Thursday, July 31, 2008

Persepsi Siswa Terhadap Pembelajaran Di Kelas (Learning Environment)

Seperti halnya beberapa tahun yang lalu, saat ini mata pelajaran matematika masih dianggap sukar oleh para siswa mulai dari tingkat SD sampai SMA dan bahkan di Perguruan Tinggi, dan tidak hanya di kota-kota kecil bahkan untuk tingkat nasional sekalipun dan ini dapat disimak dari passing grade hasil ujian nasional untuk tingkat SD, SMP, dan SMA.

Bertolak dari kenyataan di atas, rancangan penelitian ini didesain untuk menyelidiki beberapa faktor yang berpengaruh pada persepsi siswa terhadap lingkungan pembelajaran di kelas dalam mata pelajaran matematika dan sikap siswa terhadap mata pelajaran matematika, khususnya untuk siswa SMA di kota Anu.

Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan penelitian yang lebih spesifik adalah :
  1. Apakah ada perbedaan persepsi siswa terhadap lingkungan pembelajaran di kelas dalam mata pelajaran matematika jika dikelompokkan menurut kelas, gender, SMA (Negeri atau Swasta) ?
  2. Apakah ada perbedaan sikap siswa terhadap mata pelajaran matematika jika dikelompokkan menurut kelas, gender, SMA (Negeri atau Swasta) ?
  3. Apakah ada hubungan antara persepsi siswa terhadap lingkungan pembelajaran di kelas dengan sikap siswa terhadap mata pelajaran matematika ?

Lingkungan Pembelajaran di Kelas (Learning Environment)
Di masa lalu, sebagian besar penelitian pendidikan matematika berfokus pada prestasi akademik siswa, dan sangat kecil kajian yang dipusatkan pada lingkungan pembelajaran di kelas sebagai faktor penentu hasil belajar bagi siswa. Namun demikian sejak 30 tahun terakhir telah terjadi kemajuan yang luar biasa dalam membangun konsep, memprediksi, dan menyelidiki lingkungan pembelajaran di kelas (Taylor, Fraser,& Fisher, 2007). Evolusi bidang lingkungan pembelajaran di kelas selama tiga dekade tampak dari pengembangan beberapa instrumen yang dapat digunakan untuk menilai lingkungan pembelajaran di kelas. Evolusi instrumen itu telah memfasilitasi penelitian pada lingkungan pembelajaran di kelas di tingkat sekolah menengah, seperti yang dilakukan oleh Kim, Fisher, dan Fraser (2005). Hasil penelitian itu menyatakan bahwa penelitian pada lingkungan pembelajaran di kelas diperlukan di semua tingkatan pendidikan. Oleh karena itu, penelitian ini akan menilai persepsi siswa terhadap lingkungan pembelajaran di kelas dalam mata pelajaran matematika sekolah menengah untuk menyelidikinya jika dikelompokkan menurut kelas, gender, dan SMA.

Sikap Siswa Terhadap Mata Pelajaran Matematika
Kesetaraan gender sudah banyak dilakukan dalam segala profesi di Indonesia, namun demikian jumlahnya masih harus ditingkatkan dalam masa-masa mendatang. Bisa jadi hal itu disebabkan karena sikap siswi terhadap mata pelajaran matematika merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi belum banyaknya mereka ikut serta di dalamnya. Perhatian ini telah mengakibatkan berbagai studi yang dirancang untuk mengidentifikasi perbedaan gender yang bisa mempengaruhi banyaknya anak-anak perempuan yang terjun dalam kegiatan di bidang ilmu pengetahuan (Oaks, 2000). Terutama sekali di Amerika , anak laki-laki mempunyai sikap yang lebih positip terhadap matematika dibandingkan anak-anak perempuan ( Kahle, 2003; Kurth, 2007). Perbedaan gender ini akan tampak ketika para siswa melanjutkan dari sekolah dasar ke sekolah menengah (Kanai & Norman, 2007). Sebagai contoh, pada penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan sikap terhadap mata pelajaran matematika jika dikelompokkan menurut gender, tetapi di sekolah menengah perbedaan itu tampak bahwa sikap siswa lebih tertarik dibandingkan siswi terhadap mata pelajaran matematika (American Association of University Women, 2002; Lockheed, Thorpe, Brooks-Gumn, Casserly, & McAloon, 2005; Oakes, 2000).

