Thursday, September 20, 2007

BEBERAPA INSTRUMEN PENELITIAN PENDIDIKAN (LANJUTAN I)

Questionnaire on Teacher Interaction (QTI) Scales
Wubbels et al. (1985) memusatkan pada guru sebagai variabel untuk meningkatkan lingkungan pembelajaran di kelas, dan mengembangkan suatu model untuk memetakan perilaku interpersonal Guru. Model itu didasarkan pada model perilaku interpersonal dari Leary (1957). The Questionnaire on Teacher Interaction (QTI), skala untuk mengukur persepsi siswa terhadap perilaku interpersonal Guru mereka, yang menjadi dasar model ini (Wubbels & Levy, 1993). Instrumen ini terdiri dari 8 skala : Leadership (sejauh mana guru mempimpin, mengorganisir, memberikan materi pelajaran, menentukan prosedur pengajaran dan mengendalikan situasi kelas), Helpful/Friendly (sejauh mana guru memperlihatkan dan menarik perhatian, bertindak dengan penuh pertimbangan, ramah, percaya diri, dan dapat dipercaya), Understanding (sejauh mana guru memahami, memberikan empati, memberikan kepercayaan, dan bersikap terbuka dengan para siswa), Student responsibility (sejauh mana guru memberi kesempatan kepada siswa bekerja mandiri, memberikan tanggung jawab dan kebebasan ke para siswa), Uncertain (sejauh mana Guru ragu-ragu dalam bertindak), Dissatisfied (sejauh mana guru menyatakan ketidakpuasan, kritik, terlihat tidak bahagia, berdiam diri), Admonishing (sejauh mana guru menjadi marah, menyatakan kejengkelan dan kemarahannya, memberi peringatan dan hukuman), dan Strict (sejauh mana guru melakukan pemeriksaan di kelas berkaitan dengan kegiatan pengajaran, menjaga ketenangan, dan menegakkan aturan dengan tegas).Versi QTI yang asli dikembangkan di Belanda mempunyai 77 item (Wubbels, Creton & Hooymayers, 1985). Kemudian setelah itu , QTI direduksi menjadi 64 item untuk versi Amerika (Wubbels & Levy, 1991) dan to 48 item untuk versi Australia (Fisher et al., 1995). Respon terhadap setiap item menggunakan model Linkert 5 pilihan (hampir tidak pernah - hampir selalu / sering sekali). Kode INS 09.

Student Climate Survey
Survei akan dirancang untuk mengukur persepsi siswa terhadap tiga dimensi yang berkaitan dengan Tingkah laku mereka pada Lingkungan Pembelajaran (Behavioral Environment), Interaksi siswa / remaja (Adult/Student Interaction), dan Lingkungan Akademik (Academic Environment).Behavioral Environment mempresentasikan lingkungan sosial dan lingkungan fisik sekolah, yang meliputi interaksi siswa, harapan siswa tentang pengaturan dan penyelenggaraan sekolah, dan hal-hal yang berkaitan dengan kebersihan dan keselamatan sekolah. Behavioral Environment terdiri atas tiga subskala, yakni : Perilaku Teman Sebaya (Peer Behavior), Harapan tentang Perilaku (Behavior Expectations), dan Keselamatan dan Kebersihan Sekolah (School Safety & Cleanliness).Adult / Student Interactions mempresentasikan hubungan antar para siswa / remaja dengan Guru atau Staf di kampus, baik di dalam maupun di luar kelas. Dimensi Adult / Student Interactions terdiri dari dua subskala, yakni : Dukungan dan Apa yang dijanjikan oleh Guru (Teacher Support & Engagement)) dan Perlakuan yang wajar & Rasa hormat yang diberikan ke pada Remaja /Siswa (Adult Fairness & Respect).Academic Environment menjelaskan tentang apa yang diharapkan oleh siswa berkaitan dengan hal-hal yang bersifat akademik dan apa yang dirasakan oleh siswa berkaitan dengan kemanjuran akademik (Academic Efficacy) mereka. Academic Environment terdiri dari dua subskala, yakni : Beberapa Standar Akademik (Academic Standards) dan Rasa percaya diri Siswa di bidang Akademik (Academic Self-Confidence). Kode INS 12.

Teaching Style Inventory
Grasha (1996) mengidentifikasi lima gaya mengajar seorang guru di kelas sebagai : Expert (memiliki keahlian dan pengetahuan yang dibutuhkan oleh para siswa, bekerja keras untuk memelihara statusnya sebagai tenaga ahli dengan memperlihatkan ke pada para siswa pengetahuan terperinci dan menantang untuk meningkatkan kemampuan mereka, menyebarkan informasi yang terkait dengan keahliannya dan menjamin dengan sunguh-sunguh disiapkan untuk para siswa), Formal Authority (memiliki status di mata siswa, karena peran dan pengetahuannya sebagai staf lembaga, memberikan perhatian ke pada para siswa tentang sesuatu hal yang positip dan umpan balik yang negatip), Personal Model (memberikan kepercayaan bahwa guru sebagai pengajar menjadi contoh dan menetapkan suatu prototype bagaimana cara berfikir dan bertindak, mengatur, memandu, dan mengarahkan serta menunjukkan bagaimana cara melakukan sesuatu dan mendorong siswa dalam mengamati apa yang dilakukan oleh gurunya sehingga pada gilirannya dapat menyamai atau bahkan lebih baik dibandingkan gurunya), Facilitator (menekankan secara alami interaksi antara guru-siswa secara pribadi, memandu dan mengarahkan para siswa dengan meminta mereka untuk bertanya tentang sesuatu hal, menyelidiki beberapa pilihan yang tersedia, mengusulkan beberapa alternatif untuk membangun kriteria dalam memilih berbagai aneka pilihan), dan Delegator (gaya mengajar ini berkaitan dengan pengembangan kapasitas siswa sedemikian hingga mereka dapat mengurus dirinya sendiri (otonom), siswa bebas melakukan suatu kegiatan atau menjadi bagian dari suatu tim yang diberikan otonom untuk melakukan suatu kegiatan, guru yang tersedia atas permohonan siswa sebagai sumber untuk dimintai bantuannya dalam melakukan suatu kegiatan. Skala ini terdiri dari tidak kurang dari 40 item yang tersebar dalam ke lima gaya mengajar seorang guru di atas, dengan pilihan respon 1 = sangat tidak setuju – 5 = sangat setuju. Kode INS 13.

