam mata pelajaran matematika dan sikap siswa terhadap mata pelajaran matematika, khususnya untuk siswa SMA di kota Anu.

Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan penelitian yang lebih spesifik adalah :
  1. Apakah ada perbedaan persepsi siswa terhadap lingkungan pembelajaran di kelas dalam mata pelajaran matematika jika dikelompokkan menurut kelas, gender, SMA (Negeri atau Swasta) ?
  2. Apakah ada perbedaan sikap siswa terhadap mata pelajaran matematika jika dikelompokkan menurut kelas, gender, SMA (Negeri atau Swasta) ?
  3. Apakah ada hubungan antara persepsi siswa terhadap lingkungan pembelajaran di kelas dengan sikap siswa terhadap mata pelajaran matematika ?

Lingkungan Pembelajaran di Kelas (Learning Environment)
Di masa lalu, sebagian besar penelitian pendidikan matematika berfokus pada prestasi akademik siswa, dan sangat kecil kajian yang dipusatkan pada lingkungan pembelajaran di kelas sebagai faktor penentu hasil belajar bagi siswa. Namun demikian sejak 30 tahun terakhir telah terjadi kemajuan yang luar biasa dalam membangun konsep, memprediksi, dan menyelidiki lingkungan pembelajaran di kelas (Taylor, Fraser,& Fisher, 2007). Evolusi bidang lingkungan pembelajaran di kelas selama tiga dekade tampak dari pengembangan beberapa instrumen yang dapat digunakan untuk menilai lingkungan pembelajaran di kelas. Evolusi instrumen itu telah memfasilitasi penelitian pada lingkungan pembelajaran di kelas di tingkat sekolah menengah, seperti yang dilakukan oleh Kim, Fisher, dan Fraser (2005). Hasil penelitian itu menyatakan bahwa penelitian pada lingkungan pembelajaran di kelas diperlukan di semua tingkatan pendidikan. Oleh karena itu, penelitian ini akan menilai persepsi siswa terhadap lingkungan pembelajaran di kelas dalam mata pelajaran matematika sekolah menengah untuk menyelidikinya jika dikelompokkan menurut kelas, gender, dan SMA.

Sikap Siswa Terhadap Mata Pelajaran Matematika
Kesetaraan gender sudah banyak dilakukan dalam segala profesi di Indonesia, namun demikian jumlahnya masih harus ditingkatkan dalam masa-masa mendatang. Bisa jadi hal itu disebabkan karena sikap siswi terhadap mata pelajaran matematika merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi belum banyaknya mereka ikut serta di dalamnya. Perhatian ini telah mengakibatkan berbagai studi yang dirancang untuk mengidentifikasi perbedaan gender yang bisa mempengaruhi banyaknya anak-anak perempuan yang terjun dalam kegiatan di bidang ilmu pengetahuan (Oaks, 2000). Terutama sekali di Amerika , anak laki-laki mempunyai sikap yang lebih positip terhadap matematika dibandingkan anak-anak perempuan ( Kahle, 2003; Kurth, 2007). Perbedaan gender ini akan tampak ketika para siswa melanjutkan dari sekolah dasar ke sekolah menengah (Kanai & Norman, 2007). Sebagai contoh, pada penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan sikap terhadap mata pelajaran matematika jika dikelompokkan menurut gender, tetapi di sekolah menengah perbedaan itu tampak bahwa sikap siswa lebih tertarik dibandingkan siswi terhadap mata pelajaran matematika (American Association of University Women, 2002; Lockheed, Thorpe, Brooks-Gumn, Casserly, & McAloon, 2005; Oakes, 2000).

Instrumen
Fraser et al. (1996) telah mengembangkan suatu instrumen lingkungan pembelajaran yang baru, yakni kuisener ‘What is Happening in this Class’ (Apa yang sedang terjadi di Kelas ini) disingkat WIHIC. Instrumen ini merupakan skala yang dapat memprediksi hasil belajar siswa dengan apa yang terjadi pada lingkungan pembelajaran di kelas, dan juga mencerminkan pandangan baru dalam belajar secara kognitif. Skala WIHIC terdiri dari tujuh sub-skala, yakni : kekompakan siswa, dukungan Guru, keterlibatan siswa, arahan tugas, penyelidikan, kerjasama, dan kesetaraan. Format skala WIHIC menggunakan model skala Linkert 5 pilihan (hampir tidak pernah - hampir selalu / sering sekali) untuk mengukur respon siswa terhadap lingkungan pembelajaran di kelas mereka. Attitudes Toward Mathematics Inventory disingkat ATMI direkomendasikan untuk menyelidiki sikap siswa terhadap mata pelajaran matematika, terdiri dari 49 item yang dikelompokkan ke dalam 4 (empat) dimensi yang mendasari sikap siswa terhadap mata pelajaran matematika yakni : keyakinan diri (self-confidence), nilai bagi siswa mata pelajaran matematika (value of mathematics), kenikmatan yang diperoleh dari mata pelajaran matematika (enjoyment of mathematics), dan motivasi.

Kata kunci : ATMI, WIHIC, Learning Environment, Attitudes Toward Mathematics Inventory.
Catatan : instrumen/skala dalam artikel ini dan e-book yang berkaitan dengan hal itu dapat dipesan lewat e-mail : hand_oz@yahoo.com

Friday, July 25, 2008

Menguji Pengaruh Lingkungan Pembelajaran di Kelas Pada Motivation Beliefs Siswa

Penelitian ini menguji pengaruh lingkungan pembelajaran di kelas pada mata pelajaran anu (matematika, kimia, fisika, IPS) pada self-efficacy dan nilai intrinsik motivasi (intrinsic value of motivation) siswa. Beberapa kajian telah dilakukan berkaitan dengan hubungan langsung antara lingkungan pembelajaran di kelas dengan motivasi siswa telah banyak dilaporkan. Knight dan Waxman (1990) menyelidiki hubungan antara lingkungan pembelajaran di kelas dalam mata pelajaran ilmu pengetahuan sosial dengan motivasi siswa. Beberapa variabel lingkungan pembelajaran di kelas telah ditemukan mempunyai korelasi dengan tiga konstruk motivasi (motivational construct), yakni motivasi akademik, akademik self-concept, dan sosial self-concept dari 157 siswa kelas enam yang sebagian besar Hispanic.

Dorman (2001) mungkin yang pertama meneliti hubungan antara lingkungan pembelajaran di kelas dalam mata pelajaran matematika dengan kemanjuran akademik (academic efficacy) dengan sampel sebanyak 1055 siswa sekolah menengah di Australia. Ia menemukan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara tiga skala CLES yang digunakan pada penelitian ini, yakni personal relevance, shared control and student negotiation dengan kemanjuran akademik. Analisis menggunakan regresi berganda menunjukkan skala-skala tersebut tidak mempunyai pengaruh yang penting pada kemanjuran akademik.

Dethlefs (2002) menyelidiki hubungan antara lingkungan constructivist (constructivist environment) dengan self-efficacy dan motivasi intrinsic (intrinsic value) pada mata pelajaran Aljabar (Aljabar I dan Aljabar Lanjut) dan Biologi. Persepsi siswa terhadap lingkungan pembelajaran di kelas diukur menggunakan skala CLES ditemukan mempunyai hubungan positif dengan self-efficacy dan motivasi intrinsik. Keseluruhan skala CLES memprediksi motivasi intrinsik siswa pada kedua mata pelajaran tersebut, setelah variable demografik siswa dan kelas dikontrol, dan self-efficacy dalam mata pelajaran Aljabar I.

Motivational beliefs mengacu pada pendapat, nilai-nilai, dan keputusan yang diambil oleh para siswa berkaitan dengan beberapa obyek, kejadian atau cakupan dari suatu materi pelajaran (Pintrich, 2001; Skinner, 1995; Stipek, 1988). Para peneliti menguraikan bahwa kepercayaan (beliefs) para siswa telah digunakan dalam tugas-tugas yang punya arti bagi mereka dalam beberapa situasi belajar. Beberapa motivational beliefs yang spesifik adalah nilai yang diberikan oleh siswa di mana mereka ikut serta di dalamnya.
Sebagai contoh, Ali sering berkata : Saya tidak melihat apa yang mungkin dapat kupelajari dari membaca puisi, sedangkan Sandra menyatakan : Membaca puisi adalah kegiatan paling baik yang kita lakukan di sekolah. Motivational beliefs juga mengacu pada pendapat siswa tentang efektivitas atau efisiensi metode belajar dan mengajar yang digunakan. Sebagai contoh, Ali bertanya : Mengapa kita selalu harus bekerja dalam suatu kelompok ? Padahal Saya dapat belajar lebih baik manakala aku bekerja sendiri. Beliefs yang berkaitan dengan pengawasan intern dapat dibedakan sebagai kepercayaan tentang kemanjuran diri (self-efficacy beliefs) dan beberapa harapan tentang hasil yang akan dicapai.
Self-Efficacy beliefs adalah pendapat para siswa yang mempertahankan diri kemampuan mereka dalam suatu topik tertentu. Sebagai contoh Ali berkata : Aku percaya bahwa aku ahli dalam pemecahan masalah matematika jenis ini, sedangkan Sandra berkata : Walaupun Aku bukan bintang dalam mata pelajaran matematika, tetapi Aku tahu bagaimana cara meneliti teks suatu bacaan.

Di antara instrumen lingkungan pembelajaran di kelas yang tersedia, instrument WIHIC (Fraser et al., 1996) dipilih untuk menilai persepsi siswa terhadap lingkungan pembelajaran di kelas secara aktual dan sesuai dengan apa yang mereka harapkan. Instrumen WIHIC terdiri dari tujuh skala yakni : Student Cohesiveness, Teacher Support, Involvement, Investigation, Task Orientation, Cooperation, and Equity, menggunakan 5 skala Linkert (hampir tidak pernah, jarang, kadang-kadang, sering, dan hampir selalu/sering sekali). The Motivated Learning Strategies and Learning Questionnaire (MSLQ; Pintrich dan De Groot, 1990) digunakan untuk menilai motivation beliefs, yang terdiri dari tiga subskala yakni : Self-Efficacy, Intrinsic value, dan Test Anxiety. Ada dua subskala Self-Regulated Learning Strategies, yakni : Cognitive Strategy Use dan Self-Regulation. Karena Self-Efficacy dan Intrinsic Value merupakan komponen motivasi yang penting, maka hanya dua skala MSLQ ini yang digunakan, yang terdiri dari 18 item menggunakan 7 skala Linkert (1 = tidak yang benar – 7 = sangat benar/benar sekali).