Instrumen
Fraser et al. (1996) telah mengembangkan suatu instrumen lingkungan pembelajaran yang baru, yakni kuisener ‘What is Happening in this Class’ (Apa yang sedang terjadi di Kelas ini) disingkat WIHIC. Instrumen ini merupakan skala yang dapat memprediksi hasil belajar siswa dengan apa yang terjadi pada lingkungan pembelajaran di kelas, dan juga mencerminkan pandangan baru dalam belajar secara kognitif. Skala WIHIC terdiri dari tujuh sub-skala, yakni : kekompakan siswa, dukungan Guru, keterlibatan siswa, arahan tugas, penyelidikan, kerjasama, dan kesetaraan. Format skala WIHIC menggunakan model skala Linkert 5 pilihan (hampir tidak pernah - hampir selalu / sering sekali) untuk mengukur respon siswa terhadap lingkungan pembelajaran di kelas mereka. Attitudes Toward Mathematics Inventory disingkat ATMI direkomendasikan untuk menyelidiki sikap siswa terhadap mata pelajaran matematika, terdiri dari 49 item yang dikelompokkan ke dalam 4 (empat) dimensi yang mendasari sikap siswa terhadap mata pelajaran matematika yakni : keyakinan diri (self-confidence), nilai bagi siswa mata pelajaran matematika (value of mathematics), kenikmatan yang diperoleh dari mata pelajaran matematika (enjoyment of mathematics), dan motivasi.

Kata kunci : ATMI, WIHIC, Learning Environment, Attitudes Toward Mathematics Inventory.
Catatan : instrumen/skala dalam artikel ini dan e-book yang berkaitan dengan hal itu dapat dipesan lewat e-mail : hand_oz@yahoo.com

Friday, July 25, 2008

Menguji Pengaruh Lingkungan Pembelajaran di Kelas Pada Motivation Beliefs Siswa

Penelitian ini menguji pengaruh lingkungan pembelajaran di kelas pada mata pelajaran anu (matematika, kimia, fisika, IPS) pada self-efficacy dan nilai intrinsik motivasi (intrinsic value of motivation) siswa. Beberapa kajian telah dilakukan berkaitan dengan hubungan langsung antara lingkungan pembelajaran di kelas dengan motivasi siswa telah banyak dilaporkan. Knight dan Waxman (1990) menyelidiki hubungan antara lingkungan pembelajaran di kelas dalam mata pelajaran ilmu pengetahuan sosial dengan motivasi siswa. Beberapa variabel lingkungan pembelajaran di kelas telah ditemukan mempunyai korelasi dengan tiga konstruk motivasi (motivational construct), yakni motivasi akademik, akademik self-concept, dan sosial self-concept dari 157 siswa kelas enam yang sebagian besar Hispanic.

Dorman (2001) mungkin yang pertama meneliti hubungan antara lingkungan pembelajaran di kelas dalam mata pelajaran matematika dengan kemanjuran akademik (academic efficacy) dengan sampel sebanyak 1055 siswa sekolah menengah di Australia. Ia menemukan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara tiga skala CLES yang digunakan pada penelitian ini, yakni personal relevance, shared control and student negotiation dengan kemanjuran akademik. Analisis menggunakan regresi berganda menunjukkan skala-skala tersebut tidak mempunyai pengaruh yang penting pada kemanjuran akademik.

Dethlefs (2002) menyelidiki hubungan antara lingkungan constructivist (constructivist environment) dengan self-efficacy dan motivasi intrinsic (intrinsic value) pada mata pelajaran Aljabar (Aljabar I dan Aljabar Lanjut) dan Biologi. Persepsi siswa terhadap lingkungan pembelajaran di kelas diukur menggunakan skala CLES ditemukan mempunyai hubungan positif dengan self-efficacy dan motivasi intrinsik. Keseluruhan skala CLES memprediksi motivasi intrinsik siswa pada kedua mata pelajaran tersebut, setelah variable demografik siswa dan kelas dikontrol, dan self-efficacy dalam mata pelajaran Aljabar I.