Academic Motivation Scale(Version College)
Teori self-determination tentang perilaku seseorang berhubungan dengan motivasi intrinsik (muncul dari dirinya sendiri), ekstinsik (muncul dari luar dirinya) dan amotivation (Deci & Ryan,1985; Ryan & Deci, 2000). Oleh karena motivasi ekstrinsik disebabkan oleh keadaan di luar dirinya, maka diusulkan tiga jenis motivasi ekstrinsik yang berbeda, yakni pengaturan dari luar dirinya (external regulation), introjection regulation : tidak menerima pengaturan dari luar sepenuhnya), dan identification regulation : manakala seseorang menghargai pengaturan atau tujuan suatu perilaku dan menerima tindakan yang secara pribadi berharga, walaupun aktivitas masih dilakukan dengan pertimbangan yang disebabkan oleh keadaan di luar dirinya, namun secara internal diatur dan ditentukan oleh dirinya (Deci & Ryan, 1985, Ryan & Deci, 2000, Vallerand et al., 1991). Deci dan Ryan (1985) tertantang sekali untuk memahami perilaku manusia pada jenis motivasi ketiga (mereka menyebutnya amotivation) yang harus dipertimbangkan. Motivasi jenis ini sangat serupa dengan konsep tentang ketidakberdayaan belajar / learner helplessness (Abramson et al., 1978). Dengan merujuk pada beberapa kajian literatur di atas, motivasi intrinsik dan bentuk motivasi ekstrinsik dari jenis identification regulation diberi label sebagai motivasi otonomi (auotonomous motivation), sedangkan introjection regulation dan external regulation dipertimbangkan sebagai motivasi yang tidak otonom (non-autonomous motivation). Ketiga jenis motivasi itu dievaluasi menggunakan ‘Academic Motivation Scale’ (Vallerand et al., 1992), dengan skala Amotivation (5 item), External Regulation (6 item), Identification Regulation (6 item), Introjected Regulation (8 item), dan Motivasi Intrinsik (7 item) menggunakan skala Linkert 7 (1 = sangat tidak tepat – 7 = sangat tepat). Kode INS 14.

Motivated Strategies for Learning Questionnaire (MSLQ)
Mengatur perilaku dan kesadaran diri (Self-regulation of cognition and behavior) merupakan aspek penting dari belajar dan kinerja akademik siswa di kelas ( Corno & Mandinach, 1983; Corno & Rohrkemper, 1985). Ada beberapa definisi untuk self-regulated learning, tetapi paling tidak ada tiga komponen khusus yang berkaitan dengan kinerja siswa di kelas. Komponen yang pertama adalah pengharapan meliputi kepercayaan siswa pada kemampuan mereka untuk melaksanakan suatu tugas, komponen kedua adalah nilai yang meliputi tujuan siswa dan kepercayaan pada pentingnya dan perhatian mereka pada tugas, dan ketiga adalah komponen afektif yang meliputi emosi dan reaksi mereka pada tugas.MSLQ aslinya terdiri dari 56 item untuk mengukur motivasi siswa (motivational beliefs), penggunaan strategi kognitif (cognitive strategies use), penggunaan strategi metakognitif (metacogitive strategies use), dan memanage usaha siswa ( management of effort). Motivational beliefs terdiri tiga skala, yakni : self-efficacy (9 item), intrinsic value (9 item), dan test axiety (4 item), sedangkan Self-Regulation Learning Strategies terdiri dari dua skala : cognitive strategies use (13 item) dan self-regulation (9 item). Respon siswa yang diharapkan menggunakan model 7 skala Linkert, dengan 1 = tidak ada yang tepat buatku sampai dengan 7 = sangat tepat buatku. 56 item tersebut dirujuk dari berbagai instrument yang digunakan untuk mengukur motivasi siswa, penggunaan strategi kognitif dan metakognitif (Eccles, 1983; Harter, 1981; Weinstein, Schulte, & Palmer, 1987). MSLQ yang dirujuk dari Pintrich & De Groot (Journal of Educational Psychology 1990, Vol. 82, No. 1, 33-40) terdiri dari 44 item. Kode INS 15.

Academic-Related Perceptions, Beliefs, and Strategies Scales
Skala ini terdiri dari beberapa subskala : Academic Efficacy / AE (skala ini mengacu pada persepsi siswa berkaitan dengan kemampuan mereka untuk melakukan sesuatu di kelas), Academic Press / AP (skala ini mengacu pada persepsi siswa terhadap beban yang diberikan oleh guru mereka dalam melakukan suatu pemahaman), Academic Self-Handicapping Strategies / ASHS (skala ini mengacu pada strategi yang digunakan oleh para siswa sedemikian hingga jika kinerja yang dicapainya rendah, hal itu tidak disebabkan oleh ketidakmampuan akan tetapi disebabkan oleh strategi yang digunakannya), Avoiding Novelty / AN (skala ini mengacu pada pilihan siswa untuk menghindari suatu pekerjaan / tugas yang baru atau belum dikenalnya), Cheating Behavior / CB (skala ini mengacu pada perilaku siswa menyontek atau melakukan kecurangan di kelas), Disruptive Behavior / DB (skala ini mengacu pada perilaku beberapa siswa yang mengganggu atau membuat suasana gaduh di kelas), Self-Presentation of Low Achievement / SPLA (skala ini mengacu bagaimana siswa memilih teman sebagai panutan yang dia ketahui mereka sangat berhasil di sekolah), dan Skepticism About the Relevance of School for Future Success / SARS (skala ini mengacu pada kepercayaan siswa bahwa keberhasilan di sekolah tidak akan banyak membantu mereka dalam mencapai sukses di masa datang). Skala ini terdiri dari 44 item, lima item yang pertama untuk AE, tujuh item berikutnya untuk AP, enam item berikutnya untuk ASHS, 5 item berikutnya untuk AN, 3 item berikutnya untuk CB, 5 item berikutnya untuk DB, 7 item berikutnya untuk SPLA, 6 item yang terakhir untuk SARS, dan dengan 5 respon pilihan menggunakan skala Linkert. Respon (tidak semuanya benar - sangat benar). Kode INS 16.
Catatan : instrumen/skala dalam artikel ini serta beberapa e-book yang berkaitan dengan hal itu dapat dipesan lewat email : hand_oz@yahoo.com

Wednesday, September 12, 2007

Beberapa Instrumen Penelitian Pendidikan

Instrumen SEEQ
Instrumen SEEQ (Student’s Evaluation of Educational Quality) dikembangkan oleh Marsh (1982) dan dirancang untuk mengukur keefektifan pengajaran, dan pada dasarnya mengukur mutu interaksi antara fakultas dengan mahasiswa terutama selama berada di kelas dan pada saat mentransfer informasi dari fakultas kepada mahasiswa atau memotivasi mahasiswa dalam proses pembelajaran. SEEQ terdiri dari 32 item dengan 5 format pilihan menggunakan model skala Linkert, dan dikelompokkan menjadi 9 skala atau dimensi, yakni : Learning (berkaitan dengan belajar mahasiswa), Antusiasm (antusias dosen dalam pengajaran), Organization (bagaimana dosen memfasilitasi belajar mahasiswa, Group Interaction (interaksi antar mahasiswa), Individual Rapport (interaksi Dosen dengan mahasiswa), Breadth of Coverage (pengetahuan / kemampuan dosen dalam memberikan wawasan), Grading / Examination (berkaitan dengan ujian dan penilaian), Reading / Assignments (berkaitan dengan pemberian tugas dan rujukan), dan Workload / Difficulty (beban kerja / kesulitan yang dihadapi mahasiswa). Kode INS 01.