Kata kunci : motivational beliefs, WIHIC, MSLQ
Catatan : instrumen/skala dalam artikel ini dan e-book yang berkaitan dengan hal itu dapat dipesan lewat e-mail : hand_oz@yahoo.com

Wednesday, July 23, 2008

Instrumen Pengukur Sikap Siswa Terhadap Matematika (Attitudes Toward Mathematics Inventory)

Beberapa riset menyatakan bahwa para siswa dengan sikap negatif terhadap mata pelajaran matematika mempunyai beberapa masalah kinerja akademik mereka yang sederhana yakni masalah ketertarikan mereka pada mata pelajaran itu. Penelitian tentang sikap siswa terhadap mata pelajaran matematika hampir selalu berhadapan secara eksklusif dengan kenikmatan atau ketertarikan pada materi pelajaran, tidak termasuk faktor lain.

Salah satu instrumen pertama-tama dikembangkan adalah skala Dutton (Dutton, 1954; Dutton& Blum, 1968), yang mengukur bagaimana perasaan siswa terhadap aritmatika. Skala Unidimensional dikembangkan oleh Gladstone, Deal, dan Drevdahl (1960) dan Aiken & Dreger (1961). Kemudiann Aiken (1974) membangun skala yang dirancang untuk mengukur rasa nikmat dalam mata pelajran matematika (enjoyment of mathematics) dan nilai bagi siswa mata pelajaran matematika (value of mathematics).

Beberapa peneliti mengembangkan skala yang secara eksklusif mengukur ketertarikan siswa terhadap mata pelajaran matematika (math anxiety), antara lain adalah : Mathematics Anxiety Rating Scale (Richardson & Suinn, 1972), Mathematics Anxiety Rating Scale-Revised (Plake & Parker, 1982), dan Mathematics Anxiety Questionnaire (Wigfield & Meece, 1988). The Fennema-Sherman Mathematics Attitude Scales (1976) dikembangkan pada tahun 1976 menjadi salah satu instrumen yang paling populer digunakan dalam penelitian tiga dekade terakhir.

The Fennema-Sherman Mathematics Attitude Scales terdiri dari sembilan instrumen, yakni :
  1. Skala yang mengukur sikap ke arah kesuksesan dalam mata pelajaran matematika (Attitude Toward Success in Mathematics Scale).
  2. Skala yang mengukur sikap bahwa matematika sebagai milik pria (Mathematics as a Male Domain Scale).
  3. Skala yang mengukur sikap Ibu terhadap mata pelajaran matematika.
  4. Skala yang mengukur sikap Bapak terhadap mata pelajaran matematika.
  5. Skala yang mengukur sikap Guru terhadap mata pelajaran matematika.
  6. Skala yang mengukur rasa percaya diri dalam mata pelajaran matematika (Confidence in Learning Mathematics Scale).
  7. Skala yang mengukur ketertarikan mereka dalam mata pelajaran matematika (Mathematics Anxiety Scale).
  8. Skala yang mengukur pengaruh motivasi dalam mata pelajaran matematika (Effectance Motivation Scale in Mathematics).
  9. Skala yang mengukur seberapa besar kegunaan matematika untuk mereka (Mathematics Usefulness Scale).
Artikel ini mengetengahkan pengembangan suatu instrumen baru untuk mengukur sikap siswa ke arah mata pelajaran matematika, dan untuk menentukan beberapa dimensi (faktor) yang mendasarinya. Analisis faktor dengan rotasi varimax digunakan dalam penelitian ini (Tapia & Marsh) menghasilkan empat faktor yang mendasari sikap siswa terhadap mata pelajaran matematika, yakni : keyakinan diri (self-confidence), nilai bagi siswa mata pelajaran matematika (value of mathematics), kenikmatan yang diperoleh dari mata pelajaran matematika (enjoyment of mathematics), dan motivasi. Instrumen baru tersebut adalah Attitudes Toward Mathematics Inventory (ATMI) yang direkomendasikan untuk menyelidiki sikap siswa ke arah mata pelajaran matematika, dan terdiri dari 49 item yang dikelompokkan ke dalam 4 (empat) dimensi atau faktor yang mendasari sikap siswa terhadap mata pelajaran matematika.

Kata kunci : ATMI
Catatan : instrumen/skala dalam artikel ini dan e-book yang berkaitan dengan hal itu dapat dipesan lewat e-mail : hand_oz@yahoo.com

Sunday, July 13, 2008

Grasha Teaching Style Inventory

Grasha (1996) mengidentifikasi lima gaya mengajar seorang guru di kelas :
  1. Tenaga ahli (Expert) : memiliki keahlian dan pengetahuan yang dibutuhkan oleh para siswa, bekerja keras untuk memelihara statusnya sebagai tenaga ahli dengan memperlihatkan ke pada para siswa pengetahuan terperinci dan menantang untuk meningkatkan kemampuan mereka. Menyebarkan informasi yang terkait dengan keahliannya dan menjamin dengan sunguh-sunguh disiapkan untuk para siswa. Keuntungan : Informasi, pengetahuan, dan ketrampilan individu seperti yang dimilikinya akan mendorong para siswa untuk meningkatkan kemampuannya. Kerugian: Jika kemampuan yang dimilikinya kelewat digunakan, pengetahuan yang dimilikinya menjadi pajangan yang dapat membuta para siswa yang kurang pengalaman menjadi takut. Mungkin saja gaya mengajar seperti ini tidak selalu menjadi dasar proses berpikir yang akan memberikan jawaban.
  2. Mempunyai Kewenangan Formal (Formal Authority) : memiliki status di mata siswa, karena peran dan pengetahuannya sebagai staf lembaga, memberikan perhatian ke pada para siswa tentang sesuatu hal yang positip dan umpan balik yang negatip, menetapkan beberapa tujuan belajar, memberikan harapan-harapan, dan menjalankan beberapa aturan yang harus ditepati oleh siswa. Perhatian pada kebenaran, bisa diterima, dan memberikan sesuatu yang baku yang harus dilakukan oleh siswa dengan menyusun kerangka kebutuhan mereka dalam belajar. Keuntungan : Berfokus pada beberapa harapan jelas dan cara melakukan sesuatu yang bisa diterima. Kerugian: Menjalankan gaya ini kadang-kadang menjadi kaku tidak luwes dan terlalu baku dalam memanage para siswa dan perhatian mereka.
  3. Model Pribadi (Personal Model) : memberikan kepercayaan bahwa guru sebagai pengajar menjadi contoh dan menetapkan suatu prototype bagaimana cara berfikir dan bertindak, mengatur, memandu, dan mengarahkan serta menunjukkan bagaimana cara melakukan sesuatu dan mendorong siswa dalam mengamati apa yang dilakukan oleh gurunya sehingga pada gilirannya dapat menyamai atau bahkan lebih baik dibandingkan gurunya. Keuntungan : Ditekankan untuk mengamati langsung peran guru sebagai model. Kerugian: Beberapa guru boleh percaya pendekatan mereka lakukan merupakan cara yang terbaik bagi para siswa akan tetapi tidak dijamin apakah guru cukup puas jika para siswa tidak bisa berbuat sesuai dengan harapan mereka dan biasanya terlalu baku.
  4. Fasilitator (Facilitator) : menekankan secara alami interaksi antara guru-siswa secara pribadi, memandu dan mengarahkan para siswa dengan meminta mereka untuk bertanya tentang sesuatu hal, menyelidiki beberapa pilihan yang tersedia, mengusulkan beberapa alternatif untuk membangun kriteria dalam memilih berbagai aneka pilihan. Beberapa tujuan secara menyeluruh dikembangkan agar siswa dapat bertindak mandiri, mempunyai prakarsa, dan tanggung jawab. Bekerja dengan siswa dalam suatu kegiatan dalam usaha memberikan konsultasi, dorongan, dan dukungan sebanyak mungkin yang bisa dilakukan. Keuntungan: Keluwesan pribadi guru, berfokus pada tujuan dan kebutuhan siswa, dan kesediaan untuk menyelidiki berbagai macam tindakan alternatif dan pilihan. Kerugian: Gaya mengajar semacam ini sering menghabiskan waktu dan kadang-kadang para guru untuk hal-hal yang positip mereka mengiyakan.
  5. Delegator : gaya mengajar ini berkaitan dengan pengembangan kapasitas siswa sedemikian hingga mereka dapat mengurus dirinya sendiri (otonom), siswa bebas melakukan suatu kegiatan atau menjadi bagian dari suatu tim yang diberikan otonom untuk melakukan suatu kegiatan, guru yang tersedia atas permohonan siswa sebagai sumber untuk dimintai bantuannya dalam melakukan suatu kegiatan. Keuntungan : Gaya ini akan membantu para siswa untuk merasa diri mereka sebagai siswa mandiri. Kerugian : Boleh jadi para siswa tidak / belum siap untuk bekerja secara mandiri. Beberapa siswa bisa jadi menjadi tertarik hanya pada saat diberi otonomi.

Grasha mengidentifikasi kelima gaya mengajar guru sebagai strategi dan berorientasi pada hal-hal yang khusus. Ia mengakui bahwa gaya-gaya ini akan terfokus pada beberapa kluster, seperti warna dari suatu lukisan, memperbaiki karakteristik guru akan sama halnya mendisain suatu pengajaran dan merupakan sesuatu hal yang menentukan.

