Sunday, June 29, 2008

Beberapa Dimensi Iklim Sekolah

Kategori artikel : learning environment
Di tahun 1970an, Rudolf Moos menunjukkan peningkatan suatu tindakan dan kesadaran, yakni bertambahnya perhatian pada lingkungan manusia. Moos melakukan studi mengenai lingkungan lebih dari satu dekade, dalam The Human Context, ia mengemukakan "ada lima konsepsi lingkungan psikososial yang berbeda walaupun saling berhubungan (1976, p. 29), yakni :
  1. Perspektif dari ekologi dan evolusi manusia, dengan lingkungan yang membatasi kegiatan orang.
  2. Perspektif sosial dari Darwinism, dengan memilih lingkungan, atau menyokong, orang dengan karakteristik yang lebih kuat.
  3. Lingkungan memotivasi dalam menghadapi tantangan individu, kemudahan dan pertumbuhan sosial berkaitan dengan pengembangan peradaban.
  4. Suatu pendekatan ekologis sosial, di mana setiap individu mencari informasi tentang lingkungan, dalam rangka memilih lingkungan yang mempunyai kemungkinan terbesar untuk sukses, dan
  5. Setiap individu mencari untuk meningkatkan kendali mereka atas lingkungan dalam rangka meningkatkan kebebasan individu, (Oelschlaeger, 1991).

Pengintegrasian lima konsep itu mendorong pengembangan "suatu pendekatan ekologis sosial" dari perspektif Moos (1976, p. 28) yang dirancang untuk membantu kita dalam memahami pengaruh dari lingkungan psikososial dari sudut pandang individu dan untuk meningkatkan lingkungan psikososial kita untuk memperkaya mutu hidup. Dari perspektif konseptual ini, Moos membaginya dalam daerah (domain) sistem lingkungan ekologi sosial yang berbeda dalam tiga dimensi :

  1. Dimensi Hubungan (Moos, 1974 : 16) : sejauh mana individu dilibatkan dalam lingkungannnya, sehingga mereka saling mendukung dan tolong menolong (dengan beberapa aspek seperti kekompakan (kohesi), ungkapan, dukungan, keanggotaan, dan keterlibatan).
  2. Dimensi Pertumbuhan pribadi (Moos, 1974) yang ditandai oleh pertumbuhan pribadi dan peluang untuk meningkatkan diri yang ditawarkan oleh lingkungan (dengan beberapa aspek yang berhubungan seperti kemerdekaan, prestasi, pengarahan tugas, self-discovery, kemarahan, agresi, kompetisi, otonomi, dan status pribadi).
  3. Dimensi Pemeliharaan Sistem dan Perubahan (Moos, 1974, 2002) : mempertimbangkan tingkat kendali dari lingkungan, ketertiban, kejelasan akan harapan, dan responsif terhadap perubahan (beberapa aspek yang menandai dimensi ini meliputi : organisasi, pengawasan, order, kejelasan, inovasi, kenyamanan phisik, dan pengaruh). Selanjutnya Moos memperlihatkan kualitas ketiga dimensi dalam keluarga, pekerjaan, sekolah, kesehatan, militer, penjara dan beberapa konteks dalam komunitas sosial (Moos, 1976, 1979, 2002). Arter (1989) menambahkan satu dimensi lagi sebagai pengembangan dari beberapa dimensi Moos, yaitu :
  4. Dimensi lingkungan fisik (physical environment) : berkaitan dengan sejauh mana iklim sekolah seperti kelengkapan sumber, kenyamanan, serta keamanan sekolah ikut mempengaruhi proses belajar mengajar.

Berdasarkan keempat dimensi dari Moos (dan Arter) di atas, beberapa peneliti mendesain instrumen iklim kelas/sekolah dengan skala yang mungkin saja berbeda satu dengan yang lain. Instrumen Iklim Sekolah lebih luas cakupannya dibandingkan instrumen Iklim Kelas yang hanya di titik beratkan pada hubungan antara guru-siswa dan siswa dengan siswa di kelas. Instrumen untuk iklim kelas, antara lain :

  1. WIHIC mempunyai dimensi Student Cohesiveness, Teacher Support, Involvement, Investigation, Task Orientation, Cooperation, and Equity.
  2. Cultural Learning Environment Questionnaire (CLEQ) mempunyai dimensi Equity, Collaboration, Congruence.
  3. Questionnaire on Teacher Interaction (QTI) mempunyai dimensi Leadership Helpful/friendly, Understanding, Student responsibility, Uncertain, Admonishing, Strict.
  4. College and University Classroom Environment Inventory (CUCEI) dengan beberapa dimensi antara lain personalization, innovation, student cohesion, task orientation, cooperation, individualization, dan equity.
  5. Techonology-Rich Outcomes-Focused Learning Environment Inventory (TROFLEI) dengan beberapa dimensi, antara lain : student cohesiveness, teacher support, involvement, task orientation, investigation, cooperation, equity, differentation, computer usage, dan young adult ethos.

Sedangkan instrumen untuk iklim sekolah, antara lain :

  1. Inventory of School Climate (ISC) mempunyai dimensi Teacher Support, Consistency and Clarity of Rules and Expectations, Student Commitment and Achievement Orientation, Negative Peer Interaction, Positive Peer Interactions, Disciplinary Harshness, Student Input in Decision Making, Instructional Innovation/Relevance, Support for Cultural Pluralism, dan Safety Problems.
  2. Student Climate Survey (SCS) dengan tiga dimensi, yakni Behavioral Environment (dengan skala Peer Behavior, Behavior Expectations, dan School Safety & Cleanliness), Student Interactions (dengan skala Teacher Support, Adult Fairness & Respect), Academic Environment (dengan skala Academic Standarts dan Academic Self-Confidence).
  3. The Comprehensif School Climate Inventory (CSCI), dengan beberapa dimensi yakni Safety (dengan skala Physical dan Social-Emotional), Teaching and Learning (dengan skala Quality of Instruction, Social, Emotional and Ethical Learning / hanya personil sekolah, Leadership / hanya untuk personil sekolah), Relationship (dengan skala Respect for Diversity, School Community and Collaboration, dan Morale), dan dimensi Environment.