Motivational beliefs mengacu pada pendapat, nilai-nilai, dan keputusan yang diambil oleh para siswa berkaitan dengan beberapa obyek, kejadian atau cakupan dari suatu materi pelajaran (Pintrich, 2001; Skinner, 1995; Stipek, 1988). Para peneliti menguraikan bahwa kepercayaan (beliefs) para siswa telah digunakan dalam tugas-tugas yang punya arti bagi mereka dalam beberapa situasi belajar. Beberapa motivational beliefs yang spesifik adalah nilai yang diberikan oleh siswa di mana mereka ikut serta di dalamnya.
Sebagai contoh, Ali sering berkata : Saya tidak melihat apa yang mungkin dapat kupelajari dari membaca puisi, sedangkan Sandra menyatakan : Membaca puisi adalah kegiatan paling baik yang kita lakukan di sekolah. Motivational beliefs juga mengacu pada pendapat siswa tentang efektivitas atau efisiensi metode belajar dan mengajar yang digunakan. Sebagai contoh, Ali bertanya : Mengapa kita selalu harus bekerja dalam suatu kelompok ? Padahal Saya dapat belajar lebih baik manakala aku bekerja sendiri. Beliefs yang berkaitan dengan pengawasan intern dapat dibedakan sebagai kepercayaan tentang kemanjuran diri (self-efficacy beliefs) dan beberapa harapan tentang hasil yang akan dicapai.
Self-Efficacy beliefs adalah pendapat para siswa yang mempertahankan diri kemampuan mereka dalam suatu topik tertentu. Sebagai contoh Ali berkata : Aku percaya bahwa aku ahli dalam pemecahan masalah matematika jenis ini, sedangkan Sandra berkata : Walaupun Aku bukan bintang dalam mata pelajaran matematika, tetapi Aku tahu bagaimana cara meneliti teks suatu bacaan.

Di antara instrumen lingkungan pembelajaran di kelas yang tersedia, instrument WIHIC (Fraser et al., 1996) dipilih untuk menilai persepsi siswa terhadap lingkungan pembelajaran di kelas secara aktual dan sesuai dengan apa yang mereka harapkan. Instrumen WIHIC terdiri dari tujuh skala yakni : Student Cohesiveness, Teacher Support, Involvement, Investigation, Task Orientation, Cooperation, and Equity, menggunakan 5 skala Linkert (hampir tidak pernah, jarang, kadang-kadang, sering, dan hampir selalu/sering sekali). The Motivated Learning Strategies and Learning Questionnaire (MSLQ; Pintrich dan De Groot, 1990) digunakan untuk menilai motivation beliefs, yang terdiri dari tiga subskala yakni : Self-Efficacy, Intrinsic value, dan Test Anxiety. Ada dua subskala Self-Regulated Learning Strategies, yakni : Cognitive Strategy Use dan Self-Regulation. Karena Self-Efficacy dan Intrinsic Value merupakan komponen motivasi yang penting, maka hanya dua skala MSLQ ini yang digunakan, yang terdiri dari 18 item menggunakan 7 skala Linkert (1 = tidak yang benar – 7 = sangat benar/benar sekali).

Kata kunci : motivational beliefs, WIHIC, MSLQ
Catatan : instrumen/skala dalam artikel ini dan e-book yang berkaitan dengan hal itu dapat dipesan lewat e-mail : hand_oz@yahoo.com

Wednesday, July 23, 2008

Instrumen Pengukur Sikap Siswa Terhadap Matematika (Attitudes Toward Mathematics Inventory)

Beberapa riset menyatakan bahwa para siswa dengan sikap negatif terhadap mata pelajaran matematika mempunyai beberapa masalah kinerja akademik mereka yang sederhana yakni masalah ketertarikan mereka pada mata pelajaran itu. Penelitian tentang sikap siswa terhadap mata pelajaran matematika hampir selalu berhadapan secara eksklusif dengan kenikmatan atau ketertarikan pada materi pelajaran, tidak termasuk faktor lain.