Instrumen SERVPERF
Instrumen SERVPERF dikembangkan sebagai kritik terhadap instrumen SERVQUAL (Cronin & Taylor, 1992) dan digunakan untuk mengukur kinerja mutu layanan dalam industri jasa. Beberapa peneliti bidang pendidikan mengadopsi SERVPERF untuk digunakan dalam bidang pendidikan diantaranya Baron (2000), Holdford & Reinders (2001). Format skala SERVPERF menggunakan model skala Linkert 5 (1 = sangat tidak setuju – 5 = sangat setuju) pilihan untuk mengukur respon mahasiswa terhadap mutu layanan akademik non instruksional /administrasi yang diberikan oleh lembaga pendidikan, dan terdiri dari 5 dimensi, yakni : Tangible (berkaitan dengan penampilan fisik Lembaga, peralatan, staf, dan sarana komunikasi, Reliability (berkaitan dengan kemampuan staf lembaga untuk memberikan layanan sebagimana yang dijanjikan,tepercaya, akurat, dan konsisten, Responsiveness (kemauan untuk membantu pelanggan (mahasiswa) dan memberikan layanan dengan cepat), Assurance (kemampuan staf Lembaga untuk memberikan kepercayaan kepada pelanggan (mahasiswa) melalui rasa hormat dan pengetahuan yang mereka miliki, dan Empathy (perhatian staf Lembaga yang diberikan kepadapelanggan (mahasiswa) secara individu). Kode INS 02.
Survei Kepuasan Mahasiswa
Survei ini dilakukan untuk mengevaluasi persepsi mahasiswa terhadap kepuasan mereka Secara Umum (5 item dengan 5 pilihan : 1 = sangat puas – 5 = sangat tidak puas), pada Layanan Pendukung Akademik dan Pengajaran (26 item dengan 5 pilihan untuk kepuasan : 1 = sangat puas – 5 = sangat tidak puas dan 5 pilihan untuk tingkat kepentingan : 1 = sangat penting – 5 = sangat tidak penting), pada Kehidupan Kampus dan Layanan kepada Mahasiswa (15 item dengan 5 pilihan untuk tingkat kepuasan dan kepentingan), Keterlibatan Mahasiswa dalam Kegiatan Pembelajaran (11 item dengan 4 pilihan : 1 = sering – 4 = tidak pernah), berkaitan dengan Layanan Non Pengajaran (20 item dengan 5 pilihan : 1 = sangat setuju – 5 = sangat tidak setuju)), berkaitan dengan Proses Belajar Mengajar (32 item dengan 5 pilihan : 1 = sangat setuju – 5 = sangat tidak setuju), Keterampilan yang diperoleh (14 item dengan 5 pilihan : 1 = sangat tidak efektif – 5 = sangat efektif). Kode INS 03.

Self Evaluation of Teaching Methods & Effectiveness Scale
Skala ini digunakan untuk mengevaluasi diri seorang Guru / Dosen dalam mengajar, terdiri dari 28 item yang dikelompokkan dalam 5 dimensi : Efforts to increase teaching effectiveness (usaha untuk meningkatkan efektivitas pengajaran), Efforts to insure that course content is current and comprehensive (usaha untuk menjamin materi kuliah sesuai dengan kebutuhan dan menyeluruh), Effort to plan, design, or redesign the courses (usaha untuk merencanakan, mendisain, atau mendisain kembali pengajaran), Effort to increase student interest and participate (usaha untuk meningkatkan partisipasi dan minat siswa), dan Efforts to evaluate instructional effectiveness and to bring student performance to standards (usaha untuk mengevaluasi efektivitas pengajaran dan untuk mencapai kinerja siswa sesuai dengan standar yang ditentukan). Respon terhadap setiap item menggunakan 5 skala Linkert : 1 = dapat dipraktekkan dengan peluang yang tinggi - 5 = tidak dapat dipraktekkan dalam perkuliahan ini. Kode INS 04.Skala TROFLEI Fraser (1998b) membangun kuisener baru yang ideal, untuk menyelidiki kesuksesan dalam menciptakan hasil yang efektif berfokus pada hasil belajar siswa dan lingkungan pembelajaran yang kaya dengan teknologi atau menggunakan teknologi komunikasi dan informasi. Skala ini dinamakan TROFLEI (Techonology-Rich Outcomes-Focused Learning Environment Inventory) terdiri dari 10 sub-skala, antara lain : Kekompakan Siswa (Student Cohesiveness), Dukungan Guru (Teacher Support), Keterlibatan Siswa (Involvement), Arahan Tugas (Task Orientation), Penyelidikan (Investigation), Kerjasama (Cooperation), Kesetaraan (Equity), Differentation, Computer Usage Young, dan Adult Ethos. Skala TROFLEI terdiri dari tidak kurang dari 82 item dan menggunakan model skala Linkert 5 pilihan : 1 = hampir tidak pernah - 5 = hampir selalu / sering sekali. Kode INS 05.





Instrumen WIHIC
Fraser et al. (1996) telah mengembangkan suatu instrumen lingkungan pembelajaran yang baru, yakni kuisener ‘What is Happening in this Class’ (Apa yang sedang terjadi di Kelas ini) disingkat WIHIC. Instrumen ini merupakan skala yang dapat memprediksi hasil belajar siswa dengan apa yang terjadi pada lingkungan pembelajaran di kelas, dan juga mencerminkan pandangan baru dalam belajar secara kognitif. Skala WIHIC terdiri dari tujuh sub-skala, yakni : Kekompakan Siswa (Student Cohesiveness) : sejauh mana mereka saling memahami, saling menolong dan memberikan dorongan antara satu siswa dengan siswa yang lain, Dukungan Guru (Teacher Support) : sejauh mana para guru membantu siswa, bersahabat, percaya dan menaruh perhatian pada siswa, Keterlibatan Siswa (Involvement) : sejauh mana para siswa mempunyai minat dan perhatian, berpartisipasi dalam diskusi, serius mengikuti dan menikmati proses pembelajaran di kelas, Arahan Tugas (Task Orientation) : sejauh mana para siswa memandang semua kegiatan pembelajaran penting, seperti menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan guru dan tetap berfokus pada pelajaran, Penyelidikan (Investigation) : sejauh mana ketrampilan, proses pemeriksaan, dan menggunakan mereka ditekankan dalam memecahkan masalah dan penyelidikan, Kerjasama (Cooperation) : sejauh mana para siswa bekerja sama dan bukannya bersaing satu sama lain dalam tugas-tugas yang diberikan pada suatu pelajaran, dan Kesetaraan (Equity) : sejauh mana para siswa diperlakukan setara, atau sederajad oleh guru dalam proses pembelajaran. Format skala WIHIC menggunakan model skala Linkert 5 pilihan (hampir tidak pernah - hampir selalu / sering sekali) untuk mengukur respon siswa terhadap lingkungan pembelajaran di kelas mereka. Kode INS 08.