Kata kunci : WIHIC, CLEQ, QTI, CUCEI, TROFLEI, ISC, SCS, CSCI

Catatan : instrumen/skala dalam artikel ini dan e-book yang berkaitan dengan hal itu dapat dipesan lewat email : hand_oz@yahoo.com

Saturday, June 28, 2008

Gaya Mengajar Seorang Guru

Kategori artikel : teaching & learning
Vantilburg/Heimlich Teaching Style Preference (Heimlich, 1990) digunakan untuk memastikan gaya mengajar seorang guru (teaching style) yang lebih disukainya dalam suatu mata pelajaran. Instrumen ini didefinisikan dalam dua domain, kepekaan (sensivity) dan inclusi (inclusion). Domain kepekaan didasarkan pada kemampuan seorang guru dalam memahami secara menyeluruh karakteristik suatu kelompok siswa.
Domain inclusi didasarkan pada kemampuan dan kesediaan seorang guru menggunakan suatu teknik untuk meningkatkan pengalaman belajar berdasar karakteristik suatu kelompok siswa. Gaya seorang guru di kelas dapat digolongkan ke dalam salah satu dari empat dimensi gaya mengajar. Semakin besar skor yang diperoleh dalam domain kepekaan atau inclusi, semakin peka atau semakin inclusif seorang guru terhadap para siswanya.
Seorang guru yang memperoleh skor dalam suatu kuadran di mana kepekaan dan inclusinya rendah diberi label atau berdimensi ahli (expert), di mana mereka lebih berorientasi pada materi pelajaran (subject) dan berbagi informasi seefisien mungkin ke pada para siswa, yang kesemuanya dalam bentuk ceramah. Seorang guru yang memperoleh skor inclusi rendah tapi kepekaan tinggi diberi label atau berdimensi penyedia (provider), pada kuadran ini gaya mengajar seorang guru berpusat pada siswa (learner-centered) dan berusaha agar pengajaran yang efektif dengan beberapa metode meliputi kelompok diskusi, demonstrasi, dan memandu kegiatan. Jika seorang guru memperoleh skor inclusi yang tinggi dan kepekaan yang rendah diberi label atau berdimensi fasilitator, pada kuadran ini gaya mengajar seorang guru berpusat pada guru (teacher-centered) dibandingkan pada siswa dan metode pengajaran tergantung pada materi mata pelajaran.
Dimensi yang terakhir atau pada kuadran di mana skor yang diperoleh adalah inclusi dan kepekaan yang tinggi, gaya mengajar ini diberi label enabler (untuk memperoleh kedudukan yang lebih baik). Gaya ini sangat berpusat pada siswa dalam arti bahwa para pembelajar (siswa) digambarkan sebagai kegiatan dan proses dalam lingkungan pembelajaran di kelas.
Kata kunci : teaching style

Friday, June 27, 2008

Studi Tentang Pengaruh Positip Dari Persepsi Siswa Terhadap Lingkungan Pembelajaran Di Kelas Pada Konsep Diri Akademik Siswa

Kategori artikel : learning/classroom environment

Tujuan Penelitian :
Penelitian ini akan menyelidiki efek atau pengaruh dari persepsi siswa pada lingkungan pembelajaran di kelas mereka (variable bebas), khususnya dalam beberapa mata pelajaran IPS atau bisa juga untuk IPA (di SMP atau SMA) terhadap konsep diri (self-concept) mereka (variable tidak bebas) pada mata pelajaran IPS. Variable bebas dari persepsi mereka terhadap lingkungan pembelajaran di kelas mengacu pada persepsi keterlibatan mereka di kelas dan persepsi tentang keanggautaan mereka di kelas.
Self-Concept terhadap akademik mereka (academic self-concept) mengacu pada seberapa jauh mereka mempunyai kepercayaan dan kebanggaan akan segala sesuatu yang mereka kerjakan di kelas, khususnya dalam mata pelajaran IPS. Pendidikan orangtua mereka digunakan sebagai variabel kontrol.
Latar Belakang Penelitian :
Moos (1979) telah memperkenalkan persepsi siswa terhadap lingkungan pembelajaran di kelas (classroom environment atau classroom climate), diantaranya adalah persepsi keterlibatan mereka di kelas (sejauh mana para siswa mempunyai minat dan perhatian, berpartisipasi dalam diskusi, serius mengikuti dan menikmati proses pembelajaran di kelas) dikenal sebagai dimensi student involvement dan persepsi siswa terhadap keanggautaan mereka di kelas (sejauh mana para siswa saling tolong menolong, saling membantu, dan nikmati dalam bekerja bersama) yang dikenal sebagai dimensi student affiliation.
Keterlibatan siswa dalam belajar di kelas merupakan dimensi dari lingkungan pembelajaran di kelas yang penting dalam mempromosikan motivasi akademik siswa (Zewin, 1983). Fouts, Chan, dan Biao (1993) menemukan bahwa persepsi keterlibatan siswa di kelas (di China dan Amerika) mempunyai hubungan positip dengan hasil belajar siswa (sikap mereka terhadap suatu mata pelajaran, sikap yang berhubungan dengan kenikmatan dalam mempelajari suatu mata pelajaran, dan lain-lain).
Moos and Moos (1978) menemukan bahwa persepsi keterlibatan siswa di kelas juga mempunyai hubungan positip dengan nilai-nilai yang diperoleh siswa. Knight and Waxman (1990) menemukan juga bahwa persepsi keterlibatan siswa di kelas mempunyai hubungan yang positip dengan self-concept terhadap akademik mereka. Dengan memanfaatkan beberapa hal yang menguntungkan dari persepsi siswa terhadap keanggautaan mereka di kelas, Schmuck and Schmuck (1992) tertantang untuk meneliti kesetiakawanan antar teman sekelas dapat mempromosikan self-esteem mereka secara positip. Para siswa yang berorientasi pada student affiliation ditandai dengan adanya keinginan saling tolong menolong, saling membantu, dan saling mendukung di antara mereka di kelas, sehingga mereka akan percaya diri dalam memanfaatkan kemampuan akademiknya ( Van Egmond, 1960).
Hipotesis :
  1. Persepsi siswa terhadap subskala Student Involvement dan Student Affiliation akan berpengaruh secara signifikan pada konsep diri akademik siswa.
  2. Persepsi siswa terhadap subskala Student Involvement akan berpengaruh secara signifikan pada konsep diri akademik siswa.
  3. Persepsi siswa terhadap subskala Student Affiliation akan berpengaruh secara signifikan pada konsep diri akademik siswa.

Instrumen Penelitian :

  1. Pada penelitian ini digunakan instrumen Classroom Environment Scale disingkat CES. Form R (CES) yang dibangun oleh Trickett and Moos (1973) untuk mengukur persepsi siswa terhadap lingkungan pembelajaran di kelas, khususnya untuk subskala /dimensi student involvement dan student affiliation.
  2. Instrumen yang kedua adalah Academic Self-Concept disingkat ASC yang dirujuk dari Self Description Questionnaire II (Marsh & Shavelson, 1985; Shavelson et al., 1976) disingkat SDQ II, yang dirancang untuk mengukur konsep diri akademik (Academic Self-Concept) siswa maupun kosep diri non akademik (Non Academic Self-Concept).