Salah satu instrumen pertama-tama dikembangkan adalah skala Dutton (Dutton, 1954; Dutton& Blum, 1968), yang mengukur bagaimana perasaan siswa terhadap aritmatika. Skala Unidimensional dikembangkan oleh Gladstone, Deal, dan Drevdahl (1960) dan Aiken & Dreger (1961). Kemudiann Aiken (1974) membangun skala yang dirancang untuk mengukur rasa nikmat dalam mata pelajran matematika (enjoyment of mathematics) dan nilai bagi siswa mata pelajaran matematika (value of mathematics).

Beberapa peneliti mengembangkan skala yang secara eksklusif mengukur ketertarikan siswa terhadap mata pelajaran matematika (math anxiety), antara lain adalah : Mathematics Anxiety Rating Scale (Richardson & Suinn, 1972), Mathematics Anxiety Rating Scale-Revised (Plake & Parker, 1982), dan Mathematics Anxiety Questionnaire (Wigfield & Meece, 1988). The Fennema-Sherman Mathematics Attitude Scales (1976) dikembangkan pada tahun 1976 menjadi salah satu instrumen yang paling populer digunakan dalam penelitian tiga dekade terakhir.

The Fennema-Sherman Mathematics Attitude Scales terdiri dari sembilan instrumen, yakni :
  1. Skala yang mengukur sikap ke arah kesuksesan dalam mata pelajaran matematika (Attitude Toward Success in Mathematics Scale).
  2. Skala yang mengukur sikap bahwa matematika sebagai milik pria (Mathematics as a Male Domain Scale).
  3. Skala yang mengukur sikap Ibu terhadap mata pelajaran matematika.
  4. Skala yang mengukur sikap Bapak terhadap mata pelajaran matematika.
  5. Skala yang mengukur sikap Guru terhadap mata pelajaran matematika.
  6. Skala yang mengukur rasa percaya diri dalam mata pelajaran matematika (Confidence in Learning Mathematics Scale).
  7. Skala yang mengukur ketertarikan mereka dalam mata pelajaran matematika (Mathematics Anxiety Scale).
  8. Skala yang mengukur pengaruh motivasi dalam mata pelajaran matematika (Effectance Motivation Scale in Mathematics).
  9. Skala yang mengukur seberapa besar kegunaan matematika untuk mereka (Mathematics Usefulness Scale).
Artikel ini mengetengahkan pengembangan suatu instrumen baru untuk mengukur sikap siswa ke arah mata pelajaran matematika, dan untuk menentukan beberapa dimensi (faktor) yang mendasarinya. Analisis faktor dengan rotasi varimax digunakan dalam penelitian ini (Tapia & Marsh) menghasilkan empat faktor yang mendasari sikap siswa terhadap mata pelajaran matematika, yakni : keyakinan diri (self-confidence), nilai bagi siswa mata pelajaran matematika (value of mathematics), kenikmatan yang diperoleh dari mata pelajaran matematika (enjoyment of mathematics), dan motivasi. Instrumen baru tersebut adalah Attitudes Toward Mathematics Inventory (ATMI) yang direkomendasikan untuk menyelidiki sikap siswa ke arah mata pelajaran matematika, dan terdiri dari 49 item yang dikelompokkan ke dalam 4 (empat) dimensi atau faktor yang mendasari sikap siswa terhadap mata pelajaran matematika.