Catatan : instrumen/skala dalam artikel ini serta beberapa e-book yang berkaitan dengan hal itu dapat dipesan lewat email : hand_oz@yahoo.com

Thursday, August 9, 2007

BEBERAPA TOPIK PENELITIAN TENTANG MUTU LAYANAN PENDIDIKAN

Mengevaluasi Persepsi Mahasiswa Pada Mutu Layanan Pendidikan
Lembaga Pendidikan Tinggi di Indonesia
(Studi Kasus Pada Beberapa PTS di Kota Anu)
Penelitian ini kira-kira bertujuan mengidentifikasi dimensi mutu layanan yang relevan dengan lembaga pendidikan tinggi di Indonesia, selanjutnya dikaitkan dengan tingkat kepuasan mahasiswa perguruan tinggio swasta dalam hal ada dan tidaknya kesenjangan antara apa yang diharapkan dengan apa yang dialami oleh mahasiswa, dan bagaimana pengaruh demografi mahasiswa terhadap kepuasan mereka. Instrumen yang digunakan adalah dengan mengadopsi SERVQUAL (Parasuraman, Berry, dan Zeithaml (1985, 1988, 1990, 1991, 1993, 1994) yang terdiri dari lima dimensi : Tangibles, Reliability, Responsiveness, Assurance, dan Empathy untuk layanan non akademik, sedangkan SEEQ (Marsh, 1982) untuk layanan akademik yang terdiri dari sembilan dimensi : learning/Value, instructor enthusiasm, organization / clarity, individual rapport, group interaction, breadth of coverage, examinations/grading, assignments / readings, dan workload / difficulty. Masing-masing dievaluasi untuk apa yang dialami dan apa yang diharapkan (tingkat kepentingan), kepuasan mahasiswa dievaluasi dari seberapa jauh gap (kesenjangan) dari apa yang diharapkan dengan apa yang dialaminya.
Kode ESQ 01.
Mengidentifikasi Beberapa Faktor Yang Mendasari Persepsi Mahasiswa
Terhadap Mutu Layanan Pendidikan
Dan Mempengaruhi Kepuasan Mahasiswa Menyeluruh
(Studi Kasus Pada Universitas Anu)
Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi beberapa faktor yang mendasari persepsi mahasiswa terhadap mutu layanan pendidikan menggunakan analisis faktor. Untuk mengevaluasi persepsi tersebut digunakan skala SERVPERF (Cronin dan Taylor,1992) untuk layanan non akademik, SEEQ (Marsh, 1982) untuk layanan akademik, dan Overall Student Satisfaction (Holdford and Patkar (2003). Selanjutnya dengan menggunakan analisis faktor, akan dihasilkan faktor-faktor mana saja yang akan mempengaruhi kepuasan mahasiswa secara menyeluruh. Lebih lanjut juga akan diteliti apakah persepsi mahasiswa terhadap keefektifan pengajaran berbeda jika dikelompokkan menurut demografi mahasiswa (gender, regular atau kelas khusus, tingkat, fakultas atau program studi dll.).
Kode ESQ 02.
Mengidentifikasi Beberapa Faktor Dari Keefektifan Pengajaran
Yang Mempunyai Hubungan Dengan Hasil Belajar Mahasiswa
(Studi Kasus Pada Universitas Anu)
Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi faktor-faktor yang mendasari persepsi mahasiswa terhadap keefektifan pengajaran (teaching effectiveness) menggunakan analisis faktor. Persepsi mahasiswa tersebut dievaluasi menggunakan skala SEEQ (Marsh, 1982). Berdasarkan hasil analisis faktor akan diidentifikasi beberapa faktor yang dicoba diteliti untuk melihat faktor mana saja yang mempengaruhi hasil belajar mahasiswa (sikap mahasiswa terhadap satu atau beberapa matakuliah, sikap mahasiswa terhadap penggunaan komputer sebagai sarana pengajaran). Lebih lanjut juga akan diteliti apakah persepsi mahasiswa terhadap keefektifan pengajaran berbeda jika dikelompokkan menurut demografi mahasiswa (gender, regular atau kelas khusus, tingkat, fakultas atau program studi dll.).
Kode ESQ 03.
Mengidentifikasi Beberapa Faktor Dari Mutu Pengajaran
Yang Mempunyai Hubungan Dengan Kepuasan Mahasiswa
Sebagai Pelanggan Lembaga Pendidikan Tinggi
(Studi Kasus Pada Universitas Anu)
enelitian ini bertujuan mengidentifikasi faktor-faktor yang mendasari persepsi mahasiswa terhadap keefektifan pengajaran (teaching effectiveness) menggunakan analisis faktor. Persepsi mahasiswa tersebut dievaluasi menggunakan skala Endeavor yang dikembangkan oleh Frey, Leonard & Beatty (1975) terdiri dari tujuh dimensi : presentation clarity, workload, personal attentation, class discussion, organization/planning,grading, student accomplishments. Berdasarkan hasil analisis faktor akan diidentifikasi beberapa faktor yang dicoba diteliti untuk melihat faktor mana saja yang mempengaruhi kepuasan mahasiswa secara menyeluruh. Lebih lanjut juga akan diteliti apakah persepsi mahasiswa terhadap keefektifan pengajaran berbeda jika dikelompokkan menurut demografi mahasiswa (gender, regular atau kelas khusus, tingkat, fakultas atau program studi dll.).
Kode ESQ 04.
Kajian Pengukuran Mutu Pada Universitas Anu :
Model Pengukuran dan Perbandingan Mutu Layanan Pendidikan
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan tanggapan pelanggan lembaga pendidikan tinggi (orangtua, siswa sekolah menengah atas, dan mahasiswa) terhadap beberapa faktor mutu layanan pendidikan, membandingkan beberapa faktor yang mendasari persepsi pelanggan terhadap mutu layanan pendidikan berdasarkan kategori pelanggan, meneliti hubungan untuk setiap faktor yang mendasari persepsi tersebut terhadap kedudukan universitas tersebut sebagai lembaga pendidikan tinggi. Analisis faktor, teknik korelasi, dan analisis variansi digunakan untuk menganalisis data pada penelitian ini.
Kode ESQ 05.