Kata kunci : classroom environment, CES, ASC, SDQ II

Catatan : instrumen/skala dalam artikel ini serta beberapa e-book yang berkaitan dengan hal itu dapat dipesan lewat email : hand_oz@yahoo.com

Thursday, June 26, 2008

Meneliti Pengaruh Hubungan Dosen-Mahasiswa, Sikap Mahasiswa Pada Teknologi Informasi Terhadap Self-Regulated Learning

(Rancangan Kerangka Penelitian Dosen)

Katagori artilel : motivasi, learning environment

Latar Belakang Penelitian
Kajian ulang yang dilakukan oleh Bandura (1997, 1986, 1977) menyatakan bahwa self-regulated learning (regulasi diri dalam belajar) disingkat SRL dipengaruhi oleh beberapa faktor yang sifatnya pribadi dan lingkungan. Faktor lingkungan terdiri dari dua kategori, yang pertama berkaitan dengan faktor fisik yang menentukan dalam belajar, yang kedua berkaitan dengan pengalaman social yang dialami oleh siswa selama proses belajar berlangsung (Zimmerman, 1997). Kemampuan meregulasi diri dalam belajar mempunyai peran penting yang menentukan kesuksesan dalam belajar.
Lewis dan Mendelsohn (1993) menyatakan bahwa para siswa di sekolah yang telah mengintegrasikan teknologi informasi dalam proses pembelajarannya mempunyai peluang yang lebih dibandingkan dengan yang belum dalam meregulasi diri dalam belajar.
Bertitik tolak dari hal tersebut, pengintegrasian teknologi informasi pada Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputer atau yang sejenisnya akan berpengaruh pada bagaimana mahasiswa meregulasi diri dalam belajar. Dari perspektif lingkungan psikososial pembalajaran di kelas (learning environment), interaksi siswa dengan para guru merupakan pengalaman yang paling utama yang berpengaruh dalam meregulasi diri dalam belajar (Zimmerman, 1989). Para mahasiswa mungkin saja lebih mudah meregulasi diri dalam belajar jika gaya para guru dalam mengajar (teaching style) lebih berpusat ke siswa (student-centred), memberikan umpan balik selama proses pembelajaran berlangsung, dan dalam mengajar menggunakan beberapa strategi belajar (Butler and Winne, 1995).
Beberapa faktor lingkungan, seperti hubungan antara motivational beliefs (intrinsic & extrinsic gola orientation, self-efficacy, control beliefs, task values and anxiety) dengan regulasi diri dalam belajar (self-regulated learning) secara luas telah banyak diteliti (Kwon, 2001; Riverto, Cabanach and Arias, 2001; Eom and Reiser, 2000; David, 1999; Pintrich and Roeser, 1994). Kajian ini menemukan bahwa mergulasi diri dalam belajar mempunyai hubungan positip dengan motivational beliefs mereka. Penelitian terbaru menyatakan bahwa beberapa faktor yang sifatnya pribadi seperti melek akan informasi (informasi literacy), sikap siswa terhadap teknologi informasi mempunyai pengaruh pada bagaimana siswa meregulasi diri dalam belajar (Ee, 2000; Jukes, Dosaj and Macdonald, 2000).
Mereka yang mampu memanfaatkan teknologi informasi (seperti komputer PC, internet dan multimedia, dan perangkat lunak) akan lebih mudah dalam meregulasi diri dalam belajar. Di samping itu pengetahuan dan kepercayaan mereka pada strategi meregulasi diri dalam belajar merupakan suatu faktor penting yang berpengaruh pada bagaimana mereka meregulasi diri dalam belajar (Zimmerman, 1989), karena siswa yangdapat mergulasi diri dalam belajar secara efektif mengetahui bagaimana, kapan, dan mengapa mereka menggunakan strategi itu.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada mahasiswa Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Teknik Komputer (STMIK) Indonesia Jakarta atau Sekolah Tinggi Komputer yang lain, dan bertujuan untuk meneliti seberapa jauh lingkungan pembelajaran di kelas, melek akan informasi (information literacy), dan sikap mahasiswa terhadap teknologi informasi mempunyai pengaruh pada bagaimana mereka meregulai diri dalam belajar.
Pertanyaan Penelitian
  1. Apakah faktor lingkungan pembelajaran di kelas (hubungan antara dosen-mahasiswa atau faktor yang lain) berpengaruh pada bagaimana mahasiswa meregulasi diri dalam belajar ?
  2. Apakah melek akan informasi (information literacy) dan sikap mahasiswa terhadap teknologi informasi berpengaruh pada bagaimana mahasiswa meregulasi diri dalam belajar ?

Instrumen Penelitian

  1. Instrumen MSLQ (Pintrich, Smith, Gracia, and McKeachie, 1991) terdiri dari 81 item dengan dua skala : Motivation scale (Intrinsic & Extrinsic Goal Orientation, Task Value, Control of Learning Beliefs, Self-Efficacy for Learning & Performance, Test Anxiety), dan Learning Strategies Scale (Rehearsal, Elaboration, Organization, Critical Thinking, Metacognitive Self-Regulation, Time / Study Environmental Management, Effort Regulation, Peer Learning, Help Seeking).
  2. Teacher-Student Interaction Scale dirujuk untuk dimodifikasi dari instrumen WIHIC (Fraser et al., 1996), QTI (Wubbels & Levy, 1991), CUCEI (Fraser et al., 1996), SEEQ (Marsh, 1982).
  3. Instruments for Assessing Attitudes Toward Information Technology (IAATIT) yang dikembangkan oleh Knezek, G., Christensen, R., and Miyashita, K. (1998) untuk mengevaluasi persepsi mahasiswa berkaitan dengan melek akan informasi (information literacy) dan sikap mereka terhadap teknologi informasi.