Kata kunci : teaching style
Catatan : instrumen/skala dalam artikel ini dan e-book yang berkaitan dengan hal itu dapat dipesan melalui email : hand_oz@yahoo.com

Sunday, July 6, 2008

Beberapa Skala Pengukur Kepuasan Mahasiswa

Kategori artikel : mutu layanan akademik
Kepuasan mahasiswa (student satisfaction) sangat penting dalam sektor pendidikan tinggi berkaitan dengan perannya sebagai industri jasa. Oleh karena itu mengevaluasi persepsi mahasiswa terhadap kepuasan mereka yang mereka alami dan harapkan harus terus dilakukan oleh universitas, sekolah tinggi, institut sebagai lembaga pendidikan tinggi.
Paling sedikit ada 12 skala atau dimensi untuk mengukur kepuasan mahasiswa, antara lain :
  1. Academic Advising and Counseling Effectiveness : menilai secara komprehensif program bimbingan dan konsultasi akademik. Penasehat akademik dievaluasi berdasarkan pengetahuan, kemampuan, dan perhatian mereka secara pribadi untuk kesuksesan siswa, serta pendekatan mereka terhadapa siswa.
  2. Campus Climate : menilai sejauh mana lembaga Pendidikan Tinggi mempunyai pengalaman dalam mempromosikan kebanggaan dan peran serta kampus mereka di masyarakat. Skala ini juga menilai keefektifan komunikasi dua arah antara lembaga dan siswa.
  3. Campus Support Services : menilai mutu program layanan akademik dan dukungan sehingga para siswa dapat menggunakan pengalaman pendidikan mereka lebih produktif dan bermakna. Layanan ini meliputi perpustakaan, laboratorium komputer, tutorial, dan ruang belajar yang digunakan oleh siswa di luar kelas.
  4. Concern for the Individual : menilai komitmen dalam memperlakukan setiap siswa secara individu. Bagian ini pada umumnya sering bertemu dengan para siswa secara pribadi (bagian akademik, kemahasiswaan fakultas, penasehat, pembimbing) tercakup dalam penilaian ini.
  5. Instructional Effectiveness : menilai pengalaman akademik siswa, kurikulum, dan kesanggupan lembaga Pendidikan Tinggi dalam mencapai keunggulan akademik. Skala ini meliputi beberapa variasi dari program yang ditawarkan, keefektifan fakultas atau program studi tidak hanya di dalam kelas tetapi juga diluar kelas keluar, dan juga keefektifan pengajar.
  6. Admissions and Financial Aid Effectiveness : menilai kemampuan lembaga Pendidikan Tinggi dalam mengerahkan semua usaha yang dapat diberikan kepada siswa secara efektif. Skala ini mengcover isu-isu yang berkaitan dengan kemampuan dan pengetahuan penasihat, seperti misalnya kefektifan penasehat dalam mengupayakan ketersediaan program bantuan keuangan untuk siswa (bea siswa, magang, proyek).
  7. Registration Effectiveness : menilai isu yang berhubungan dengan registrasi dan SPP. Skala ini juga mengukur komitmen lembaga Pendidikan Tinggi dalam proses ini lebih efektif dan mudah.
  8. Responsiveness to Diverse Populations : menilai komitmen lembaga dalam memberikan kesempatan yang khusus kepada para penyandang cacat, kepada calon siswa yang punya waktu terbatas, mereka telah berusia, dan lain-lain agar bisa terdaftar sebagai mahasiswa.
  9. Safety and Security : menilai kemampuan lembaga dalam keamanan dan keselamatan pribadi siswa di kampus. Skala ini mengukur keefektifan fasilitas kampus dan personil keamanan.
  10. Service Excellence : menilai sikap staff akademik maupun bukan kepada para siswa, terutama bagi mereka yang sering melayani siswa. Skala ini dititik beratkan pada penilaian terhadap mutu layanan dan perhatian secara pribadi kepada para siswa.
  11. Student Centeredness : menilai usaha-usaha penting yang dilakuan untuk para siswa. Skala ini mengukur sikap lembaga Pendidikan Tinggi dalam menghargai dan menyambut dengan baik para siswa.
  12. Campus Life : menilai kemampuan lembaga dalam mengisi kehidupan kampus, baik kegiatan mahasiswa yang bersifat kurikuler maupun ekstra kurikuler.

Kedua belas skala di atas dirangkum dalam suatu instrument yang akan mengukur kepuasan mahasiswa, instrument ini dikenal sebagai Student Satisfaction Inventory disingkat SSI dan terdiri dari tidak kurang dari 90 item yang dikelompokkan ke dalam 12 skala di atas.

Kata kunci : student satisfaction, SSI

Catatan : instrumen/skala dalam artikel ini dan e-book yang berkaitan dengan hal itu dapat dipesan melalui email : hand_oz@yahoo.com

Tuesday, July 1, 2008

Keterlibatan Orangtua, Pekerjaan Rumah, dan Regulasi Diri Siswa

Kategori artikel : motivasi

Kemampuan siswa untuk menggunakan strategi meregulasi diri dalam belajar bisa bertindak sebagai alat belajar untuk mengurangi efek yang merugikan bagi siswa yang kurang mempunyai motivasi dalam kinerja akademik mereka. Di samping itu efek yang penting berkaitan dengan penggunaan regulasi diri pada kinerja akademik, secara relatif tidak banyak diketahui hubungan antara meregulasi diri dalam belajar dengan prestasi dan motivasi akademik.

Penelitian saat ini menunjukkan bahwa pekerjaan rumah biasanya berpengaruh positip pada hasil belajar siswa (Bembenutty, 2005; Cooper 1989; Cooper & Valentine, 2001; Trautwein, Ludtke, Kastens, & Koller, 2006; Xu & Corno, 2006). Cooper (1989, 2001) mendefinisikan pekerjaan rumah (homework) sebagai metode awal guru untuk mengarahkan siswa belajar lebih efektif di luar sekolah. Pekerjaan rumah ditugaskan kepada siswa pertama kali pada sekolah dasar dan meningkat terus pada tahun-tahun berikutnya. Dalam Vandenbos (2007 : 445), pekerjaan rumah merupakan tugas yang dirancang untuk meningkatkan pengetahuan dasar siswa yang kemudian bisa digunakan lebih efektif di kelas. Tidak hanya memberikan pekerjaan rumah, akan tetapi para guru juga memberi pesan agar para siswa berinisiatip sendiri dan mengarahkan sendiri dalam belajar (Zimmerman, 2000).

Zimmerman (1998) merekomendasikan penyelidikan yang dilakukannya mengenai peran beberapa proses meregulasi diri agar siswa belajar dengan sukses. Zimmerman (1998 : 73) mendefinisikan regulasi diri dalam belajar (self-regulation of learning disingkat SRL) sebagai menggeneralisasi diri dalam berpikir atau berpikir secara general, perasaan, dan tindakan untuk mencapai tujuan akademik.

Pendekatan yang konsisten dari Winne and Hadwin (1997) mengusulkan empat langkah meregulasi diri dalam menyelesaikan pekerjaan rumah, yakni : a) mendefinisikan tugas (mempersepsikan tugas), b) menentukan sasaran perencanaan, c) menetapkan strategi dan taktik belajar (implementasi, monitoring, dan mengevaluasi strategi), dan d) mengadaptasikan metacognitive dalam belajar (memeriksa hasil, dan membuat keputusan, serta melakukan penyesuaian). Disamping usaha untuk menyelidiki proses penyelesaian pekerjaan rumah, secara teoritis juga sudah harus memberi sedikit perhatian pada pengembangan siswa dalam menggunakan proses regulasi diri.
Meregulasi usaha (effort regulation) salah satu komponen dari meregulasi diri mempunyai hubungan dengan prestasi (Pintrich et al., 1993), dan mengacu pada niat siswa untuk mendapatkan sumber, energi, dan waktu untuk dapat menyelesaikan tugas akademik yang penting.

Dalam bidang akademik, meregulasi diri dalam tugas-tugas akademik sangat mendesak dibutuhkan, karena sangat menentukan kinerja dan prestasi akademik. Meregulasi diri dalam belajar dan kapasitas kognitif yang kurang, serta kebiasaan belajar yang kurang baik akan bertolak belakang dengan perolehan kinerja akademik yang baik telah didokumentasikan oleh beberapa peneliti (Pintrich 8, : Schunk, 2002; Zimmerman, 2000), demikian juga peran jenis kelamin, etnis juga penting pada kinerja akademik siswa (Xu, 2006; Xu & Corno, 2003), juga keterlibatan orangtua juga ditunjukkan mempunyai hubungan positip dengan kinerja akademik siswa (Hoover-Dempsey et al., 2001; Xu& Corno, 2006).

Keterlibatan orangtua yang mengacu pada prakarsa dan tindakan yang diambil oleh orangtua untuk menjamin anak-anak mereka sukses dalam bidang akademik (Hoover-Dempsey et al., 2001; Hoover-Dempsey et al., 2005; Walker, Wilkins, Dallaire, Sandier, & Hoover-Dempsey, 2005; Xu, (2006); Xu & Corno, 2006).

Dengan cara yang sama, para siswa menyisihkan waktu untuk pekerjaan rumah mereka tiap minggu menjadi indikator tercapainya prestasi akademik siswa sekolah menengah (Cooper, 1989, 2001; Cooper, Lindsay, Nye, & Greathouse, 1998; Walker, Wilkins, Dallaire, Sandler, & Hoover-Dempsey, 2005; Xu, 2006).

Suatu faktor yang penting dari motivasi yang mempunyai hubungan dengan prestasi akademik adalah self-efficacy (mengacu pada kepercayaan individu memiliki kemampuan untuk melaksanakan suatu tugas yang diharapkan ( Bandura, 1997; Zimmerman, 2000), dan mempunyai hubungan dengan kesuksesan kinerja akademik (Zimmerman, 2000).

Penggunaan strategi meregulasi diri dalam belajar (self-regulated of learning strategies disingkat SRLS) mungkin sangat penting manakala emosi muncul dan alternatif yang tersedia berfokus pada tugas. Memanage sumber daya yang meliputi usaha dalam proses belajar merupakan strategi meregulasi diri untuk meningkatkan prestasi akademik siswa (Pintrich et al., 1993), dan ini sesuai dengan strategi meregulasi diri dalam belajar yang diperkenalkan oleh Zimmerman (2000).

Penelitian yang dilakukan oleh Bembenutty (2006) menguji hubungan yang bersifat prediksi antara jenis kelamin, etnis, keterlibatan orangtua dalam pekerjaan rumah anak-anak mereka, proses meregulasi diri dalam belajar (self-regulated learning) disingkat SRL, dan keyakinan akan motivasi antar siswa-siswa kelas sepuluh sekolah menengah. Dalam penelitian ini, Self-regulation of Learning and Motivational Belief dinilai menggunakan skala Motivational Strategies for Learning Questionnaire (MSLQ), keterlibatan orangtua terhadap anak-anaknya dinilai menggunakan beberapa item dari Parental Active and Reactive Involvement (PARI), sedangkan prestasi akademik dinilai dari Math Academic Achievement.