Kata kunci : ATMI
Catatan : instrumen/skala dalam artikel ini dan e-book yang berkaitan dengan hal itu dapat dipesan lewat e-mail : hand_oz@yahoo.com

Sunday, July 13, 2008

Grasha Teaching Style Inventory

Grasha (1996) mengidentifikasi lima gaya mengajar seorang guru di kelas :
  1. Tenaga ahli (Expert) : memiliki keahlian dan pengetahuan yang dibutuhkan oleh para siswa, bekerja keras untuk memelihara statusnya sebagai tenaga ahli dengan memperlihatkan ke pada para siswa pengetahuan terperinci dan menantang untuk meningkatkan kemampuan mereka. Menyebarkan informasi yang terkait dengan keahliannya dan menjamin dengan sunguh-sunguh disiapkan untuk para siswa. Keuntungan : Informasi, pengetahuan, dan ketrampilan individu seperti yang dimilikinya akan mendorong para siswa untuk meningkatkan kemampuannya. Kerugian: Jika kemampuan yang dimilikinya kelewat digunakan, pengetahuan yang dimilikinya menjadi pajangan yang dapat membuta para siswa yang kurang pengalaman menjadi takut. Mungkin saja gaya mengajar seperti ini tidak selalu menjadi dasar proses berpikir yang akan memberikan jawaban.
  2. Mempunyai Kewenangan Formal (Formal Authority) : memiliki status di mata siswa, karena peran dan pengetahuannya sebagai staf lembaga, memberikan perhatian ke pada para siswa tentang sesuatu hal yang positip dan umpan balik yang negatip, menetapkan beberapa tujuan belajar, memberikan harapan-harapan, dan menjalankan beberapa aturan yang harus ditepati oleh siswa. Perhatian pada kebenaran, bisa diterima, dan memberikan sesuatu yang baku yang harus dilakukan oleh siswa dengan menyusun kerangka kebutuhan mereka dalam belajar. Keuntungan : Berfokus pada beberapa harapan jelas dan cara melakukan sesuatu yang bisa diterima. Kerugian: Menjalankan gaya ini kadang-kadang menjadi kaku tidak luwes dan terlalu baku dalam memanage para siswa dan perhatian mereka.
  3. Model Pribadi (Personal Model) : memberikan kepercayaan bahwa guru sebagai pengajar menjadi contoh dan menetapkan suatu prototype bagaimana cara berfikir dan bertindak, mengatur, memandu, dan mengarahkan serta menunjukkan bagaimana cara melakukan sesuatu dan mendorong siswa dalam mengamati apa yang dilakukan oleh gurunya sehingga pada gilirannya dapat menyamai atau bahkan lebih baik dibandingkan gurunya. Keuntungan : Ditekankan untuk mengamati langsung peran guru sebagai model. Kerugian: Beberapa guru boleh percaya pendekatan mereka lakukan merupakan cara yang terbaik bagi para siswa akan tetapi tidak dijamin apakah guru cukup puas jika para siswa tidak bisa berbuat sesuai dengan harapan mereka dan biasanya terlalu baku.
  4. Fasilitator (Facilitator) : menekankan secara alami interaksi antara guru-siswa secara pribadi, memandu dan mengarahkan para siswa dengan meminta mereka untuk bertanya tentang sesuatu hal, menyelidiki beberapa pilihan yang tersedia, mengusulkan beberapa alternatif untuk membangun kriteria dalam memilih berbagai aneka pilihan. Beberapa tujuan secara menyeluruh dikembangkan agar siswa dapat bertindak mandiri, mempunyai prakarsa, dan tanggung jawab. Bekerja dengan siswa dalam suatu kegiatan dalam usaha memberikan konsultasi, dorongan, dan dukungan sebanyak mungkin yang bisa dilakukan. Keuntungan: Keluwesan pribadi guru, berfokus pada tujuan dan kebutuhan siswa, dan kesediaan untuk menyelidiki berbagai macam tindakan alternatif dan pilihan. Kerugian: Gaya mengajar semacam ini sering menghabiskan waktu dan kadang-kadang para guru untuk hal-hal yang positip mereka mengiyakan.
  5. Delegator : gaya mengajar ini berkaitan dengan pengembangan kapasitas siswa sedemikian hingga mereka dapat mengurus dirinya sendiri (otonom), siswa bebas melakukan suatu kegiatan atau menjadi bagian dari suatu tim yang diberikan otonom untuk melakukan suatu kegiatan, guru yang tersedia atas permohonan siswa sebagai sumber untuk dimintai bantuannya dalam melakukan suatu kegiatan. Keuntungan : Gaya ini akan membantu para siswa untuk merasa diri mereka sebagai siswa mandiri. Kerugian : Boleh jadi para siswa tidak / belum siap untuk bekerja secara mandiri. Beberapa siswa bisa jadi menjadi tertarik hanya pada saat diberi otonomi.