Kata kunci : SRL, learning environment, MSLQ, WIHIC, QTI, CUCEI, SEEQ, IAATIT

Catatan : instrumen/skala dalam artikel ini serta beberapa e-book yang berkaitan dengan hal itu dapat dipesan lewat email : hand_oz@yahoo.com

Wednesday, June 25, 2008

Learning Environment, SPAQ, dan Student Outcomes

Mengidentifikasi Beberapa Faktor Lingkungan Pembelajaran di Kelas dan Penilaian Mahasiswa Terhadap
Kegiatan Pembelajaran Yang Berpengaruh
Pada Hasil Belajar Mahasiswa
(Studi Kasus Pada STMIK Indonesia Jakarta)
Ringkasan Proposal Penelitian Dosen
Pendahuluan
Teori Walberg's tentang produktivitas bidang pendidikan (Walberg, 1981, 1984) berpegang pada sembilan faktor yang sangat berperan dalam menemukan perbedaaan hasil belajar siswa secara kognitif maupun afektif, yakni : kemampuan siswa, motivasi dan usia, mutu pengajaran, suasana (iklim) rumah secara psikologis, lingkungan psikososial pembelajaran di kelas (learning environment), teman sebaya di luar kelas, dan mass media (terutama televisi). Pengujian model menggunakan data yang dikumpulkan sebagai bagian dari suatu studi menunjukkan bahwa sikap dan prestasi siswa dipengaruhi secara bersama-sama oleh sejumlah faktor dan bukan hanya oleh satu faktor yang dominan saja (Walberg 1986; Walberg et al., 1986).
Faktor lingkungan pembelajaran di sekolah dan khususnya di kelas dilaporkan mempunyai satu pengaruh penting pada hasil belajar siswa (student outcomes), bahkan ketika sejumlah faktor yang lain dikendalikan. Penemuan ini adalah konsisten dengan model teori Getzels dan Thelen ( 1972), yang menguraikan bahwa lingkungan pembelajaran di kelas sebagai suatu sistem sosial dan menyatakan bahwa perilaku kelompok dapat diprediksi atau dipengaruhi oleh kebutuhan pribadi siswa, harapan siswa, dan lingkungan pembelajaran di kelas di mana siswa berada.
Penelitian tentang iklim (lingkungan psikososial) pembelajaran di kelas sudah dikerjakan oleh para peneliti sejak tiga dekade yang lalu (Fraser, 1998a; Goh & Khine, 2002; Tobin & Fraser, 1998) dengan berbagai metoda evaluasi, dan penelitian di bidang ini didominasi oleh penelitian yang berkaitan dengan penilaian prestasi akademis siswa ( Fraser, 1998b). Sedangkan pengukuran efektivitas kelas secara kuantitatif seringkali mengalami banyak kendala, antara lain adalah “keterbatasan pengujian, sangat baku, dangkal, dan dengan mudah hasilnya terlupakan", dan di banyak sekolah yang lainpun kurang mendapat perhatian ( Kyle, 1997, p. 851), hal itu merupakan suatu gambaran yang menyeluruh bahwa penelitian pada proses pendidikan sangat kurang. Pada awal tahun 1960, Bloom mengungkapkan bahwa pengukuran di lingkungan psikososial pembelajaran di kelas merupakan komponen yang menentukan arah dalam meramalkan dan selalu mencari cara terbaik untuk kesuksesan pembelajar (Anderson & Walberg, 1974). Sejak saat itu banyak penelitian yang menunjukkan bahwa persepsi siswa terhadap lingkungan (psikososial) pembelajaran di kelas dapat diukur dengan instrumen melalui survei, dan hasil penelitian mereka dijamin validitasnya (Anderson & Walberg, 1974; Fraser, 1997, 1998a, 1998b, 2002b; Moos, 1979), sehingga mengevaluasi prestasi siswa secara individual akan membawa ke arah efektivitas dalam mengorganisasi lingkungan pembelajaran di kelas (Walberg, 1974).Beberapa studi yang berkaitan dengan iklim (lingkungan psikososial) pembelajaran di kelas dan hasil belajar, iklim pembelajaran di kelas mempunyai beberapa dimensi yang secara konsisten telah dapat diidentifikasi sebagai faktor penentu dalam keberhasilan belajar (Fraser, 1986; Khine, 2002). Iklim pembelajaran di kelas, adalah apa yang dirasakan dan dialami siswa dan apakah mereka menyatakan bahwa pelaksanaan pembelajaran di kelas cenderung ke arah peningkatan prestasi siswa ? (Chang & Fisher, 2001a). Disamping itu untuk meningkatkan belajar siswa secara efektif, Reynolds, Doran, Allers, dan Agruso (1995) berargumentasi bahwa belajar yang efektif akan tercapai, jika ada keselarasan antara proses pengajaran yang dilakukan oleh guru, hasil belajar siswa dan penilaian terhadap proses pengajaran yang dilakukan oleh siswa.
Hasil Belajar Siswa (Student Outcomes)
Hasil belajar siswa secara afektif cenderung diperlakukan sebagai bagian integral dari studi tentang lingkungan pembelajaran bidang pendidikan. Menurut Klopfer'S (dikutip dari Fraser, 1977) ada enam kategori dari hasil belajar siswa secara afektif, yaitu yang ditetapkan dalam Test of Science Related Attitudes disingkat TOSRA (Fraser, 1981), sebagai sebagai : 1) sikap siswa terhadap materi suatu mata pelajaran, 2) sikap siswa ke arah inquiry, 3) mengadopsi sikap yang serupa pada materi yang sedang diajarkan, 4) rasa nikmat berkaitan dengan pengalaman belajar, 5) perhatian siswa pada materi mata pelajaran yang sedang diajarkan, yang merupakan bagian dari pengalaman belajar mereka, dan 6) perhatian siswa pada materi program studi yang akan menunjang suatu karir berdasarkan beberapa kategori afektif. Sebagai bahan pertimbangan, kepuasan siswa di kelas juga sebagai hasil pendidikan (educational outcomes) sebagaimana kepuasan kerja sebagai bagian dari produktivitas kerja (Zandvliet, 1999), dan Student Academic Efficacy (Kemanjuran Akademik Siswa), dengan item "Saya cukup menguasai materi pelajaran ini”, atau "Saya seorang siswa cerdas" (Fisher, Aldridge, Fraser, & Wood, 2001).Bagaimanapun juga hasil belajar siswa secara afektif, pengaruh, dan hubungannya