Kata kunci : MSLQ, SRLS, PARI, SRL
Catatan : instrumen/skala dalam artikel ini dan e-book yang berkaitan dengan hal itu dapat dipesan lewat email : hand_oz@yahoo.com

Sunday, June 29, 2008

Beberapa Dimensi Iklim Sekolah

Kategori artikel : learning environment
Di tahun 1970an, Rudolf Moos menunjukkan peningkatan suatu tindakan dan kesadaran, yakni bertambahnya perhatian pada lingkungan manusia. Moos melakukan studi mengenai lingkungan lebih dari satu dekade, dalam The Human Context, ia mengemukakan "ada lima konsepsi lingkungan psikososial yang berbeda walaupun saling berhubungan (1976, p. 29), yakni :
  1. Perspektif dari ekologi dan evolusi manusia, dengan lingkungan yang membatasi kegiatan orang.
  2. Perspektif sosial dari Darwinism, dengan memilih lingkungan, atau menyokong, orang dengan karakteristik yang lebih kuat.
  3. Lingkungan memotivasi dalam menghadapi tantangan individu, kemudahan dan pertumbuhan sosial berkaitan dengan pengembangan peradaban.
  4. Suatu pendekatan ekologis sosial, di mana setiap individu mencari informasi tentang lingkungan, dalam rangka memilih lingkungan yang mempunyai kemungkinan terbesar untuk sukses, dan
  5. Setiap individu mencari untuk meningkatkan kendali mereka atas lingkungan dalam rangka meningkatkan kebebasan individu, (Oelschlaeger, 1991).

Pengintegrasian lima konsep itu mendorong pengembangan "suatu pendekatan ekologis sosial" dari perspektif Moos (1976, p. 28) yang dirancang untuk membantu kita dalam memahami pengaruh dari lingkungan psikososial dari sudut pandang individu dan untuk meningkatkan lingkungan psikososial kita untuk memperkaya mutu hidup. Dari perspektif konseptual ini, Moos membaginya dalam daerah (domain) sistem lingkungan ekologi sosial yang berbeda dalam tiga dimensi :

  1. Dimensi Hubungan (Moos, 1974 : 16) : sejauh mana individu dilibatkan dalam lingkungannnya, sehingga mereka saling mendukung dan tolong menolong (dengan beberapa aspek seperti kekompakan (kohesi), ungkapan, dukungan, keanggotaan, dan keterlibatan).
  2. Dimensi Pertumbuhan pribadi (Moos, 1974) yang ditandai oleh pertumbuhan pribadi dan peluang untuk meningkatkan diri yang ditawarkan oleh lingkungan (dengan beberapa aspek yang berhubungan seperti kemerdekaan, prestasi, pengarahan tugas, self-discovery, kemarahan, agresi, kompetisi, otonomi, dan status pribadi).
  3. Dimensi Pemeliharaan Sistem dan Perubahan (Moos, 1974, 2002) : mempertimbangkan tingkat kendali dari lingkungan, ketertiban, kejelasan akan harapan, dan responsif terhadap perubahan (beberapa aspek yang menandai dimensi ini meliputi : organisasi, pengawasan, order, kejelasan, inovasi, kenyamanan phisik, dan pengaruh). Selanjutnya Moos memperlihatkan kualitas ketiga dimensi dalam keluarga, pekerjaan, sekolah, kesehatan, militer, penjara dan beberapa konteks dalam komunitas sosial (Moos, 1976, 1979, 2002). Arter (1989) menambahkan satu dimensi lagi sebagai pengembangan dari beberapa dimensi Moos, yaitu :
  4. Dimensi lingkungan fisik (physical environment) : berkaitan dengan sejauh mana iklim sekolah seperti kelengkapan sumber, kenyamanan, serta keamanan sekolah ikut mempengaruhi proses belajar mengajar.

Berdasarkan keempat dimensi dari Moos (dan Arter) di atas, beberapa peneliti mendesain instrumen iklim kelas/sekolah dengan skala yang mungkin saja berbeda satu dengan yang lain. Instrumen Iklim Sekolah lebih luas cakupannya dibandingkan instrumen Iklim Kelas yang hanya di titik beratkan pada hubungan antara guru-siswa dan siswa dengan siswa di kelas. Instrumen untuk iklim kelas, antara lain :

  1. WIHIC mempunyai dimensi Student Cohesiveness, Teacher Support, Involvement, Investigation, Task Orientation, Cooperation, and Equity.
  2. Cultural Learning Environment Questionnaire (CLEQ) mempunyai dimensi Equity, Collaboration, Congruence.
  3. Questionnaire on Teacher Interaction (QTI) mempunyai dimensi Leadership Helpful/friendly, Understanding, Student responsibility, Uncertain, Admonishing, Strict.
  4. College and University Classroom Environment Inventory (CUCEI) dengan beberapa dimensi antara lain personalization, innovation, student cohesion, task orientation, cooperation, individualization, dan equity.
  5. Techonology-Rich Outcomes-Focused Learning Environment Inventory (TROFLEI) dengan beberapa dimensi, antara lain : student cohesiveness, teacher support, involvement, task orientation, investigation, cooperation, equity, differentation, computer usage, dan young adult ethos.

Sedangkan instrumen untuk iklim sekolah, antara lain :

  1. Inventory of School Climate (ISC) mempunyai dimensi Teacher Support, Consistency and Clarity of Rules and Expectations, Student Commitment and Achievement Orientation, Negative Peer Interaction, Positive Peer Interactions, Disciplinary Harshness, Student Input in Decision Making, Instructional Innovation/Relevance, Support for Cultural Pluralism, dan Safety Problems.
  2. Student Climate Survey (SCS) dengan tiga dimensi, yakni Behavioral Environment (dengan skala Peer Behavior, Behavior Expectations, dan School Safety & Cleanliness), Student Interactions (dengan skala Teacher Support, Adult Fairness & Respect), Academic Environment (dengan skala Academic Standarts dan Academic Self-Confidence).
  3. The Comprehensif School Climate Inventory (CSCI), dengan beberapa dimensi yakni Safety (dengan skala Physical dan Social-Emotional), Teaching and Learning (dengan skala Quality of Instruction, Social, Emotional and Ethical Learning / hanya personil sekolah, Leadership / hanya untuk personil sekolah), Relationship (dengan skala Respect for Diversity, School Community and Collaboration, dan Morale), dan dimensi Environment.

Kata kunci : WIHIC, CLEQ, QTI, CUCEI, TROFLEI, ISC, SCS, CSCI

Catatan : instrumen/skala dalam artikel ini dan e-book yang berkaitan dengan hal itu dapat dipesan lewat email : hand_oz@yahoo.com

Saturday, June 28, 2008

Gaya Mengajar Seorang Guru

Kategori artikel : teaching & learning
Vantilburg/Heimlich Teaching Style Preference (Heimlich, 1990) digunakan untuk memastikan gaya mengajar seorang guru (teaching style) yang lebih disukainya dalam suatu mata pelajaran. Instrumen ini didefinisikan dalam dua domain, kepekaan (sensivity) dan inclusi (inclusion). Domain kepekaan didasarkan pada kemampuan seorang guru dalam memahami secara menyeluruh karakteristik suatu kelompok siswa.
Domain inclusi didasarkan pada kemampuan dan kesediaan seorang guru menggunakan suatu teknik untuk meningkatkan pengalaman belajar berdasar karakteristik suatu kelompok siswa. Gaya seorang guru di kelas dapat digolongkan ke dalam salah satu dari empat dimensi gaya mengajar. Semakin besar skor yang diperoleh dalam domain kepekaan atau inclusi, semakin peka atau semakin inclusif seorang guru terhadap para siswanya.
Seorang guru yang memperoleh skor dalam suatu kuadran di mana kepekaan dan inclusinya rendah diberi label atau berdimensi ahli (expert), di mana mereka lebih berorientasi pada materi pelajaran (subject) dan berbagi informasi seefisien mungkin ke pada para siswa, yang kesemuanya dalam bentuk ceramah. Seorang guru yang memperoleh skor inclusi rendah tapi kepekaan tinggi diberi label atau berdimensi penyedia (provider), pada kuadran ini gaya mengajar seorang guru berpusat pada siswa (learner-centered) dan berusaha agar pengajaran yang efektif dengan beberapa metode meliputi kelompok diskusi, demonstrasi, dan memandu kegiatan. Jika seorang guru memperoleh skor inclusi yang tinggi dan kepekaan yang rendah diberi label atau berdimensi fasilitator, pada kuadran ini gaya mengajar seorang guru berpusat pada guru (teacher-centered) dibandingkan pada siswa dan metode pengajaran tergantung pada materi mata pelajaran.
Dimensi yang terakhir atau pada kuadran di mana skor yang diperoleh adalah inclusi dan kepekaan yang tinggi, gaya mengajar ini diberi label enabler (untuk memperoleh kedudukan yang lebih baik). Gaya ini sangat berpusat pada siswa dalam arti bahwa para pembelajar (siswa) digambarkan sebagai kegiatan dan proses dalam lingkungan pembelajaran di kelas.
Kata kunci : teaching style

Friday, June 27, 2008

Studi Tentang Pengaruh Positip Dari Persepsi Siswa Terhadap Lingkungan Pembelajaran Di Kelas Pada Konsep Diri Akademik Siswa