Monday, August 6, 2007

BEBERAPA TOPIK PENELITIAN PENDIDIKAN TENTANG MOTIVASI, GOAL ORIENTASI DLL

Meneliti Hubungan Antara Konsep Diri Akademik Dengan Prestasi dan Motivasi Akademik Mahasiswa
(Studi Kasus Pada Beberapa Perguruan Tinggi Swasta di Kota Anu)
Penelitian tentang hubungan antara self-esteem, academic self-concept, motivasi otonom, dan kinerja akademik belum banyak dilakukan. Dari perspektif teori self-determination atau menggunakan teori yang lain untuk motivasi, beberapa kajian menunjukkan bahwa motivasi otonom sangat menentukan kinerja akademik pada semua tingkat pendidikan seperti halnya masteri motivasi, motivasi intrinsik. Secara sama kajian ini didasarkan pada teori self-concept yang akan mengungkapkan bahwa self-concept mempunyai dampak terhadap kinerja dan motivasi akademik. Pada penelitian ini ada empat variabel yang digunakan, yakni : kinerja akademik (laporan nilai rata-rata akhir semester), motivasi otonom yang dievaluasi menggunakan Academic Motivation Scale yang dikembangkan oleh Vallerand et al. (1992), self-esteem yang diukur menggunakan Self-Esteem Scale yang dikembangkan oleh Rosenberg (1965), dan Academic self-concept yang diukur menggunakan Academic Self-Concept Scale (Saya bangga dengan nilai-nilai ujianku; Ujian yang kuikuti bukan merupakan tantangan buatku) yang dikembangkan oleh Reynolds (1988) atau menggunakan Self-Description Questionnaire III. Lebih lanjut ingin diteliti hubungan antara self-esteem, academic self-concept, motivasi otonom dengan kinerja akademik.
Kode Moti 01.
Studi Tentang Pengaruh Usia dan Gender : Hubungan Antara Motivasi Intrinsik dan Ekstrinsik di KelasDengan Kinerja Akademik Siswa
Penelitian ini kira-kira akan meneliti perbedaan usia, kelas, dan gender pada motivasi akademik di kelas serta hubungannya dengan kinerja akademik siswa. Penelitian ini dirancang untuk meneliti hubungan antara motivasi siswa secara intrinsik dan ekstrinsik, dan apakah motivasi intrinsik maupun ekstrinsik akan berbeda untuk usia, kelas, dan gender yang berbeda, serta apakah motivasi akademik siswa dan kinerja mereka saling berhubungan. Motivasi akademik siswa yang berorientasi intrinsik dan ekstrinsik dievaluasi menggunakan Motivation Intrinsic Versus Extrinsic Scale (Harter, 1981) yang dimodifikasi oleh Lepper, Corpus, dan Iyengar menjadi lima skala, yakni : challenge, curiosity, dan independent mastery untuk motivasi intrinsic, sedangkan easy work, pleasing teacher, dan dependent on teacher untuk motivasi ekstrinsik.
Kode Moti 02.
Meneliti Hubungan Antara Academic Self-Concept dengan Prestasi Akademik Siswa
(Studi Kasus Pada Beberapa SMP di Kota Anu)
Penelitian ini kira-kira bertujuan memverifikasi seberapa kuat hubungan yang ada antara academic self-concept dan kinerja akademik siswa pada umumnya atau kinerja akademik pada beberapa mata pelajaran yang dianggap kritis, juga memverifikasi seberapa kuat pengaruh self-concept yang terukur terhadap kinerja akademik sebagai variabel tidak bebas. Academic self-concept diukur menggunakan Self-Description Questionnaire (SDQ) Scale yang terdiri dari 72 item (Marsh, Parker, & Smith, 1992). SDQ scale terdiri dari subkala Academik Self-Concept, Non Academic Self_Concept, dan General Self-Concept.
Kode Moti 03.