dengan lingkungan pembelajaran di kelas sebagai variabel menjadi perhatian beberapa peneliti (Fraser, 1977). Hubungan antara skala pembelajaran dikelas dengan hasil belajar siswa secara afektif dan kognitif juga telah dilaporkan dalam beberapa kasus. Tanggapan siswa terhadap skala QTI, nilai prestasi mahasiswa STMIK, dan tanggapan terhadap skala afektif, yakni sikap mereka terhadap computer dan internet juga telah diselidiki di Indonesia (Soerjaningsih, Fraser, & Aldridge, 2001).dalam studi ini dikembangkan skala baru Test of Computer-Related Attitudes (TOCRA) hasil dari modifikasi tiga skala Test of Science-Related Attitudes (TOSRA) dan satu skala baru mengenai sikap siswa terhadap internet. Skala WIHIC versi Indonesia dan satu skala untuk menilai sikap terhadap dosen (guru atau pengajar) yang dimodifikasi dari TOSRA, dan prestasi secara kognitif yang meliputi studi tentang hubungan antara lingkungan pembelajaran di kelas dengan hasi belajar siswa dilakukan oleh Margianti, Fraser, dan Aldridge (2001) menggunakan tanggapan dari 2498 siswa sebagai sampel.
Students’ Perception of Assessment Questionnaire (SPAQ)
Laporan dari The Status and Quality of Teaching and Learning in Australia (Goodrum, Hackling, & Rennie, 2001) menyatakan bahwa penilaian adalah suatu komponen kunci pada proses belajar mengajar, para guru cenderung untuk menggunakan strategi penilaian dalam cakupan terbatas sebagai dasar umpan balik yang akan diberikan kepada orang tua dan para siswa. Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap para guru, Barksdale-Ladd dan Thomas (2000) mengidentifikasi lima cara terbaik dalam melakukan penilaian, yakni : 1) Menyediakan umpan balik untuk membantu para siswa dalam meningkatkan belajar mereka, 2) Secara konsep penilaian sebagai bagian dari suatu pekerjaan atau kegiatan siswa, 3)Memberikan keluwesan sedemikian sehingga penilaian tidak hanya didominasi terhadap kurikulum, 4) Memastikan bahwa penilaian akan memberikan informasi yang membantu para guru meningkatkan pengajaran mereka dan belajar siswa, dan 5) Menggunakan lebih dari satu alat ukur untuk menilai belajar siswa. Suatu proses penilaian yang efektif perlu melibatkan suatu sistem komunikasi dua arah antara para guru dan para siswa mereka.
Tujuan Penelitian :
  1. Menguji validitas dan reliabilitas skala College & University Classroom Environment Inventory (CUCEI), skala SPAQ, skala sikap mahasiswa terhadap mata kuliah yang berbasis informasi (diadopsi dari TOSRA), sikap mahasiswa terhadap teknologi informasi, dan skala Academic Efficacy pada Sekolah Tinggi Manajemen Informatika & Teknik Komputer (STMIK) Indonesia Jakarta.
  2. Menyelidiki faktor-faktor apa saja dari lingkungan pembelajaran di kelas dan penilaian siswa terhadap kegiatan pembelajaran yang mempengaruhi sikap mahasiswa terhadap mata kuliah yang berbasis teknologi informasi, dan sikap mahsiswa terhadap academic efficacy, dengan terlebih dulu menganalisis hubungan antara lingkungan pembelajaran di kelas, penilaian mahasiswa terhadap kegiatan pembelajaran, sikap mahasiswa terhadap mata kuliah yang berbasis teknologi informasi, sikap mahasiswa terhadap Academic Efficacy, dan sikap mahasiswa terhadap teknologi informasi.
  3. Menyelidiki bagaimana persepsi mahasiswa terhadap lingkungan pembelajaran di kelas dan sikap mereka terhadap komputer jika ditinjau dari karakteristik mahasiswa (gender, semester, program studi).
Instrumen
Skala CUCEI digunakan untuk menilai persepsi mahasiswa terhadap lingkungan pembelajaran di kelas, SPAQ dikembangkan di Essex, England (Dorman & Knightley, 2005) dan di Australia (Fisher, Waldrip, & Dorman, 2005), terdiri dari 30 item dan dikelompokkan ke dalam 5 subskala untuk menilai kegiatan pembelajaran berdasarkan persepsi siswa, yakni : Congruence with planned learning (Kesesuaian dengan Rencana Pembelajaran), Authencity (Kesesuaian dengan Kehidupan Nyata), Student Consultation (Konsultasi Siswa), Transparency (Keterbukaan), Diversity (Keberagaman), skala TOSRA untuk menilai sikap mahasiswa terhadap mata kuliah berbasis teknologi informasi, skala Academic Efficacy untuk menilai kemajuran akademik siswa, dan skala Survey Students’ Attitudes Toward Information Technology.
Prosedur Penelitian :
  1. Kuisener diedarkan kepada mahasiswa secara acak, antara lain : skala CUCEI, SPAQ, TOSRA, Instruments for Assessing Attitude Toward Information Technology (IAATIT), dan Academic Efficacy.
  2. Data dianalisis dengan menguji reliabilitas dan validitas lima skala tersebut di atas.
  3. Ada atau tidaknya pengaruh beberapa faktor dari lingkungan pembelajaran di kelas dan penilaian siswa terhadap kegiatan pembelajaran yang mempengaruhi sikap mahasiswa terhadap mata kuliah yang berbasis teknologi informasi, academic efficacy diuji menggunakan korelasi dan regresi berganda.
  4. Ada atau tidaknya perbedaan persepsi siswa terhadap lingkungan pembelajaran mereka, penilaian mahasiswa terhadap kegiatan pembelajaran, sikap mereka mata kuliah berbasis teknologi informasi, dan academic efficacy jika dikelompokkan menurut gender dan program studi diuji menggunakan uji t, dan jika dikelompokkan menurut semester (tingkat) diuji menggunakan one way Anova.
Kata kunci : learning environment, CUCEI, SPAQ, TOSRA, IAATIT, Academic Efficacy
Catatan : instrumen/skala dalam artikel ini serta beberapa e-book yang berkaitan dengan hal itu dapat dipesan lewat email : hand_oz@yahoo.com