Kategori artikel : learning/classroom environment

Tujuan Penelitian :
Penelitian ini akan menyelidiki efek atau pengaruh dari persepsi siswa pada lingkungan pembelajaran di kelas mereka (variable bebas), khususnya dalam beberapa mata pelajaran IPS atau bisa juga untuk IPA (di SMP atau SMA) terhadap konsep diri (self-concept) mereka (variable tidak bebas) pada mata pelajaran IPS. Variable bebas dari persepsi mereka terhadap lingkungan pembelajaran di kelas mengacu pada persepsi keterlibatan mereka di kelas dan persepsi tentang keanggautaan mereka di kelas.
Self-Concept terhadap akademik mereka (academic self-concept) mengacu pada seberapa jauh mereka mempunyai kepercayaan dan kebanggaan akan segala sesuatu yang mereka kerjakan di kelas, khususnya dalam mata pelajaran IPS. Pendidikan orangtua mereka digunakan sebagai variabel kontrol.
Latar Belakang Penelitian :
Moos (1979) telah memperkenalkan persepsi siswa terhadap lingkungan pembelajaran di kelas (classroom environment atau classroom climate), diantaranya adalah persepsi keterlibatan mereka di kelas (sejauh mana para siswa mempunyai minat dan perhatian, berpartisipasi dalam diskusi, serius mengikuti dan menikmati proses pembelajaran di kelas) dikenal sebagai dimensi student involvement dan persepsi siswa terhadap keanggautaan mereka di kelas (sejauh mana para siswa saling tolong menolong, saling membantu, dan nikmati dalam bekerja bersama) yang dikenal sebagai dimensi student affiliation.
Keterlibatan siswa dalam belajar di kelas merupakan dimensi dari lingkungan pembelajaran di kelas yang penting dalam mempromosikan motivasi akademik siswa (Zewin, 1983). Fouts, Chan, dan Biao (1993) menemukan bahwa persepsi keterlibatan siswa di kelas (di China dan Amerika) mempunyai hubungan positip dengan hasil belajar siswa (sikap mereka terhadap suatu mata pelajaran, sikap yang berhubungan dengan kenikmatan dalam mempelajari suatu mata pelajaran, dan lain-lain).
Moos and Moos (1978) menemukan bahwa persepsi keterlibatan siswa di kelas juga mempunyai hubungan positip dengan nilai-nilai yang diperoleh siswa. Knight and Waxman (1990) menemukan juga bahwa persepsi keterlibatan siswa di kelas mempunyai hubungan yang positip dengan self-concept terhadap akademik mereka. Dengan memanfaatkan beberapa hal yang menguntungkan dari persepsi siswa terhadap keanggautaan mereka di kelas, Schmuck and Schmuck (1992) tertantang untuk meneliti kesetiakawanan antar teman sekelas dapat mempromosikan self-esteem mereka secara positip. Para siswa yang berorientasi pada student affiliation ditandai dengan adanya keinginan saling tolong menolong, saling membantu, dan saling mendukung di antara mereka di kelas, sehingga mereka akan percaya diri dalam memanfaatkan kemampuan akademiknya ( Van Egmond, 1960).
Hipotesis :
  1. Persepsi siswa terhadap subskala Student Involvement dan Student Affiliation akan berpengaruh secara signifikan pada konsep diri akademik siswa.
  2. Persepsi siswa terhadap subskala Student Involvement akan berpengaruh secara signifikan pada konsep diri akademik siswa.
  3. Persepsi siswa terhadap subskala Student Affiliation akan berpengaruh secara signifikan pada konsep diri akademik siswa.

Instrumen Penelitian :

  1. Pada penelitian ini digunakan instrumen Classroom Environment Scale disingkat CES. Form R (CES) yang dibangun oleh Trickett and Moos (1973) untuk mengukur persepsi siswa terhadap lingkungan pembelajaran di kelas, khususnya untuk subskala /dimensi student involvement dan student affiliation.
  2. Instrumen yang kedua adalah Academic Self-Concept disingkat ASC yang dirujuk dari Self Description Questionnaire II (Marsh & Shavelson, 1985; Shavelson et al., 1976) disingkat SDQ II, yang dirancang untuk mengukur konsep diri akademik (Academic Self-Concept) siswa maupun kosep diri non akademik (Non Academic Self-Concept).

Kata kunci : classroom environment, CES, ASC, SDQ II

Catatan : instrumen/skala dalam artikel ini serta beberapa e-book yang berkaitan dengan hal itu dapat dipesan lewat email : hand_oz@yahoo.com

Thursday, June 26, 2008

Meneliti Pengaruh Hubungan Dosen-Mahasiswa, Sikap Mahasiswa Pada Teknologi Informasi Terhadap Self-Regulated Learning

(Rancangan Kerangka Penelitian Dosen)

Katagori artilel : motivasi, learning environment

Latar Belakang Penelitian
Kajian ulang yang dilakukan oleh Bandura (1997, 1986, 1977) menyatakan bahwa self-regulated learning (regulasi diri dalam belajar) disingkat SRL dipengaruhi oleh beberapa faktor yang sifatnya pribadi dan lingkungan. Faktor lingkungan terdiri dari dua kategori, yang pertama berkaitan dengan faktor fisik yang menentukan dalam belajar, yang kedua berkaitan dengan pengalaman social yang dialami oleh siswa selama proses belajar berlangsung (Zimmerman, 1997). Kemampuan meregulasi diri dalam belajar mempunyai peran penting yang menentukan kesuksesan dalam belajar.
Lewis dan Mendelsohn (1993) menyatakan bahwa para siswa di sekolah yang telah mengintegrasikan teknologi informasi dalam proses pembelajarannya mempunyai peluang yang lebih dibandingkan dengan yang belum dalam meregulasi diri dalam belajar.
Bertitik tolak dari hal tersebut, pengintegrasian teknologi informasi pada Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputer atau yang sejenisnya akan berpengaruh pada bagaimana mahasiswa meregulasi diri dalam belajar. Dari perspektif lingkungan psikososial pembalajaran di kelas (learning environment), interaksi siswa dengan para guru merupakan pengalaman yang paling utama yang berpengaruh dalam meregulasi diri dalam belajar (Zimmerman, 1989). Para mahasiswa mungkin saja lebih mudah meregulasi diri dalam belajar jika gaya para guru dalam mengajar (teaching style) lebih berpusat ke siswa (student-centred), memberikan umpan balik selama proses pembelajaran berlangsung, dan dalam mengajar menggunakan beberapa strategi belajar (Butler and Winne, 1995).
Beberapa faktor lingkungan, seperti hubungan antara motivational beliefs (intrinsic & extrinsic gola orientation, self-efficacy, control beliefs, task values and anxiety) dengan regulasi diri dalam belajar (self-regulated learning) secara luas telah banyak diteliti (Kwon, 2001; Riverto, Cabanach and Arias, 2001; Eom and Reiser, 2000; David, 1999; Pintrich and Roeser, 1994). Kajian ini menemukan bahwa mergulasi diri dalam belajar mempunyai hubungan positip dengan motivational beliefs mereka. Penelitian terbaru menyatakan bahwa beberapa faktor yang sifatnya pribadi seperti melek akan informasi (informasi literacy), sikap siswa terhadap teknologi informasi mempunyai pengaruh pada bagaimana siswa meregulasi diri dalam belajar (Ee, 2000; Jukes, Dosaj and Macdonald, 2000).
Mereka yang mampu memanfaatkan teknologi informasi (seperti komputer PC, internet dan multimedia, dan perangkat lunak) akan lebih mudah dalam meregulasi diri dalam belajar. Di samping itu pengetahuan dan kepercayaan mereka pada strategi meregulasi diri dalam belajar merupakan suatu faktor penting yang berpengaruh pada bagaimana mereka meregulasi diri dalam belajar (Zimmerman, 1989), karena siswa yangdapat mergulasi diri dalam belajar secara efektif mengetahui bagaimana, kapan, dan mengapa mereka menggunakan strategi itu.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada mahasiswa Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Teknik Komputer (STMIK) Indonesia Jakarta atau Sekolah Tinggi Komputer yang lain, dan bertujuan untuk meneliti seberapa jauh lingkungan pembelajaran di kelas, melek akan informasi (information literacy), dan sikap mahasiswa terhadap teknologi informasi mempunyai pengaruh pada bagaimana mereka meregulai diri dalam belajar.
Pertanyaan Penelitian
  1. Apakah faktor lingkungan pembelajaran di kelas (hubungan antara dosen-mahasiswa atau faktor yang lain) berpengaruh pada bagaimana mahasiswa meregulasi diri dalam belajar ?
  2. Apakah melek akan informasi (information literacy) dan sikap mahasiswa terhadap teknologi informasi berpengaruh pada bagaimana mahasiswa meregulasi diri dalam belajar ?

Instrumen Penelitian

  1. Instrumen MSLQ (Pintrich, Smith, Gracia, and McKeachie, 1991) terdiri dari 81 item dengan dua skala : Motivation scale (Intrinsic & Extrinsic Goal Orientation, Task Value, Control of Learning Beliefs, Self-Efficacy for Learning & Performance, Test Anxiety), dan Learning Strategies Scale (Rehearsal, Elaboration, Organization, Critical Thinking, Metacognitive Self-Regulation, Time / Study Environmental Management, Effort Regulation, Peer Learning, Help Seeking).
  2. Teacher-Student Interaction Scale dirujuk untuk dimodifikasi dari instrumen WIHIC (Fraser et al., 1996), QTI (Wubbels & Levy, 1991), CUCEI (Fraser et al., 1996), SEEQ (Marsh, 1982).
  3. Instruments for Assessing Attitudes Toward Information Technology (IAATIT) yang dikembangkan oleh Knezek, G., Christensen, R., and Miyashita, K. (1998) untuk mengevaluasi persepsi mahasiswa berkaitan dengan melek akan informasi (information literacy) dan sikap mereka terhadap teknologi informasi.

Kata kunci : SRL, learning environment, MSLQ, WIHIC, QTI, CUCEI, SEEQ, IAATIT

Catatan : instrumen/skala dalam artikel ini serta beberapa e-book yang berkaitan dengan hal itu dapat dipesan lewat email : hand_oz@yahoo.com