Grasha mengidentifikasi kelima gaya mengajar guru sebagai strategi dan berorientasi pada hal-hal yang khusus. Ia mengakui bahwa gaya-gaya ini akan terfokus pada beberapa kluster, seperti warna dari suatu lukisan, memperbaiki karakteristik guru akan sama halnya mendisain suatu pengajaran dan merupakan sesuatu hal yang menentukan.

Kata kunci : teaching style
Catatan : instrumen/skala dalam artikel ini dan e-book yang berkaitan dengan hal itu dapat dipesan melalui email : hand_oz@yahoo.com

Sunday, July 6, 2008

Beberapa Skala Pengukur Kepuasan Mahasiswa

Kategori artikel : mutu layanan akademik
Kepuasan mahasiswa (student satisfaction) sangat penting dalam sektor pendidikan tinggi berkaitan dengan perannya sebagai industri jasa. Oleh karena itu mengevaluasi persepsi mahasiswa terhadap kepuasan mereka yang mereka alami dan harapkan harus terus dilakukan oleh universitas, sekolah tinggi, institut sebagai lembaga pendidikan tinggi.
Paling sedikit ada 12 skala atau dimensi untuk mengukur kepuasan mahasiswa, antara lain :
  1. Academic Advising and Counseling Effectiveness : menilai secara komprehensif program bimbingan dan konsultasi akademik. Penasehat akademik dievaluasi berdasarkan pengetahuan, kemampuan, dan perhatian mereka secara pribadi untuk kesuksesan siswa, serta pendekatan mereka terhadapa siswa.
  2. Campus Climate : menilai sejauh mana lembaga Pendidikan Tinggi mempunyai pengalaman dalam mempromosikan kebanggaan dan peran serta kampus mereka di masyarakat. Skala ini juga menilai keefektifan komunikasi dua arah antara lembaga dan siswa.
  3. Campus Support Services : menilai mutu program layanan akademik dan dukungan sehingga para siswa dapat menggunakan pengalaman pendidikan mereka lebih produktif dan bermakna. Layanan ini meliputi perpustakaan, laboratorium komputer, tutorial, dan ruang belajar yang digunakan oleh siswa di luar kelas.
  4. Concern for the Individual : menilai komitmen dalam memperlakukan setiap siswa secara individu. Bagian ini pada umumnya sering bertemu dengan para siswa secara pribadi (bagian akademik, kemahasiswaan fakultas, penasehat, pembimbing) tercakup dalam penilaian ini.
  5. Instructional Effectiveness : menilai pengalaman akademik siswa, kurikulum, dan kesanggupan lembaga Pendidikan Tinggi dalam mencapai keunggulan akademik. Skala ini meliputi beberapa variasi dari program yang ditawarkan, keefektifan fakultas atau program studi tidak hanya di dalam kelas tetapi juga diluar kelas keluar, dan juga keefektifan pengajar.
  6. Admissions and Financial Aid Effectiveness : menilai kemampuan lembaga Pendidikan Tinggi dalam mengerahkan semua usaha yang dapat diberikan kepada siswa secara efektif. Skala ini mengcover isu-isu yang berkaitan dengan kemampuan dan pengetahuan penasihat, seperti misalnya kefektifan penasehat dalam mengupayakan ketersediaan program bantuan keuangan untuk siswa (bea siswa, magang, proyek).
  7. Registration Effectiveness : menilai isu yang berhubungan dengan registrasi dan SPP. Skala ini juga mengukur komitmen lembaga Pendidikan Tinggi dalam proses ini lebih efektif dan mudah.
  8. Responsiveness to Diverse Populations : menilai komitmen lembaga dalam memberikan kesempatan yang khusus kepada para penyandang cacat, kepada calon siswa yang punya waktu terbatas, mereka telah berusia, dan lain-lain agar bisa terdaftar sebagai mahasiswa.
  9. Safety and Security : menilai kemampuan lembaga dalam keamanan dan keselamatan pribadi siswa di kampus. Skala ini mengukur keefektifan fasilitas kampus dan personil keamanan.
  10. Service Excellence : menilai sikap staff akademik maupun bukan kepada para siswa, terutama bagi mereka yang sering melayani siswa. Skala ini dititik beratkan pada penilaian terhadap mutu layanan dan perhatian secara pribadi kepada para siswa.
  11. Student Centeredness : menilai usaha-usaha penting yang dilakuan untuk para siswa. Skala ini mengukur sikap lembaga Pendidikan Tinggi dalam menghargai dan menyambut dengan baik para siswa.
  12. Campus Life : menilai kemampuan lembaga dalam mengisi kehidupan kampus, baik kegiatan mahasiswa yang bersifat kurikuler maupun ekstra kurikuler.