Tuesday, June 24, 2008

Meneliti Pengaruh Self-Regulated Learning Pada Prestasi Siswa

Kategori artikel : Motivasi
Kesuksesan belajar yang dialami siswa berkaitan erat dengan bagaimana siswa dapat meregulasi dirinya dalam belajar, salah satunya adalah prestasi siswa. Para guru mempunyai tanggung jawab tidak hanya mengajar, akan tetapi yang lebih penting adalah mengajari siswanya bagaimana mereka harus belajar. Mengajari siswa tentang bagaimana mereka memilih strategi dalam meregulasi dirinya dalam belajar (Self-Regulated Learning) akan merefleksikan tujuan jangka panjang bagi pendidikan mereka, dan hal ini berkaitan dengan bagaimana siswa mempunyai ketrampilan dalam belajar (Pintrich & DeGroot, 1990).
Telah banyak peneliti melakukan studi terhadap Self-Regulated Learning (SRL) dan hubungan serta pengaruhnya terhadap prestasi siswa. Camahalan & Marsya (2006), meneliti prestasi siswa pada pelajaran matematika sehubungan dengan kebiasaan belajar mereka yang kurang baik melalui program Self-Regulated Learning Program (SRLP) di Asia Tenggara, yang bertujuan untuk membantu siswa meningkatkan prestasi mereka dalam pelajaran matematika. Riset ini difokuskan pada prestasi siswa dalam pelajaran matematika, regulasi diri siswa dalam mempelajari matematika, dan membandingkan prestasi mereka sebelum dan setelah dilakukan intervensi melalui Mathematics Self-Regulated Learning Program (MSRLP).
Konsep SRLP dalam proyek riset ini adalah program pelatihan yang terdiri dari empat komponen utama, yang pertama mengacu pada pengetahuan dan keyakinan siswa pada materi pelajaran matematika, meliputi tujuan belajar / learning goals (Dweck, 1986), memanage usaha / effort management (Weiner, 1979), self-efficacy (Bandura, 1986) diharapkan dapat diorientasikan pada gagasan untuk pengarahan diri / self-direction (Bandura, 1989), self-responsibility (de Charms, 1987), dan regulasi diri / self-regulation (Zimmerman, 1989) dalam belajar.
Program ini dilakukan untuk mengetahui apa, bagaimana, mengapa, dan kapan strategi belajar dibutuhkan agar siswa dapat diarahkan (self-directed), dapat bertanggung jawab (self-responsibility), dan meregulasi dirinya dalam belajar. Komponen kedua adalah strategi self-regulation learning (SRLS) yang meliputi dua aspek (cognitive dan metacognitive)dari proses belajar.
Zimmerman (1989) mengidentifikasikan 14 strategi SRLS (Self-regulated Learning Strategies), yakni : self-evaluation, Organizing and transforming, Goal-setting and planning, Seeking information, Keeping records and monitoring, Environmental structuring, Self-consequences, Rehearsingand memorizing, Seeking social assistance, Reviewing records. Hasil dari penelitian ini antara lain terdapat perbedaan pengaruh antara yang mengunakan SRLS dengan yang tidak terhadap prestasi siswa pada mata pelajaran matematika, juga antara yang yunior (kelas 4) dengan yang senior (kelas 6).
Peneliti lain, Ozturk, Bulut, dan Koc (2007) melakukan penelitian pada siswa sekolah menengah di Turki. Mereka meneliti kontribusi komponen self-regulated learning dan motivation beliefs pada prestasi mereka pada mata pelajaran matematika. Kuisener MSLQ (Motivated Strategies for Learning Questionnaire) dan Mathematics Achievement Tests dibagikan kepada mereka untuk mendapat responnya. Menurut penelitian mereka self-efficacy mempunyai pengaruh yang kuat pada prestasi siswa pada mata pelajaran matematika, sejalan dengan penelitian Wolters & Pintrich (1998), berpengaruh pada nilai mata pelajaran matematika, IPS, dan bahasa Inggris, juga berpengaruh pada nilai rata-rata semua mata pelajaran (Pintrich & DeGroot, 1990), demikian juga extrinsic goal orientation berpengaruh pada nilai mata pelajaran matematika. Akan tetapi self-regulation (effort management dan metagocnition) tidak berpengaruh pada prestasi siswa pada mata pelajaran matematika, dan ini kontradiksi dengan beberapa penelitian yang dilakukan oleh Azevedo & Cromley (2004), Kramarski & Gutman ( 2006), Pintrich & De Groot (1990), dan Zimmerman (1998).
Kata kunci : SRL, SRLS, MSLQ
Catatan : instrumen/skala dalam artikel ini serta beberapa e-book yang berkaitan dengan hal itu dapat dipesan lewat email : hand_oz@yahoo.com

Monday, June 23, 2008

Self-Regulated Learning Strategies & Motivation Strategies for Learning Questionnaire

Kategori artikel : motivasi
Self-Regulated Learning Strategies (SRLS)
Strategi belajar (learning strategies) didasarkan pada strategi SRL Zimmerman's (1986) yang meliputi dua aspek, yakni aspek cognitive dan metacognitive pada proses belajar. Zimmerman (1989) mengidentifikasi 14 strategi SRL yang diperoleh dari teori kognitif sosial. Tujuan setiap strategi untuk meningkatkan regulasi diri pada siswa, yakni : a) berfungsi pada diri siswa (personal functioning), b) kinerja perilaku akademik siswa (academic behavioral performance), dan c) lingkungan pembelajaran di kelas (learning environment).
Sebagai contoh, strategi organizing and transforming, rehearsing and memorizing, goal setting and planning difokuskan pada mengoptimalkan regulasi pribadi siswa (personal regulation). Strategi self-evaluation dan self-consequences dirancang untuk meningkatkan fungsi perilaku siswa (behavioral functioning), dan strategi environmental structuring, seeking information, reviewing, dan seeking assistance dimaksudkan untuk mengoptimalkan lingkungan pembelajaran siswa di kelas (learning environment).
14 strategi meregulasi diri dalam belajar disingkat SRLS adalah :
  1. Self-evaluation (beberapa statemen yang menandakan adanya inisiatif siswa untuk mengevaluasi mutu atau kemajuan tentang apa yang dikerjakan mereka).
  2. Organizing and transforming (beberapa statemen yang menandakan adanya inisiatif siswa untuk mengorganisasi kembali materi pelajaran agar lebih mudah dan jelas memahaminya untuk meningkatkan belajar mereka).
  3. Goal-setting and planning (beberapa statemen yang menandakan bahwa siswa telah menentukan sasaran, sasaran antara, perencanaan yang bertahap, pemilihan waktu, menyusun semua kegiatan yang berhubungan dengan sasaran pendidikan mereka).
  4. Seeking information (beberapa statemen yang menandakan adanya usaha awal siswa untuk berusaha sungguh-sungguh mendapatkan semua informasi yang berkaitan dengan tugas mereka).
  5. Keeping records and monitoring (beberapa statemen yang menandakan adanya usaha awal siswa untuk mengingat beberapa peristiwa atau hasil dari pekerjaan mereka).
  6. Environmental structuring (beberapa statemen yang menandakan adanya usaha awal siswa untuk memilih atau menyusun tempat yang membuat belajar lebih mudah).
  7. Self-consequences (beberapa statemen yang menandakan siswa dapat mengatur diri atau berimajinasi akan mendapat penghargaan jika sukses dan hukuman jika gagal).
  8. Rehearsing and memorizing (beberapa statemen yang menandakan adanya usaha awal siswa untuk menghafal materi pelajaran agar lebih mudah memahami dan jelas).
  9. Seeking social assistance (beberapa statemen yang menandakan adanya usaha awal siswa untuk meminta bantuan kepada teman-teman,
  10. para guru,
  11. dan orang yang lebih tua.
  12. – 14 Reviewing records (beberapa statemen yang menandakan adanya usaha awal siswa untuk membaca kembali soal-soal ujian, catatan, atau buku teks dalam menghadapi ulangan atau ujian kenaikan kelas).
Motivation Strategies for Learning Questionnaire (MSLQ)
MSLQ adalah instrumen dengan menggunakan skala Likert yang dirancang untuk menilai motivasi (motivation beliefs) dan penggunaan strategi belajar (learning strategies use) yang digunakan oleh siswa.
Skala motivasi beliefs meliputi tiga area :
  1. Value (goal orientasi intrinsik dan ekstrinsik, task value / nilai suatu tugas),
  2. Expectancy / pengharapan (control beliefs about learning / keyakinan dalam mengendalikan belajar , self-efficacy), dan
  3. Affect / pengaruh (test anxiety / uji ketertarikan).
Skala strategi belajar meliputi 9 subskala hasil ekstrak dari 14 strategi SRLS di atas, yakni :
  1. Strategi kognitif (cognitive strategies) : rehearsal (latihan), elaboration (pengembangan), organization (mengorganisasi), critical thinking (berpikir kritis),
  2. Strategi metakognitif (metacognitive strategies) : planning, monitoring, and regulating,
  3. Resource management / memanage sumber daya : managing time (memanage waktu) and study environment (lingkungan studi), effort management (memanage usaha), help-seeking (mencari bantuan).
Kombinasi antara subskala strategi metacognitive dan subskala effort management akan menghasilkan skala self-regulation (Pintrich & De Groot, 1990).
Selanjutnya Self regulated learning (SRL) merupakan konstruk (construct) dari penggunaan strategi kognitif (cognitive strategy use) dan skala self-regulation.
Kata kunci : SRL, SRLS, MSLQ
Catatan : instrumen/skala dalam artikel ini serta beberapa e-book yang berkaitan dengan hal itu dapat dipesan lewat email : hand_oz@yahoo.com