Wednesday, June 25, 2008

Learning Environment, SPAQ, dan Student Outcomes

Mengidentifikasi Beberapa Faktor Lingkungan Pembelajaran di Kelas dan Penilaian Mahasiswa Terhadap
Kegiatan Pembelajaran Yang Berpengaruh
Pada Hasil Belajar Mahasiswa
(Studi Kasus Pada STMIK Indonesia Jakarta)
Ringkasan Proposal Penelitian Dosen
Pendahuluan
Teori Walberg's tentang produktivitas bidang pendidikan (Walberg, 1981, 1984) berpegang pada sembilan faktor yang sangat berperan dalam menemukan perbedaaan hasil belajar siswa secara kognitif maupun afektif, yakni : kemampuan siswa, motivasi dan usia, mutu pengajaran, suasana (iklim) rumah secara psikologis, lingkungan psikososial pembelajaran di kelas (learning environment), teman sebaya di luar kelas, dan mass media (terutama televisi). Pengujian model menggunakan data yang dikumpulkan sebagai bagian dari suatu studi menunjukkan bahwa sikap dan prestasi siswa dipengaruhi secara bersama-sama oleh sejumlah faktor dan bukan hanya oleh satu faktor yang dominan saja (Walberg 1986; Walberg et al., 1986).
Faktor lingkungan pembelajaran di sekolah dan khususnya di kelas dilaporkan mempunyai satu pengaruh penting pada hasil belajar siswa (student outcomes), bahkan ketika sejumlah faktor yang lain dikendalikan. Penemuan ini adalah konsisten dengan model teori Getzels dan Thelen ( 1972), yang menguraikan bahwa lingkungan pembelajaran di kelas sebagai suatu sistem sosial dan menyatakan bahwa perilaku kelompok dapat diprediksi atau dipengaruhi oleh kebutuhan pribadi siswa, harapan siswa, dan lingkungan pembelajaran di kelas di mana siswa berada.
Penelitian tentang iklim (lingkungan psikososial) pembelajaran di kelas sudah dikerjakan oleh para peneliti sejak tiga dekade yang lalu (Fraser, 1998a; Goh & Khine, 2002; Tobin & Fraser, 1998) dengan berbagai metoda evaluasi, dan penelitian di bidang ini didominasi oleh penelitian yang berkaitan dengan penilaian prestasi akademis siswa ( Fraser, 1998b). Sedangkan pengukuran efektivitas kelas secara kuantitatif seringkali mengalami banyak kendala, antara lain adalah “keterbatasan pengujian, sangat baku, dangkal, dan dengan mudah hasilnya terlupakan", dan di banyak sekolah yang lainpun kurang mendapat perhatian ( Kyle, 1997, p. 851), hal itu merupakan suatu gambaran yang menyeluruh bahwa penelitian pada proses pendidikan sangat kurang. Pada awal tahun 1960, Bloom mengungkapkan bahwa pengukuran di lingkungan psikososial pembelajaran di kelas merupakan komponen yang menentukan arah dalam meramalkan dan selalu mencari cara terbaik untuk kesuksesan pembelajar (Anderson & Walberg, 1974). Sejak saat itu banyak penelitian yang menunjukkan bahwa persepsi siswa terhadap lingkungan (psikososial) pembelajaran di kelas dapat diukur dengan instrumen melalui survei, dan hasil penelitian mereka dijamin validitasnya (Anderson & Walberg, 1974; Fraser, 1997, 1998a, 1998b, 2002b; Moos, 1979), sehingga mengevaluasi prestasi siswa secara individual akan membawa ke arah efektivitas dalam mengorganisasi lingkungan pembelajaran di kelas (Walberg, 1974).Beberapa studi yang berkaitan dengan iklim (lingkungan psikososial) pembelajaran di kelas dan hasil belajar, iklim pembelajaran di kelas mempunyai beberapa dimensi yang secara konsisten telah dapat diidentifikasi sebagai faktor penentu dalam keberhasilan belajar (Fraser, 1986; Khine, 2002). Iklim pembelajaran di kelas, adalah apa yang dirasakan dan dialami siswa dan apakah mereka menyatakan bahwa pelaksanaan pembelajaran di kelas cenderung ke arah peningkatan prestasi siswa ? (Chang & Fisher, 2001a). Disamping itu untuk meningkatkan belajar siswa secara efektif, Reynolds, Doran, Allers, dan Agruso (1995) berargumentasi bahwa belajar yang efektif akan tercapai, jika ada keselarasan antara proses pengajaran yang dilakukan oleh guru, hasil belajar siswa dan penilaian terhadap proses pengajaran yang dilakukan oleh siswa.
Hasil Belajar Siswa (Student Outcomes)
Hasil belajar siswa secara afektif cenderung diperlakukan sebagai bagian integral dari studi tentang lingkungan pembelajaran bidang pendidikan. Menurut Klopfer'S (dikutip dari Fraser, 1977) ada enam kategori dari hasil belajar siswa secara afektif, yaitu yang ditetapkan dalam Test of Science Related Attitudes disingkat TOSRA (Fraser, 1981), sebagai sebagai : 1) sikap siswa terhadap materi suatu mata pelajaran, 2) sikap siswa ke arah inquiry, 3) mengadopsi sikap yang serupa pada materi yang sedang diajarkan, 4) rasa nikmat berkaitan dengan pengalaman belajar, 5) perhatian siswa pada materi mata pelajaran yang sedang diajarkan, yang merupakan bagian dari pengalaman belajar mereka, dan 6) perhatian siswa pada materi program studi yang akan menunjang suatu karir berdasarkan beberapa kategori afektif. Sebagai bahan pertimbangan, kepuasan siswa di kelas juga sebagai hasil pendidikan (educational outcomes) sebagaimana kepuasan kerja sebagai bagian dari produktivitas kerja (Zandvliet, 1999), dan Student Academic Efficacy (Kemanjuran Akademik Siswa), dengan item "Saya cukup menguasai materi pelajaran ini”, atau "Saya seorang siswa cerdas" (Fisher, Aldridge, Fraser, & Wood, 2001).Bagaimanapun juga hasil belajar siswa secara afektif, pengaruh, dan hubungannya dengan lingkungan pembelajaran di kelas sebagai variabel menjadi perhatian beberapa peneliti (Fraser, 1977). Hubungan antara skala pembelajaran dikelas dengan hasil belajar siswa secara afektif dan kognitif juga telah dilaporkan dalam beberapa kasus. Tanggapan siswa terhadap skala QTI, nilai prestasi mahasiswa STMIK, dan tanggapan terhadap skala afektif, yakni sikap mereka terhadap computer dan internet juga telah diselidiki di Indonesia (Soerjaningsih, Fraser, & Aldridge, 2001).dalam studi ini dikembangkan skala baru Test of Computer-Related Attitudes (TOCRA) hasil dari modifikasi tiga skala Test of Science-Related Attitudes (TOSRA) dan satu skala baru mengenai sikap siswa terhadap internet. Skala WIHIC versi Indonesia dan satu skala untuk menilai sikap terhadap dosen (guru atau pengajar) yang dimodifikasi dari TOSRA, dan prestasi secara kognitif yang meliputi studi tentang hubungan antara lingkungan pembelajaran di kelas dengan hasi belajar siswa dilakukan oleh Margianti, Fraser, dan Aldridge (2001) menggunakan tanggapan dari 2498 siswa sebagai sampel.
Students’ Perception of Assessment Questionnaire (SPAQ)
Laporan dari The Status and Quality of Teaching and Learning in Australia (Goodrum, Hackling, & Rennie, 2001) menyatakan bahwa penilaian adalah suatu komponen kunci pada proses belajar mengajar, para guru cenderung untuk menggunakan strategi penilaian dalam cakupan terbatas sebagai dasar umpan balik yang akan diberikan kepada orang tua dan para siswa. Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap para guru, Barksdale-Ladd dan Thomas (2000) mengidentifikasi lima cara terbaik dalam melakukan penilaian, yakni : 1) Menyediakan umpan balik untuk membantu para siswa dalam meningkatkan belajar mereka, 2) Secara konsep penilaian sebagai bagian dari suatu pekerjaan atau kegiatan siswa, 3)Memberikan keluwesan sedemikian sehingga penilaian tidak hanya didominasi terhadap kurikulum, 4) Memastikan bahwa penilaian akan memberikan informasi yang membantu para guru meningkatkan pengajaran mereka dan belajar siswa, dan 5) Menggunakan lebih dari satu alat ukur untuk menilai belajar siswa. Suatu proses penilaian yang efektif perlu melibatkan suatu sistem komunikasi dua arah antara para guru dan para siswa mereka.
Tujuan Penelitian :
  1. Menguji validitas dan reliabilitas skala College & University Classroom Environment Inventory (CUCEI), skala SPAQ, skala sikap mahasiswa terhadap mata kuliah yang berbasis informasi (diadopsi dari TOSRA), sikap mahasiswa terhadap teknologi informasi, dan skala Academic Efficacy pada Sekolah Tinggi Manajemen Informatika & Teknik Komputer (STMIK) Indonesia Jakarta.
  2. Menyelidiki faktor-faktor apa saja dari lingkungan pembelajaran di kelas dan penilaian siswa terhadap kegiatan pembelajaran yang mempengaruhi sikap mahasiswa terhadap mata kuliah yang berbasis teknologi informasi, dan sikap mahsiswa terhadap academic efficacy, dengan terlebih dulu menganalisis hubungan antara lingkungan pembelajaran di kelas, penilaian mahasiswa terhadap kegiatan pembelajaran, sikap mahasiswa terhadap mata kuliah yang berbasis teknologi informasi, sikap mahasiswa terhadap Academic Efficacy, dan sikap mahasiswa terhadap teknologi informasi.
  3. Menyelidiki bagaimana persepsi mahasiswa terhadap lingkungan pembelajaran di kelas dan sikap mereka terhadap komputer jika ditinjau dari karakteristik mahasiswa (gender, semester, program studi).
Instrumen
Skala CUCEI digunakan untuk menilai persepsi mahasiswa terhadap lingkungan pembelajaran di kelas, SPAQ dikembangkan di Essex, England (Dorman & Knightley, 2005) dan di Australia (Fisher, Waldrip, & Dorman, 2005), terdiri dari 30 item dan dikelompokkan ke dalam 5 subskala untuk menilai kegiatan pembelajaran berdasarkan persepsi siswa, yakni : Congruence with planned learning (Kesesuaian dengan Rencana Pembelajaran), Authencity (Kesesuaian dengan Kehidupan Nyata), Student Consultation (Konsultasi Siswa), Transparency (Keterbukaan), Diversity (Keberagaman), skala TOSRA untuk menilai sikap mahasiswa terhadap mata kuliah berbasis teknologi informasi, skala Academic Efficacy untuk menilai kemajuran akademik siswa, dan skala Survey Students’ Attitudes Toward Information Technology.
Prosedur Penelitian :
  1. Kuisener diedarkan kepada mahasiswa secara acak, antara lain : skala CUCEI, SPAQ, TOSRA, Instruments for Assessing Attitude Toward Information Technology (IAATIT), dan Academic Efficacy.
  2. Data dianalisis dengan menguji reliabilitas dan validitas lima skala tersebut di atas.
  3. Ada atau tidaknya pengaruh beberapa faktor dari lingkungan pembelajaran di kelas dan penilaian siswa terhadap kegiatan pembelajaran yang mempengaruhi sikap mahasiswa terhadap mata kuliah yang berbasis teknologi informasi, academic efficacy diuji menggunakan korelasi dan regresi berganda.
  4. Ada atau tidaknya perbedaan persepsi siswa terhadap lingkungan pembelajaran mereka, penilaian mahasiswa terhadap kegiatan pembelajaran, sikap mereka mata kuliah berbasis teknologi informasi, dan academic efficacy jika dikelompokkan menurut gender dan program studi diuji menggunakan uji t, dan jika dikelompokkan menurut semester (tingkat) diuji menggunakan one way Anova.
Kata kunci : learning environment, CUCEI, SPAQ, TOSRA, IAATIT, Academic Efficacy
Catatan : instrumen/skala dalam artikel ini serta beberapa e-book yang berkaitan dengan hal itu dapat dipesan lewat email : hand_oz@yahoo.com