Kedua belas skala di atas dirangkum dalam suatu instrument yang akan mengukur kepuasan mahasiswa, instrument ini dikenal sebagai Student Satisfaction Inventory disingkat SSI dan terdiri dari tidak kurang dari 90 item yang dikelompokkan ke dalam 12 skala di atas.

Kata kunci : student satisfaction, SSI

Catatan : instrumen/skala dalam artikel ini dan e-book yang berkaitan dengan hal itu dapat dipesan melalui email : hand_oz@yahoo.com

Tuesday, July 1, 2008

Keterlibatan Orangtua, Pekerjaan Rumah, dan Regulasi Diri Siswa

Kategori artikel : motivasi

Kemampuan siswa untuk menggunakan strategi meregulasi diri dalam belajar bisa bertindak sebagai alat belajar untuk mengurangi efek yang merugikan bagi siswa yang kurang mempunyai motivasi dalam kinerja akademik mereka. Di samping itu efek yang penting berkaitan dengan penggunaan regulasi diri pada kinerja akademik, secara relatif tidak banyak diketahui hubungan antara meregulasi diri dalam belajar dengan prestasi dan motivasi akademik.

Penelitian saat ini menunjukkan bahwa pekerjaan rumah biasanya berpengaruh positip pada hasil belajar siswa (Bembenutty, 2005; Cooper 1989; Cooper & Valentine, 2001; Trautwein, Ludtke, Kastens, & Koller, 2006; Xu & Corno, 2006). Cooper (1989, 2001) mendefinisikan pekerjaan rumah (homework) sebagai metode awal guru untuk mengarahkan siswa belajar lebih efektif di luar sekolah. Pekerjaan rumah ditugaskan kepada siswa pertama kali pada sekolah dasar dan meningkat terus pada tahun-tahun berikutnya. Dalam Vandenbos (2007 : 445), pekerjaan rumah merupakan tugas yang dirancang untuk meningkatkan pengetahuan dasar siswa yang kemudian bisa digunakan lebih efektif di kelas. Tidak hanya memberikan pekerjaan rumah, akan tetapi para guru juga memberi pesan agar para siswa berinisiatip sendiri dan mengarahkan sendiri dalam belajar (Zimmerman, 2000).

Zimmerman (1998) merekomendasikan penyelidikan yang dilakukannya mengenai peran beberapa proses meregulasi diri agar siswa belajar dengan sukses. Zimmerman (1998 : 73) mendefinisikan regulasi diri dalam belajar (self-regulation of learning disingkat SRL) sebagai menggeneralisasi diri dalam berpikir atau berpikir secara general, perasaan, dan tindakan untuk mencapai tujuan akademik.