Self-Regulated Learning

Kategori artikel : Motivasi
Self-Regulation (meregulasi diri) adalah jenis strategi meta-cognitive (‘pengetahuan dan kesadaran dari proses-proses kognitif seseorang secara pribadi’ dalam Mayer, 2003 : 100) atau strategi yang sesuai dan dipilih untuk membantu siswa sebagai individu maupun organisasi dalam merefleksikan pengalaman, tindakan, dan keputusan yang akan diambil.
Istilah self-regulated (meregulasi diri) digunakan juga dalam belajar dan dikenal sebagai Self-Regulated Learning (SRL), yakni belajar yang berpedoman pada metacognition, tindakan strategik (perencanaan, monitoring, dan mengevaluasi kemajuan diri dibandingkan dengan suatu standar yang telah ditetapkan), dan motivasi dalam belajar (Butler & Winne, 1995; Winne & Perry, 2000; Perry, Phillips, & Hutchinson, 2006; Zimmerman, 1990). Khususnya, seorang siswa akan meregulasi dirinya (self-regulated) akan kelemahan dan kelebihan akademik mereka, dan mempunyai beberapa strategi yang mereka gunakan dalam menghadapi tantangan tugas akademik mereka sehari-hari.
Siswa yang meregulasi dirinya dalam belajar memegang keyakinan akan kecerdasan yang mereka miliki dan kegagalan serta kesuksesan mereka sangat bergantung pada usaha mereka dalam menyelesaikan tugas berdasarkan penggunaan strategi yang mereka pilih (Dweck & Leggett, 1988; Dweck, 2002). Akhirnya para siswa yang meregulasi dirinya dalam belajar percaya bahwa peluang dalam menghadapi tantangan dalam mengerjakan tugas, cara belajar mereka, mengembangkan suatu pemahaman akan materi pelajaran, merupakan usaha untuk mencapai kesuksesan akademik mereka (Perry et al., 2006).
Beberapa pakar mendefinisikan SRL, antara lain : merupakan suatu proses yang bersifat membangun dan aktif, di mana siswa menetapkan beberapa tujuan (goals) belajar mereka, kemudian mencoba untuk memonitor, mengatur (regulate) dan mengendalikan kesadaran (cognition), motivasi, perilaku mereka yang diarahkan dan dibatasi oleh beberapa tujuan belajar mereka yang berhubungan dengan lingkungan belajar mereka (Pintrich 2000, hal : 453), sedangkan menurut Zimmerman (1989) merupakan strategi, tindakan dan proses yang diarahkan untuk mendapatkan informasi atau kemampuan yang melibatkan perantara, tujuan, dan persepsi strategi, tindakan dan proses yang diarahkan untuk mendapatkan informasi atau kemampuan yang melibatkan perantara, tujuan, dan persepsi siswa.
SRL dan keyakinan akan perlunya motivasi merupakan komponen yang kritis pada proses belajar mengajar saat ini (Schunk, 2005), dan sampai saat ini beberapa peneliti meyakini bahwa komponen SRL punya hubungan dengan prestasi akademik siswa (Azevedo & Cromley, 2004; Kramarski & Gutman, 2006; Pintrich & De Groot, 1990; Zimmerman, 1998). Disamping itu juga perlu diperhatikan beberapa faktor lingkungan sosial yang mempengaruhi siswa dalam menyelesaikan tugas (pekerjaan rumah). Sebagai contoh, beberapa peneliti juga menguji pengaruh orang tua dan para guru terhadap siswa dalam menyelesaikan tugas mereka (Cooper, Jackson, Nye, & Lindsay, 2001; Cooper & Valentine, 2001).
Kata kunci : SRL

Sunday, June 22, 2008

Peran Gaya Orangtua Dalam Mendidik Anak Dalam Pengembangan Regulasi Diri Mahasiswa