Beberapa Pengaruh Gaya Orangtua Dalam Mendidik AnakPada Motivasi Anak di Kelas
(Studi Kasus Pada Beberapa SMP di Kota Anu)
Penelitian ini kira-kira bertujuan meneliti pengaruh gaya orangtua dalam mendidik anak terhadap motivasi mereka di kelas. Gaya orangtua dalam mendidik anak dapat dibedakan dalam tiga cara, yakni : authoritarian (kehangatan yang rendah dengan pengendalian yang tinggi), permissive (kehangatan yang tinggi dengan pengendalian yang rendah), dan authoritative (kehangatan yang tinggi dengan pengendalian yang tinggi). Lebih lanjut akan diteliti hubungan antara gaya orangtua dalam mendidik dengan motivasi anak di kelas berdasarkan hasil interviu anak dan juga berdasarkan persepsi dari guru. Untuk mengevaluasi gaya orangtua digunakan ‘The Primary Caregivers Practices Report’ (PCPR, Robinson et al., 1995), persepsi anak terhadap motivasinya di kelas dievaluasi menggunakan ‘The Self-Report Scale of Intrinsic versus Extrinsic Motivation in the Classroom’ (Harter, 1981), sedangkan persepsi guru pada motivasi anak secara menyeluruh di kelas dievaluasi menggunakan ‘The Teacher-Report Scale of Intrinsic versus Extrinsic Motivation in the Classroom’ (Harter, 1981).
Kode Moti 04.
Pengukuran Motivasi Intrinsik, Ekstrinsik dan Metacognition :Dengan Mengamati Beberapa Tujuan dan Strategi Belajar Siswa
(Studi Kasus Pada Beberapa SMA di Kota Anu)
Penelitian ini bertujuan untuk mencoba skala motivasi intrinsic dan ekstrinsik yang dikembangkan oleh Shia (www.cet.edu/research/pdf/motivation.pdf) untuk digunakan di Indonesia, selanjunya ingin diketahui seberapa kuat hubungan antara motivasi tersebut dengan kemampuan metacognition (merencanakan, memonitor, dan mengevaluasi belajar mereka) siswa. Shia mengembangkan skala tersebut dan membaginya menjadi 6 faktor yang terdiri dari 58 item, dua faktor untuk intrinsik (mastery goals dan need for achievement), sedangkan empat faktor lainnya untuk ekstrinsik (authority of expectations, peer acceptance, power motivation, dan fear of failure). Kemampuan metacognition diukur menggunakan Motivated Strategies for Learning Questionnaire (MSLQ) Subscales yang dirujuk dari : Eccles, 1983; Harter, 1981; Weinstein, Schulte, & Palmer, 1987; atau dari : Pintrich & De Groot (Journal of Educational Psychology 1990, Vol. 82, No. 1, 33-40).
Kode Moti 05.
Meneliti Hubungan Antara Goal Orientasi Dengan Kepuasan dan Prestasi Mahasiswa
(Studi Kasus Pada Beberapa Lembaga Pendidikan Tinggi di Kota Anu)
Kajian ini kira-kira bertujuan untuk meneliti hubungan antara goal orientasi mahasiswa, kepuasan mahasiswa, dan prestasi mereka. Studi yang akan dilakukan adalah menganalisis hubungan antara beberapa tipe dari goal orientasi yang berbeda dengan perilaku dan hasil belajar mahasiswa, menguji bagaimana beberapa tipe itu jika dikelompokkan menurut karakteristik demografi mahasiswa, dan seberapa signifikan pengaruh goal orientasi terhadap kepuasan, dan prestasi mahasiswa. Untuk mengevaluasi goal orientasi mahasiswa digunakan Goal Orientations Scales (Vande Walle et al., 1997) atau Personal Achievement Goal Orientation Scales (PALS, Midgley et. al., 2001) , beberapa item untuk kepuasan mahasiswa secara akademik maupun menyeluruh (Educational Satisfaction dan Overall Satisfaction), serta beberapa item untuk kegiatan pembelajaran.
Kode Moti 06.
Kajian Tentang Pengaruh Goal OrientationPada Self-Efficacy dan Effort Siswa
Kajian ini kira-kira ingin meneliti seberapa besar pengaruh prestasi yang berorientasi pada tujuan (goal orientasi) siswa akan memprediksi motivasi dan self-efficacy siswa di kelas. Obyek penelitian adalah siswa di beberapa sekolah menengah atau mahasiswa di beberapa perguruan tinggi. Dalam penelitian ini digunakan tiga instrumen, yakni : Personal Achievement Goal Orientation yang dirujuk dari Manual for the Patterns of Adaptive Learning Scale (PALS), The University of Michigan (2000) atau Goal Orientation (Vande Wall, 1997), Self Efficacy Scale (Bandura, 1986) atau Academic efficacy Scale (Dorman, et al., 2002), dan Effort Scale.
Kode Moti 07.
Meneliti Persepsi Siswa Terhadap Goal Orientasi di Kelas Yang Mempunyai Hubungan Dengan Keyakinan Guru Akan Kecerdasannya dan Self-Efficacy Guru
Penelitian ini kira-kira ingin mengevaluasi persepsi siswa terhadap tujuan belajar mereka yang beorientasi pada prestasi (Achievement Personal Goal Orientation) yang berkaitan dengan keyakinan Guru pada kecerdasan yang dimilikinya dan self-efficacy Guru. Persepsi Siswa terhadap goal orientasi di kelas dipilih sebagai variabel tidak bebas, sedangkan Keyakinan Guru akan kecerdasan yang dimilikinya dan Self-Efficacy Guru sebagai variabel bebas. Instrument yang digunakan, yakni : Persepsi siswa terhadap goal orientasi di kelas diukur menggunakan Patterns Adaptive Learning Scale yang dirujuk dari Manual for the Patterns of Adaptive Learning Scale (PALS), The University of Michigan (2000), yang terdiri dari 17 item, Keyakinan Guru pada kecerdasan yang dimilikinya diukur menggunakan Theory of Intelligence Survey Scale yang dirujuk dari Dweek & Henderson (1999) yang terdiri dari 6 item, Self-Efficacy Guru diukur menggunakan Teacher Efficacy Scale yang dirujuk dari Gibson & Dembo’s (1984), yang terdiri dari 22 item, dan Student Demographic Questionnaire Scale untuk mengukur persepsi siswa terhadap kemampuan mereka.
Kode Moti 08.
Memprediksi Prestasi Akademik Siswa : Melalui Peran Self-Concept dan Lingkungan Tempat Tinggal
Penelitian ini kira-kira bertujuan untuk meneliti hubungan antara prestasi akademik dengan self-concept siswa, menonton media TV, sosioekonomi keluarga, dan keterlibatan orangtua dalam belajar siswa, dan target yang diteliti adalah siswa sekolah menengah pertama. Beberapa instrument digunakan dalam penelitian ini, antara lain : Piers Harris Children’s Self-Concept Scale (1984) digunakan untuk mengukur self-concept anak yang terdiri dari 80 item atau Scale yang lain, The Child’s Academic Self-Evaluation yang akan mengukur kinerja anak, Self-Report Questionnaire yang akan melaporkan berapa jam dalam seminggu nonton TV, Parental Information Scale (Watkins, 1997) yang digunakan untuk mengevaluasi keterlibatan orangtua pada belajar anak, dan Parental Information Scale (Child’s Version based on Watkins, 1997) yang digunakan untuk mengevaluasi persepsi anak terhadap keterlibatan orangtua dalam belajar mereka.
Kode Moti 09.
Meneliti Hubungan Antara Motivasi Siswa di KelasDengan Prestasi Akademik Mereka.
Penelitian ini kira-kira bertujuan untuk mengukur motivasi dan prestasi siswa di kelas, dan menginvestigasi sejauh mana motivasi siswa di kelas, baik secara intrinsik maupun ekstrinsik mempunyai hubungan dengan prestasi mereka. Data mengenai motivasi siswa dihimpun menggunakan Scale of Intrinsic versus Extrinsic Motivational Orientation in ithe Classroom (Harter, 1981), yang terdiri dari 5 subskala : preference for challenge, curiosity, independent mastery, independent judgement, dan independent mastery atau bisa juga dengan skala lain yang sesuai. Prestasi siswa diukur melalui rata-rata raport atau nilai beberapa mata pelajaran yang lain.
Kode Moti 10.
Menaksir Motivasi Akademik Siswa Sekolah Dasar
(Studi Kasus Pada Beberapa Sekolah Dasar di Kota Anu)
Penelitian ini kira-kira ingin membangun dan memvalidasi konstruk motivasi akademik untuk digunakan pada beberapa sekolah dasar di kota anu. Elementary School Motivation Scale (ESMS) digunakan pada penelitian ini. ESMS didesain untuk mengukur konstruk motivasi intrinsic, identified regulation, external regulation yang berkaitan dengan mata pelajaran membaca, menulis, dan matematika. Beberapa instrument digunakan pada penelitian ini, antara lain : 9 item dipilih dari Academic Self-Description Questionnaire (Marsh, 1990), 3 item untuk mengukur academic self-concept mata pelajaran matematika, 3 item untuk mata pelajaran membaca, dan 3 item untuk pelajaran menulis, dengan respon 1 = tidak selalu; 2 = kadang-kadang tidak; 3 = tidak tahu; 4 = kadang-kadang ya; dan 5 = selalu ya. Untuk mengukur prestasi akademik masing-masing 3 item untuk mata pelajaran matematika, menulis, dan membaca menggunakan Teacher Rating Scale (Skaalvik & Hagtvet, 1990), dengan respon 1 = jauh di bawah rata-rata; 2 = sedikit di bawah rata-rata; 3 = tepat pada rata-rata; 4 = sedikit di atas rata-rata; dan 5 = jauh di atas rata-rata. Selanjutnya dianalisis apakah mempunyai hubungan dengan motivasi mereka di bidang akademik menggunakan ESMS.
Kode Moti 11.
Meneliti Pengaruh Motivational GoalsPada Academic Self-Concept dan Academic Achievement
Penelitian ini kira-kira ingin meneliti sejauh mana memotivasi prestasi akademik (achievement motivation) pada mata pelajaran bahasa Inggris dan matematika siswa Sekolah Menengah Pertama berpengaruh pada konsep diri akademik (academic self-concept) siswa dan prestasi akademik (academic achievement) siswa. Instrument yang digunakan antara lain : Academic Self-Description Questionnaire (ASDQ), khususnya ASDQ II (Marsh, 1990) yang khusus didesain untuk menguji academic self-concept pada domain yang khusus, dengan 5 respon jawaban menggunakan skala Linkert (sangat tidak setuju – sangat setuju). Sedangkan untuk mengukur motivasi prestasi digunakan General Achievement Goal Orientation Scale (GAGOS) yang dikembangkan oleh McInerney (1997), skala ini digunakan untuk mengukur General Mastery (5 item), General Performance ( 8 item), dan General Social (5 item).
Kode Moti 12.