Tuesday, June 24, 2008

Meneliti Pengaruh Self-Regulated Learning Pada Prestasi Siswa

Kategori artikel : Motivasi
Kesuksesan belajar yang dialami siswa berkaitan erat dengan bagaimana siswa dapat meregulasi dirinya dalam belajar, salah satunya adalah prestasi siswa. Para guru mempunyai tanggung jawab tidak hanya mengajar, akan tetapi yang lebih penting adalah mengajari siswanya bagaimana mereka harus belajar. Mengajari siswa tentang bagaimana mereka memilih strategi dalam meregulasi dirinya dalam belajar (Self-Regulated Learning) akan merefleksikan tujuan jangka panjang bagi pendidikan mereka, dan hal ini berkaitan dengan bagaimana siswa mempunyai ketrampilan dalam belajar (Pintrich & DeGroot, 1990).
Telah banyak peneliti melakukan studi terhadap Self-Regulated Learning (SRL) dan hubungan serta pengaruhnya terhadap prestasi siswa. Camahalan & Marsya (2006), meneliti prestasi siswa pada pelajaran matematika sehubungan dengan kebiasaan belajar mereka yang kurang baik melalui program Self-Regulated Learning Program (SRLP) di Asia Tenggara, yang bertujuan untuk membantu siswa meningkatkan prestasi mereka dalam pelajaran matematika. Riset ini difokuskan pada prestasi siswa dalam pelajaran matematika, regulasi diri siswa dalam mempelajari matematika, dan membandingkan prestasi mereka sebelum dan setelah dilakukan intervensi melalui Mathematics Self-Regulated Learning Program (MSRLP).
Konsep SRLP dalam proyek riset ini adalah program pelatihan yang terdiri dari empat komponen utama, yang pertama mengacu pada pengetahuan dan keyakinan siswa pada materi pelajaran matematika, meliputi tujuan belajar / learning goals (Dweck, 1986), memanage usaha / effort management (Weiner, 1979), self-efficacy (Bandura, 1986) diharapkan dapat diorientasikan pada gagasan untuk pengarahan diri / self-direction (Bandura, 1989), self-responsibility (de Charms, 1987), dan regulasi diri / self-regulation (Zimmerman, 1989) dalam belajar.
Program ini dilakukan untuk mengetahui apa, bagaimana, mengapa, dan kapan strategi belajar dibutuhkan agar siswa dapat diarahkan (self-directed), dapat bertanggung jawab (self-responsibility), dan meregulasi dirinya dalam belajar. Komponen kedua adalah strategi self-regulation learning (SRLS) yang meliputi dua aspek (cognitive dan metacognitive)dari proses belajar.
Zimmerman (1989) mengidentifikasikan 14 strategi SRLS (Self-regulated Learning Strategies), yakni : self-evaluation, Organizing and transforming, Goal-setting and planning, Seeking information, Keeping records and monitoring, Environmental structuring, Self-consequences, Rehearsingand memorizing, Seeking social assistance, Reviewing records. Hasil dari penelitian ini antara lain terdapat perbedaan pengaruh antara yang mengunakan SRLS dengan yang tidak terhadap prestasi siswa pada mata pelajaran matematika, juga antara yang yunior (kelas 4) dengan yang senior (kelas 6).
Peneliti lain, Ozturk, Bulut, dan Koc (2007) melakukan penelitian pada siswa sekolah menengah di Turki. Mereka meneliti kontribusi komponen self-regulated learning dan motivation beliefs pada prestasi mereka pada mata pelajaran matematika. Kuisener MSLQ (Motivated Strategies for Learning Questionnaire) dan Mathematics Achievement Tests dibagikan kepada mereka untuk mendapat responnya. Menurut penelitian mereka self-efficacy mempunyai pengaruh yang kuat pada prestasi siswa pada mata pelajaran matematika, sejalan dengan penelitian Wolters & Pintrich (1998), berpengaruh pada nilai mata pelajaran matematika, IPS, dan bahasa Inggris, juga berpengaruh pada nilai rata-rata semua mata pelajaran (Pintrich & DeGroot, 1990), demikian juga extrinsic goal orientation berpengaruh pada nilai mata pelajaran matematika. Akan tetapi self-regulation (effort management dan metagocnition) tidak berpengaruh pada prestasi siswa pada mata pelajaran matematika, dan ini kontradiksi dengan beberapa penelitian yang dilakukan oleh Azevedo & Cromley (2004), Kramarski & Gutman ( 2006), Pintrich & De Groot (1990), dan Zimmerman (1998).
Kata kunci : SRL, SRLS, MSLQ
Catatan : instrumen/skala dalam artikel ini serta beberapa e-book yang berkaitan dengan hal itu dapat dipesan lewat email : hand_oz@yahoo.com

Monday, June 23, 2008

Self-Regulated Learning Strategies & Motivation Strategies for Learning Questionnaire

Kategori artikel : motivasi
Self-Regulated Learning Strategies (SRLS)
Strategi belajar (learning strategies) didasarkan pada strategi SRL Zimmerman's (1986) yang meliputi dua aspek, yakni aspek cognitive dan metacognitive pada proses belajar. Zimmerman (1989) mengidentifikasi 14 strategi SRL yang diperoleh dari teori kognitif sosial. Tujuan setiap strategi untuk meningkatkan regulasi diri pada siswa, yakni : a) berfungsi pada diri siswa (personal functioning), b) kinerja perilaku akademik siswa (academic behavioral performance), dan c) lingkungan pembelajaran di kelas (learning environment).
Sebagai contoh, strategi organizing and transforming, rehearsing and memorizing, goal setting and planning difokuskan pada mengoptimalkan regulasi pribadi siswa (personal regulation). Strategi self-evaluation dan self-consequences dirancang untuk meningkatkan fungsi perilaku siswa (behavioral functioning), dan strategi environmental structuring, seeking information, reviewing, dan seeking assistance dimaksudkan untuk mengoptimalkan lingkungan pembelajaran siswa di kelas (learning environment).
14 strategi meregulasi diri dalam belajar disingkat SRLS adalah :
  1. Self-evaluation (beberapa statemen yang menandakan adanya inisiatif siswa untuk mengevaluasi mutu atau kemajuan tentang apa yang dikerjakan mereka).
  2. Organizing and transforming (beberapa statemen yang menandakan adanya inisiatif siswa untuk mengorganisasi kembali materi pelajaran agar lebih mudah dan jelas memahaminya untuk meningkatkan belajar mereka).
  3. Goal-setting and planning (beberapa statemen yang menandakan bahwa siswa telah menentukan sasaran, sasaran antara, perencanaan yang bertahap, pemilihan waktu, menyusun semua kegiatan yang berhubungan dengan sasaran pendidikan mereka).
  4. Seeking information (beberapa statemen yang menandakan adanya usaha awal siswa untuk berusaha sungguh-sungguh mendapatkan semua informasi yang berkaitan dengan tugas mereka).
  5. Keeping records and monitoring (beberapa statemen yang menandakan adanya usaha awal siswa untuk mengingat beberapa peristiwa atau hasil dari pekerjaan mereka).
  6. Environmental structuring (beberapa statemen yang menandakan adanya usaha awal siswa untuk memilih atau menyusun tempat yang membuat belajar lebih mudah).
  7. Self-consequences (beberapa statemen yang menandakan siswa dapat mengatur diri atau berimajinasi akan mendapat penghargaan jika sukses dan hukuman jika gagal).
  8. Rehearsing and memorizing (beberapa statemen yang menandakan adanya usaha awal siswa untuk menghafal materi pelajaran agar lebih mudah memahami dan jelas).
  9. Seeking social assistance (beberapa statemen yang menandakan adanya usaha awal siswa untuk meminta bantuan kepada teman-teman,
  10. para guru,
  11. dan orang yang lebih tua.
  12. – 14 Reviewing records (beberapa statemen yang menandakan adanya usaha awal siswa untuk membaca kembali soal-soal ujian, catatan, atau buku teks dalam menghadapi ulangan atau ujian kenaikan kelas).
Motivation Strategies for Learning Questionnaire (MSLQ)
MSLQ adalah instrumen dengan menggunakan skala Likert yang dirancang untuk menilai motivasi (motivation beliefs) dan penggunaan strategi belajar (learning strategies use) yang digunakan oleh siswa.
Skala motivasi beliefs meliputi tiga area :
  1. Value (goal orientasi intrinsik dan ekstrinsik, task value / nilai suatu tugas),
  2. Expectancy / pengharapan (control beliefs about learning / keyakinan dalam mengendalikan belajar , self-efficacy), dan
  3. Affect / pengaruh (test anxiety / uji ketertarikan).
Skala strategi belajar meliputi 9 subskala hasil ekstrak dari 14 strategi SRLS di atas, yakni :
  1. Strategi kognitif (cognitive strategies) : rehearsal (latihan), elaboration (pengembangan), organization (mengorganisasi), critical thinking (berpikir kritis),
  2. Strategi metakognitif (metacognitive strategies) : planning, monitoring, and regulating,
  3. Resource management / memanage sumber daya : managing time (memanage waktu) and study environment (lingkungan studi), effort management (memanage usaha), help-seeking (mencari bantuan).
Kombinasi antara subskala strategi metacognitive dan subskala effort management akan menghasilkan skala self-regulation (Pintrich & De Groot, 1990).
Selanjutnya Self regulated learning (SRL) merupakan konstruk (construct) dari penggunaan strategi kognitif (cognitive strategy use) dan skala self-regulation.
Kata kunci : SRL, SRLS, MSLQ
Catatan : instrumen/skala dalam artikel ini serta beberapa e-book yang berkaitan dengan hal itu dapat dipesan lewat email : hand_oz@yahoo.com