Pendekatan yang konsisten dari Winne and Hadwin (1997) mengusulkan empat langkah meregulasi diri dalam menyelesaikan pekerjaan rumah, yakni : a) mendefinisikan tugas (mempersepsikan tugas), b) menentukan sasaran perencanaan, c) menetapkan strategi dan taktik belajar (implementasi, monitoring, dan mengevaluasi strategi), dan d) mengadaptasikan metacognitive dalam belajar (memeriksa hasil, dan membuat keputusan, serta melakukan penyesuaian). Disamping usaha untuk menyelidiki proses penyelesaian pekerjaan rumah, secara teoritis juga sudah harus memberi sedikit perhatian pada pengembangan siswa dalam menggunakan proses regulasi diri.
Meregulasi usaha (effort regulation) salah satu komponen dari meregulasi diri mempunyai hubungan dengan prestasi (Pintrich et al., 1993), dan mengacu pada niat siswa untuk mendapatkan sumber, energi, dan waktu untuk dapat menyelesaikan tugas akademik yang penting.

Dalam bidang akademik, meregulasi diri dalam tugas-tugas akademik sangat mendesak dibutuhkan, karena sangat menentukan kinerja dan prestasi akademik. Meregulasi diri dalam belajar dan kapasitas kognitif yang kurang, serta kebiasaan belajar yang kurang baik akan bertolak belakang dengan perolehan kinerja akademik yang baik telah didokumentasikan oleh beberapa peneliti (Pintrich 8, : Schunk, 2002; Zimmerman, 2000), demikian juga peran jenis kelamin, etnis juga penting pada kinerja akademik siswa (Xu, 2006; Xu & Corno, 2003), juga keterlibatan orangtua juga ditunjukkan mempunyai hubungan positip dengan kinerja akademik siswa (Hoover-Dempsey et al., 2001; Xu& Corno, 2006).

Keterlibatan orangtua yang mengacu pada prakarsa dan tindakan yang diambil oleh orangtua untuk menjamin anak-anak mereka sukses dalam bidang akademik (Hoover-Dempsey et al., 2001; Hoover-Dempsey et al., 2005; Walker, Wilkins, Dallaire, Sandier, & Hoover-Dempsey, 2005; Xu, (2006); Xu & Corno, 2006).

Dengan cara yang sama, para siswa menyisihkan waktu untuk pekerjaan rumah mereka tiap minggu menjadi indikator tercapainya prestasi akademik siswa sekolah menengah (Cooper, 1989, 2001; Cooper, Lindsay, Nye, & Greathouse, 1998; Walker, Wilkins, Dallaire, Sandler, & Hoover-Dempsey, 2005; Xu, 2006).

Suatu faktor yang penting dari motivasi yang mempunyai hubungan dengan prestasi akademik adalah self-efficacy (mengacu pada kepercayaan individu memiliki kemampuan untuk melaksanakan suatu tugas yang diharapkan ( Bandura, 1997; Zimmerman, 2000), dan mempunyai hubungan dengan kesuksesan kinerja akademik (Zimmerman, 2000).

Penggunaan strategi meregulasi diri dalam belajar (self-regulated of learning strategies disingkat SRLS) mungkin sangat penting manakala emosi muncul dan alternatif yang tersedia berfokus pada tugas. Memanage sumber daya yang meliputi usaha dalam proses belajar merupakan strategi meregulasi diri untuk meningkatkan prestasi akademik siswa (Pintrich et al., 1993), dan ini sesuai dengan strategi meregulasi diri dalam belajar yang diperkenalkan oleh Zimmerman (2000).

Penelitian yang dilakukan oleh Bembenutty (2006) menguji hubungan yang bersifat prediksi antara jenis kelamin, etnis, keterlibatan orangtua dalam pekerjaan rumah anak-anak mereka, proses meregulasi diri dalam belajar (self-regulated learning) disingkat SRL, dan keyakinan akan motivasi antar siswa-siswa kelas sepuluh sekolah menengah. Dalam penelitian ini, Self-regulation of Learning and Motivational Belief dinilai menggunakan skala Motivational Strategies for Learning Questionnaire (MSLQ), keterlibatan orangtua terhadap anak-anaknya dinilai menggunakan beberapa item dari Parental Active and Reactive Involvement (PARI), sedangkan prestasi akademik dinilai dari Math Academic Achievement.

Kata kunci : MSLQ, SRLS, PARI, SRL
Catatan : instrumen/skala dalam artikel ini dan e-book yang berkaitan dengan hal itu dapat dipesan lewat email : hand_oz@yahoo.com