Saturday, August 4, 2007

BEBERAPA TOPIK PENELITIAN PENDIDIKAN TENTANG LEARNING ENVIRONMENT

Studi Tentang Hubungan Antara Persepsi Siswa Terhadap Lingkungan Pembelajaran di Kelas dan Perilaku Interpersonal Guru dengan Hasil Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran Anu
(Studi Kasus Beberapa SMA di Kota Anu)
Penelitian ini kira-kira bertujuan mengevaluasi persepsi siswa terhadap apa yang terjadi di kelas, dan bagaimana hubungan dengan Guru mereka. Selanjutnya diidentifikasi faktor-faktor apa saja dari kedua variabel itu yang mempunyai hubungan dengan hasil belajar mereka, khususnya bagaimana sikap mereka terhadap mata pelajaran Anu, selanjutnya juga akan diteliti ada atau tidaknya perbedaan jika ditinjau dari jenis sekolah, kelas, gender, atau faktor yang lain. Dalam penelitian ini digunakan tiga jenis instrumen : WIHIC dikembangkan oleh Fraser et al. (1996), untuk mengevaluasi persepsi siswa kelas mereka dengan 7 skala (Student Cohesiveness, Teacher Support, Investigation, involvement, Task Orientation, Cooperation, Equity), Questionnaire on Teacher Interaction (QTI) yang dikembangkan oleh Wubbels et al. (1985) terdiri dari 8 skala (Leadership, Helping / Friendly, Understanding, Responsibility / Freedom, Uncertain, Dissatisfied, Admonishing, dan Strict behaviour) untuk mengukur hubungan interpersonal Guru, dan instrument TOSRA yang dikembangkan oleh Fraser (1981) yang salah satunya untuk mengukur sikap siswa terhadap mata pelajaran tertentu.
Kode LER 01.
Mengidentifikasi Beberapa Faktor Dari Lingkungan Pembelajaran di Kelas Yang Mempengaruhi Hasil Belajar Siswa Dalam Mata Pelajaran Matematika
(Studi Kasus Beberapa SMA di Kota Anu)
Penelitian ini kira-kira bertujuan mengidentifikasi faktor-faktor yang mendasari persepsi siswa terhadap lingkungan belajar mereka di kelas. Teknik analisis faktor digunakan dalam penelitian ini untuk mengidentifikasinya, dan skala terbaru WIHIC yang dikembangkan oleh Fraser et al. (1996), untuk mengevaluasi persepsi siswa kelas mereka dengan 7 skala (Student Cohesiveness, Teacher Support, Investigation, involvement, Task Orientation, Cooperation, Equity). Selanjutnya faktor-faktor mana saja yang berpengaruh pada sikap mereka terhadap mata pelajaran matematika, dan sikap enjoy mereka ketika berada di kelas yang dievaluasi menggunakan instrument TOSRA yang dikembangkan oleh Fraser (1981).
Kode LER 02.
Studi Tentang Hubungan Antara Persepsi Siswa Terhadap Iklim Kelas dan Perilaku Hubungan Interpersonal Guru Dengan Academic Efficacy Siswa
Dalam Mata Pelajaran Anu
Academic efficacy (kemanjuran akademik) merupakan suatu kajian yang mengacu pada pertimbangan pribadi tentang kemampuan mereka dalam mengorganisir, melaksanakan berbagai macam kegiatan pengajaran dalam meningkatkan kinerja mereka dalam pendidikan. Kemanjuran akademik melibatkan beberapa pertimbangan pada kemampuan mereka untuk melaksanakan tugas dalam lingkungan pembelajaran di kelas. Oleh karenanya, perlu meneliti faktor-faktor mana saja dari iklim kelas (menggunakan WIHIC) dan perilaku interpersonal guru (menggunakan QTI) yang mempunyai hubungan dengan kemanjuran akademik mereka yang dievaluasi menggunakan Academic Efficacy Scale yang terdiri dari 7 item dengan 5 pilihan menggunakan skala Linkert.
Kode LER 03.
Mengidentifikasi Beberapa Faktor Lingkungan Pembelajaran di Kelas Yang Mempengaruhi Hasil Belajar Mahasiswa
Penelitian ini kira-kira sama dengan yang terdahulu, akan tetapi untuk lembaga pendidikan tinggi yang saat ini pada yang umumnya telah menggunakan teknologi informasi dan komunikasi dalam proses belajar mengajar, maka faktor-faktor yang berpengaruh pada hasil belajar mahasiswa (sikap terhadap penggunaan komputer, terhadap mata kuliah tertentu, enjoyment di kelas, kemanjuran akademik mereka) bisa jadi juga berbeda. Untuk tujuan ini digunakan instrumen TROFLEI (Techonology-Rich Outcomes-Focused Learning Environment Inventory) yang digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mendasari lingkungan pembelajaran di kelas dan dikembangkan oleh Fraser (1998) terdiri dari 10 skala (7 skala WIHIC + skala Differentation, Computer Usage, dan Young Adult Ethos) dan tidak kurang dari 82 item, untuk mengukur sikap mahasiswa digunakan skala ‘TOSRA’ (Test of Science Related Attitude), dan skala ‘Academic Efficacy’. Sebagai tambahan penelitian ini sangat cocok untuk lembaga pendidikan tinggi komputer seperti STMIK atau lembaga pendidikan tinggi komputer yang lain.
Kode LER 04.
Mengidentifikasi Beberapa Faktor Lingkungan Pembelajaran di Kelas dan Penilaian Siswa Terhadap Kegiatan Pembelajaran Yang Mempengaruhi Hasil Belajar Siswa
Dalam Mata Pelajaran Anu
Penelitian kira-kira bertujuan mengidentifikasi persepsi siswa terhadap lingkungan pembelajaran di kelas dan penilaian mereka pada proses pembelajaran yang akan berpengaruh pada hasil belajar siswa. Instrumen WIHIC dan SPAQ digunakan dalam penelitian ini nantinya. Instrumen SPAQ yang dikembangkan oleh Fisher, Waldrip, & Dorman (2005) terdiri dari lima skala, yakni congruence with planned learning, authencity, student consultation, transparency, dan diversity. Sedangkan untuk mengevaluasi hasil belajar siswa digunakan TOSRA (sikap siswa terhadap mata pelajaran atau enjoyment di kelas) dan Academic Efficacy (kemanjuran akademik) Scale.
Kode LER 05.
Meneliti Hubungan Antara Guru dan SiswaPada Mata Pelajaran Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
(Studi Kasus Pada Beberapa SMA di Kota Anu)
Penelitian ini kira-kira bertujuan untuk mengidentifikasi persepsi siswa terhadap perilaku guru mereka di kelas. Paling sedikit ada 8 faktor yang mendasari persepsi siswa terhadap guru mereka, di ataranya : leadership, helpful/friendly, understanding, student responsibility, uncertain, dissatisfied, admonishing, dan strict, yang kesemuanya diukur lewat ‘Questionnaire on Teacher Interaction’ (QTI) yang terdiri dari tidak kurang dari 48 item. Selanjutnya diteliti apakah persepsi mereka berbeda untuk mata pelajaran matematika dan ilmu pengetahuan alam atau yang lain, dan bagaimana persepsi mereka jika dikelompokkan menurut kelas, gender, sekolah dan lain sebagainya.
Kode LER 06
Pengaruh Penggunaan Komputer Laptop Pada Lingkungan Pembelajaran di Kelas Terhadap Prestasi dan Sikap Mahasiswa Sekolah Tinggi Komputer
Penelitian ini kira-kira bertujuan meneliti seberapa jauh komputer laptop yang digunakan pada lingkungan pembelajaran di kelas akan berpengaruh pada prestasi dan sikap mahasiswa. Persepsi mahasiswa terhadap lingkungan pembelajaran mereka diukur menggunakan skala ‘TROFLI’, yang sekurang-kurangnya terdiri dari 10 skala, salah satunya adalah ‘computer usage’. Prestasi mereka dievaluasi menggunakan indeks prestasi akhir semester yang sedang berjalan, dengan 1 = IP < 2 =" 2.00" 3 =" 3.00" 4 =" IP">
Kode LER 07.
Beberapa Faktor Dari Lingkungan Pembelajaran di Kelas Yang Berpengaruh Pada Sikap Mahasiswa Terhadap Teknologi
Penelitian kira-kira bertujuan untuk melihat persepsi mahasiswa terhadap lingkungan pembelajaran di kelas dengan apa yang diharapkan dibandingkan dengan apa yang mereka alami, kemudian seberapa jauh berpengaruh pada sikap mahasiswa terhadap teknologi. Selanjutnya juga ingin diketahui apakah sikap mereka terhadap teknologi juga berbeda jika dikelompokkan menurut gender, mahasiswa junior dan senior. Untuk mengukur persepsi mahasiswa terhadap lingkungan pembelajaran digunakan skala ‘CUCEI’ (College and University Classroom Environment Inventory) dikembangkan oleh Nair & Fraser (2001) terdiri dari 7 skala (personalisation, innovation, student cohesion, task orientation, cooperation, individualisation, dan equity) dengan tidak kurang dari 49 item, dan untuk mengukur sikap mahasiswa terhadap teknologi digunakan salah satu subskala dari skala ‘TOSRA’.
Kode LER 08.
Studi Beberapa Faktor Yang Berpengaruh Pada Sikap Siswa Sekolah Menengah Atas Terhadap Mata Pelajaran Kimia Penelitian kira-kira bertujuan untuk melihat persepsi siswa terhadap lingkungan pembelajaran di kelas dalam mata pelajaran kimia, seberapa jauh berpengaruh pada sikap mereka, dan bagaimana rasa percaya diri mereka terhadap mata pelajaran itu. Selanjutnya juga ingin diketahui apakah persepsi, sikap, dan rasa percaya diri mereka terhadap mata pelajaran kimia juga berbeda jika dikelompokkan menurut gender, kelas. Untuk mengukur persepsi siswa terhadap lingkungan pembelajaran, sikap, dan rasa percaya diri pada mata pelajaran kimia digunakan skala ’Chemistry Attitudes and Experiences Questionnaire’ (CAEQ) yang dikembangkan oleh Dalgety, Coll, & Jones (2001). Skala ini terdiri dari 3 subskala : Attitudes Toward Chemistry Scale, Self Efficacy Scale, dan Learning Experiences Scale.
Kode LER 09.
Studi Tentang Hubungan Antara Persepsi Guru Terhadap Lingkungan Pembelajaran di Kelas Dengan Prestasi Siswa (Studi Kasus Beberapa Sekolah Dasar di Kota Anu)
Penelitian ini kira-kira bertujuan untuk mengukur persepsi seorang Guru terhadap lingkungan pembelajaran mereka, kemudian ingin diteliti seberapa besar persepsi mereka terhadap iklim kelas mempunyai hubungan dengan prestasi siswa dalam beberapa mata pelajaran (reading, mathematics, language, social studies, science). Untuk keperluan ini digunakan instrument ‘School-Level Environment Questionnaire’ (SLEQ) yang dikembangkan oleh Fraser (1994). Skala SLEQ terdiri dari 5 subskala : affiliation, innovation, participatory decision making, resource adequacy, dan student support dan tidak kurang dari 56 item. Prestasi siswa diukur berdasarkan nilai rata-rata raport dari beberapa mata pelajaran tersebut.
Kode LER 10.
Mengevaluasi Persepsi Siswa Terhadap Perilaku Interpersonal Guru di Kelas dan Gaya Orangtua Dalam Mendidik Mereka
(Studi Kasus Pada Beberapa Sekolah Menengah Pertama di Kota Anu)
Penelitian ini kira-kira bertujuan untuk mengevaluasi persepsi siswa terhadap Perilaku Interpersonal Guru dan Orangtua mereka. Perilaku interpersonal Guru diukur menggunakan skala QTI yang terdiri dari 8 skala (Leadership, Helping / Friendly, Understanding, Responsibility / Freedom, Uncertain, Dissatisfied, Admonishing, dan Strict behaviour), sedangkan gaya orangtua dalam mendidik anak dapat dibedakan dalam tiga cara, yakni : authoritarian (kehangatan yang rendah dengan pengendalian yang tinggi), permissive (kehangatan yang tinggi dengan pengendalian yang rendah), dan authoritative (kehangatan yang tinggi dengan pengendalian yang tinggi), dan dievaluasi menggunakan ‘The Primary Caregivers Practices Report’ (PCPR, Robinson et al., 1995). Lebih lanjut dalam penelitian ini ingin diketahui persepsi siswa terhadap perilaku interpersonal Guru dan Orengtua mereka berbeda atau tidak, apakah ada perbedaan persepsi mereka jika dikelompokkan menurut demografi siswa.
Kode LER 11.
Mengevaluasi Persepsi Siswa Terhadap Perilaku Interpersonal Guru
Dan Beberapa Dimensi Kultural Lingkungan Pembelajaran di Kelas
Penelitian ini kira-kira bertujuan membangun dan memvalidasi instrumen yang akan menilai persepsi siswa yang didasarkan pada aspek-aspek kulturdan pengaruhnya terhadap lingkungan pembelajaran di kelas mereka, menyelidiki persepsi siswa terhadap hubungan dengan Guru mereka, dan menyelidiki apakah ada hubungan antara persepsi siswa yang didasarkan pada aspek-aspek kultur pada lingkungan pembelajaran dengan hubungan dengan Guru mereka di kelas, dan sikap mereka terhadap suatu mata pelajaran tertentu. Persepsi siswa terhadap lingkungan pembelajaran di kelas yang didasarkan pada beberapa aspek kultur diukur menggunakan ‘Cultural Learning Environment Questionnaire’ yang dibangun oleh Fisher & Waldrip (1999; 2002), yang terdiri dari 15 item (Fisher, Waldrip, & den Brook, 2006) dan dikelompokkan dalam 3 subskala : Equity, Collaboration, dan Congruence). Persepsi siswa terhadap perilaku interpersonal Guru diukur menggunakan skala ‘QTI’, dan sikap siswa diukur menggunakan skala ‘TOSRA’.
Kode LER 12.