Kategori artikel : Motivasi
Selagi para peneliti menetapkan bagaimana lingkungan pembelajaran di kelas berpengaruh pada pengembangan dan penggunaan ketrampilan meregulasi diri, masih sedikit perhatian ditujukan pada peran dari keluarga dalam mengembangkan atau bahkan tidak berbuat apa-apa pada pengembangan ketrampilan ini.
Ainsworth et al. (1978) dan Bowlby (1982) mengusulkan suatu kerangka yang secara konseptual berdasarkan pada teori pemasangan dan peran orangtua dalam mendidik anak (Baumrind, 1967, 1991) untuk menguji hubungan antara gaya orangtua dalam mendidik anak (family context variable) dengan pengembangan ketrampilan dalam meregulasi diri (self-regulation skills).
Kerangka yang diusulkan mengintegrasikan dua pendekatan teoritis untuk memahami pengaruh pada pengembangan anak, yang pertama adalah teori tentang kasih sayang / attachment theorists (Ainsworth, Blehar, Waters, & Wall, 1978; Bowlby, 1982; Bretherton, 1985; Main, Kaplan, & Cassidy, 1985), menunujukkan bahwa pola teladan hubungan antara orangtua-anak mengijinkan kepada anak untuk mengembangkan self-efficacy, self-confidence, dan perasaan memahami diri sendiri (a veridical sense of self), atau pola-pola insecure-avoideance dan insecure ambivalent dari hubungan kasih sayang antara orangtua dan anak, akan menjadikan anak relatif bergantung pada orangtuanya, kurang percaya diri (self-confidence), dan kurang bisa mengevaluasi diri sesuatu hal yang positip atau negatip. Yang kedua kerangka yang dikembangkan adalah menyelidiki pengaruh gaya orangtua dalam mendidik anaknya.
Gaya orangtua (parenting style) dalam mendidik anak dikelompokkan menjadi tiga gaya (Baumrind, 1978), yakni : authoritarian (perilaku dan sikap orangtua terhadap anak yang ditandai dengan kehangatan yang rendah, tetapi dengan pengendalian yang tinggi), permissive (perilaku dan sikap orangtua terhadap anak yang ditandai dengan kehangatan yang tinggi, tetapi dengan pengendalian yang rendah), dan authoritative (perilaku dan sikap orangtua terhadap anak yang ditandai dengan kehangatan dan pengendalian yang tinggi).
Survei dilakukan kepada para mahasiswa untuk mengetahui hubungan antara aspek self-concept mahasiswa, latar belakang masa anak-anak mereka, persepsi terhadap pengajaran di sekolah mereka, dan kebiasaan studi mereka terhadap ketrampilan pengembangan dalam meregulasi diri mereka. Instrumen yag digunakan dalam penelitian ini adalah The Student Attitudes and Perceptions Survey (SAPS), yang terdiri dari subskala Student Personal Profile, Family Background, Perceptions of their Course, dan instrumen kedua menggunakan Motivated Self-Regulated of Learning Questionnaire (MSLQ).
Hasil penelitian ini antara lain : persepsi mahasiswa terhadap gaya orangtua mereka yang authoritative (bapak dan ibu) dan keluarga yang emosional akan berpengaruh pada rasa percaya dan berpikir positip terhadap dirinya, juga terhadap goal orientasi yang positip di sekolah, peduli terhadap masa depan. Family Profile juga berpengaruh pada kemampuan mereka dalam memange usaha, memanage waktu, dan juga pada item-item komponen dari self-regulated learning (SRL).
Kata kunci : Parenting Style, SAPS, MSLQ, SRL
Catatan : instrumen/skala dalam artikel ini serta beberapa e-book yang berkaitan dengan hal itu dapat dipesan lewat email : hand_oz@yahoo.com

Saturday, June 21, 2008

Pengaruh Gaya Orangtua Dalam Mendidik Anak Pada Kinerja Akademik dan Sikap Siswa Terhadap Prestasi

Kategori artikel : Motivasi
Gaya orangtua dalam mendidik anak (parenting style) ditunjukkan secara konsisten mempunyai hubungan dengan berbagai perilaku prestasi anak. Gaya orangtua dalam mendidik anak menurut Baumrind'S (1991), yakni : authoritarian (perilaku dan sikap orangtua terhadap anak yang ditandai dengan kehangatan yang rendah, tetapi dengan pengendalian yang tinggi), permissive (perilaku dan sikap orangtua terhadap anak yang ditandai dengan kehangatan yang tinggi, tetapi dengan pengendalian yang rendah), dan authoritative (perilaku dan sikap orangtua terhadap anak yang ditandai dengan kehangatan dan pengendalian yang tinggi). Beberapa penelitian yang berkaitan dengan gaya orangtua dalam mendidik anak telah dilakukan oleh banyak peneliti antara lain :
  • Attaway et al. ( 2004) menemukan bahwa pengendalian yang tinggi oleh orangtua akan berpengaruh pada prestasi akademik (rendah) dengan sampel remaja keturunan Afrika-Amerika.• Strage et al. (1999) menguji peran dalam orangtua gaya pada mahasiswa, dan hasilnya menunjukkan gaya orangtua dalam mendidik anak tetap penting pada anak mereka ketika remaja dan studi perguruan tinggi. Semakin orangtua memberikan otonom pada anaknya, permintaan, dan dukungan diberikan, maka akan membuat mahasiswa lebih yakin dan gigih dalam belajar.
  • Joshi et al. (2003) menemukan bahwa gaya orangtua dalam mendidik anak tidak ada hubungan dengan prestasi akademis yang tinggi. Korelasi yang signifikan ditemukan antara prestasi akademik dengan kekerasan yang dilakukan oleh ibu, juga antara keterlibatan ayah dengan kekerasan untuk sampel siswa berkulit putih.
  • Dornbusch et al. (1987) menemukan bahwa gaya orangtua yang authoritarian dan orangtua yang permissive mempunyai hubungan negatip dengan prestasi akademik siswa, sedangkan gaya orangtua yang authoritative dalam mendidik anaknya mempunya hubungan yang positif dengan kinerja akademis siswa.

Dengan menggunakan perspektif teori Self-Determination, apakah motivasi terhadap anak dan gaya orangtua dalam mendidik anak mempunyai arti yang penting pada kinerja akademik anak, dan apakah ada hubungan antara gaya orangtua dalam mendidik anak, prestasi akademik, sikap siswa terhadap prestasi dalam memprediksi kinerja akademik anak, menjadi suatu kajian yang cukup penting. Untuk keperluan tersebut gaya orangtua diukur menggunakan Parental Authority Questionnaire (Buri, 1991) disingkat PAQ atau, skala ‘The Primary Caregivers Practices Report’ (Robinson et al., 1995) disingkat PCPR, motivasi akademik diukur menggunakan Academic Motivation Scale (AMS) College Version (Vallerand etal., 1992).

Kata Kunci : PAQ, PCPR, AMS, Parenting Style

Catatan : instrumen/skala dalam artikel ini serta beberapa e-book yang berkaitan dengan hal itu dapat dipesan lewat email : hand_oz@yahoo.com