Self-Regulated Learning

Kategori artikel : Motivasi
Self-Regulation (meregulasi diri) adalah jenis strategi meta-cognitive (‘pengetahuan dan kesadaran dari proses-proses kognitif seseorang secara pribadi’ dalam Mayer, 2003 : 100) atau strategi yang sesuai dan dipilih untuk membantu siswa sebagai individu maupun organisasi dalam merefleksikan pengalaman, tindakan, dan keputusan yang akan diambil.
Istilah self-regulated (meregulasi diri) digunakan juga dalam belajar dan dikenal sebagai Self-Regulated Learning (SRL), yakni belajar yang berpedoman pada metacognition, tindakan strategik (perencanaan, monitoring, dan mengevaluasi kemajuan diri dibandingkan dengan suatu standar yang telah ditetapkan), dan motivasi dalam belajar (Butler & Winne, 1995; Winne & Perry, 2000; Perry, Phillips, & Hutchinson, 2006; Zimmerman, 1990). Khususnya, seorang siswa akan meregulasi dirinya (self-regulated) akan kelemahan dan kelebihan akademik mereka, dan mempunyai beberapa strategi yang mereka gunakan dalam menghadapi tantangan tugas akademik mereka sehari-hari.
Siswa yang meregulasi dirinya dalam belajar memegang keyakinan akan kecerdasan yang mereka miliki dan kegagalan serta kesuksesan mereka sangat bergantung pada usaha mereka dalam menyelesaikan tugas berdasarkan penggunaan strategi yang mereka pilih (Dweck & Leggett, 1988; Dweck, 2002). Akhirnya para siswa yang meregulasi dirinya dalam belajar percaya bahwa peluang dalam menghadapi tantangan dalam mengerjakan tugas, cara belajar mereka, mengembangkan suatu pemahaman akan materi pelajaran, merupakan usaha untuk mencapai kesuksesan akademik mereka (Perry et al., 2006).
Beberapa pakar mendefinisikan SRL, antara lain : merupakan suatu proses yang bersifat membangun dan aktif, di mana siswa menetapkan beberapa tujuan (goals) belajar mereka, kemudian mencoba untuk memonitor, mengatur (regulate) dan mengendalikan kesadaran (cognition), motivasi, perilaku mereka yang diarahkan dan dibatasi oleh beberapa tujuan belajar mereka yang berhubungan dengan lingkungan belajar mereka (Pintrich 2000, hal : 453), sedangkan menurut Zimmerman (1989) merupakan strategi, tindakan dan proses yang diarahkan untuk mendapatkan informasi atau kemampuan yang melibatkan perantara, tujuan, dan persepsi strategi, tindakan dan proses yang diarahkan untuk mendapatkan informasi atau kemampuan yang melibatkan perantara, tujuan, dan persepsi siswa.
SRL dan keyakinan akan perlunya motivasi merupakan komponen yang kritis pada proses belajar mengajar saat ini (Schunk, 2005), dan sampai saat ini beberapa peneliti meyakini bahwa komponen SRL punya hubungan dengan prestasi akademik siswa (Azevedo & Cromley, 2004; Kramarski & Gutman, 2006; Pintrich & De Groot, 1990; Zimmerman, 1998). Disamping itu juga perlu diperhatikan beberapa faktor lingkungan sosial yang mempengaruhi siswa dalam menyelesaikan tugas (pekerjaan rumah). Sebagai contoh, beberapa peneliti juga menguji pengaruh orang tua dan para guru terhadap siswa dalam menyelesaikan tugas mereka (Cooper, Jackson, Nye, & Lindsay, 2001; Cooper & Valentine, 2001).
Kata kunci : SRL

Sunday, June 22, 2008

Peran Gaya Orangtua Dalam Mendidik Anak Dalam Pengembangan Regulasi Diri Mahasiswa

Kategori artikel : Motivasi
Selagi para peneliti menetapkan bagaimana lingkungan pembelajaran di kelas berpengaruh pada pengembangan dan penggunaan ketrampilan meregulasi diri, masih sedikit perhatian ditujukan pada peran dari keluarga dalam mengembangkan atau bahkan tidak berbuat apa-apa pada pengembangan ketrampilan ini.
Ainsworth et al. (1978) dan Bowlby (1982) mengusulkan suatu kerangka yang secara konseptual berdasarkan pada teori pemasangan dan peran orangtua dalam mendidik anak (Baumrind, 1967, 1991) untuk menguji hubungan antara gaya orangtua dalam mendidik anak (family context variable) dengan pengembangan ketrampilan dalam meregulasi diri (self-regulation skills).
Kerangka yang diusulkan mengintegrasikan dua pendekatan teoritis untuk memahami pengaruh pada pengembangan anak, yang pertama adalah teori tentang kasih sayang / attachment theorists (Ainsworth, Blehar, Waters, & Wall, 1978; Bowlby, 1982; Bretherton, 1985; Main, Kaplan, & Cassidy, 1985), menunujukkan bahwa pola teladan hubungan antara orangtua-anak mengijinkan kepada anak untuk mengembangkan self-efficacy, self-confidence, dan perasaan memahami diri sendiri (a veridical sense of self), atau pola-pola insecure-avoideance dan insecure ambivalent dari hubungan kasih sayang antara orangtua dan anak, akan menjadikan anak relatif bergantung pada orangtuanya, kurang percaya diri (self-confidence), dan kurang bisa mengevaluasi diri sesuatu hal yang positip atau negatip. Yang kedua kerangka yang dikembangkan adalah menyelidiki pengaruh gaya orangtua dalam mendidik anaknya.
Gaya orangtua (parenting style) dalam mendidik anak dikelompokkan menjadi tiga gaya (Baumrind, 1978), yakni : authoritarian (perilaku dan sikap orangtua terhadap anak yang ditandai dengan kehangatan yang rendah, tetapi dengan pengendalian yang tinggi), permissive (perilaku dan sikap orangtua terhadap anak yang ditandai dengan kehangatan yang tinggi, tetapi dengan pengendalian yang rendah), dan authoritative (perilaku dan sikap orangtua terhadap anak yang ditandai dengan kehangatan dan pengendalian yang tinggi).
Survei dilakukan kepada para mahasiswa untuk mengetahui hubungan antara aspek self-concept mahasiswa, latar belakang masa anak-anak mereka, persepsi terhadap pengajaran di sekolah mereka, dan kebiasaan studi mereka terhadap ketrampilan pengembangan dalam meregulasi diri mereka. Instrumen yag digunakan dalam penelitian ini adalah The Student Attitudes and Perceptions Survey (SAPS), yang terdiri dari subskala Student Personal Profile, Family Background, Perceptions of their Course, dan instrumen kedua menggunakan Motivated Self-Regulated of Learning Questionnaire (MSLQ).
Hasil penelitian ini antara lain : persepsi mahasiswa terhadap gaya orangtua mereka yang authoritative (bapak dan ibu) dan keluarga yang emosional akan berpengaruh pada rasa percaya dan berpikir positip terhadap dirinya, juga terhadap goal orientasi yang positip di sekolah, peduli terhadap masa depan. Family Profile juga berpengaruh pada kemampuan mereka dalam memange usaha, memanage waktu, dan juga pada item-item komponen dari self-regulated learning (SRL).
Kata kunci : Parenting Style, SAPS, MSLQ, SRL
Catatan : instrumen/skala dalam artikel ini serta beberapa e-book yang berkaitan dengan hal itu dapat dipesan lewat email : hand_oz@yahoo.com

Saturday, June 21, 2008

Pengaruh Gaya Orangtua Dalam Mendidik Anak Pada Kinerja Akademik dan Sikap Siswa Terhadap Prestasi

Kategori artikel : Motivasi
Gaya orangtua dalam mendidik anak (parenting style) ditunjukkan secara konsisten mempunyai hubungan dengan berbagai perilaku prestasi anak. Gaya orangtua dalam mendidik anak menurut Baumrind'S (1991), yakni : authoritarian (perilaku dan sikap orangtua terhadap anak yang ditandai dengan kehangatan yang rendah, tetapi dengan pengendalian yang tinggi), permissive (perilaku dan sikap orangtua terhadap anak yang ditandai dengan kehangatan yang tinggi, tetapi dengan pengendalian yang rendah), dan authoritative (perilaku dan sikap orangtua terhadap anak yang ditandai dengan kehangatan dan pengendalian yang tinggi). Beberapa penelitian yang berkaitan dengan gaya orangtua dalam mendidik anak telah dilakukan oleh banyak peneliti antara lain :
  • Attaway et al. ( 2004) menemukan bahwa pengendalian yang tinggi oleh orangtua akan berpengaruh pada prestasi akademik (rendah) dengan sampel remaja keturunan Afrika-Amerika.• Strage et al. (1999) menguji peran dalam orangtua gaya pada mahasiswa, dan hasilnya menunjukkan gaya orangtua dalam mendidik anak tetap penting pada anak mereka ketika remaja dan studi perguruan tinggi. Semakin orangtua memberikan otonom pada anaknya, permintaan, dan dukungan diberikan, maka akan membuat mahasiswa lebih yakin dan gigih dalam belajar.
  • Joshi et al. (2003) menemukan bahwa gaya orangtua dalam mendidik anak tidak ada hubungan dengan prestasi akademis yang tinggi. Korelasi yang signifikan ditemukan antara prestasi akademik dengan kekerasan yang dilakukan oleh ibu, juga antara keterlibatan ayah dengan kekerasan untuk sampel siswa berkulit putih.
  • Dornbusch et al. (1987) menemukan bahwa gaya orangtua yang authoritarian dan orangtua yang permissive mempunyai hubungan negatip dengan prestasi akademik siswa, sedangkan gaya orangtua yang authoritative dalam mendidik anaknya mempunya hubungan yang positif dengan kinerja akademis siswa.

Dengan menggunakan perspektif teori Self-Determination, apakah motivasi terhadap anak dan gaya orangtua dalam mendidik anak mempunyai arti yang penting pada kinerja akademik anak, dan apakah ada hubungan antara gaya orangtua dalam mendidik anak, prestasi akademik, sikap siswa terhadap prestasi dalam memprediksi kinerja akademik anak, menjadi suatu kajian yang cukup penting. Untuk keperluan tersebut gaya orangtua diukur menggunakan Parental Authority Questionnaire (Buri, 1991) disingkat PAQ atau, skala ‘The Primary Caregivers Practices Report’ (Robinson et al., 1995) disingkat PCPR, motivasi akademik diukur menggunakan Academic Motivation Scale (AMS) College Version (Vallerand etal., 1992).

Kata Kunci : PAQ, PCPR, AMS, Parenting Style

Catatan : instrumen/skala dalam artikel ini serta beberapa e-book yang berkaitan dengan hal itu dapat dipesan lewat email : hand_oz@yahoo.com