Saturday, July 21, 2007

Goal Orientation

Model goal orientasi saat ini diketengahkan oleh Button et al.(1996) dan VandeWalle (1997) yang dirujuk dari kerangka Dweck dan Leggett’s (1988), terdiri dari beberapa konstruk (construct) yang secara konsep mempunyai ciri atau karakteristik yang berbeda.Button et al. (1996) mendefinisikannya dalam dua konstruk yang keduanya sebagai variabel yang cukup stabil dan secara individu berbeda, yakni :
  • Learning goal orientation (berorientasi pada tujuan belajar, disingkat LGOb) : mempromosikan suatu tanggapan yang berorientasi pada penguasaan (mastery orientation) dan
  • Performance goal orientation (berorientasi pada tujuan dalam mencapai suatu kinerja tertentu, disingkat PGOb) : menciptakan suatu sifat yang mudah mempengaruhi pada sesuatu hal yang menyimpang (maladaptive) atau tidak berdaya (helpless) melakukan suatu respon.

Skala untuk mengukur goal orientasi yang dibangun oleh Button et al. (1996) terdiri dari 16 item, masing-masing 8 item untuk setiap konstruknya.

Sedangkan menurut VandeWalle (1997), mendefinisikan goal orientation secara konsep sebagai sifat yang stabil yang bergerak kearah pengembangan kemampuan berprestasi dalam berbagai situasi, dan terdiri dari tiga konstruk, yakni :

  1. Learning goal orientation (disingkat LGOv) : didefinisikan sebagai keinginan untuk mengembangkan diri dengan memperoleh ketrampilan baru, menguasai situasi baru, dan meningkatkan kemampuan seseorang. Menurut VandeWalle, Performance goal orientation dibedakan antara suatu keinginan untuk memperlihatkan suatu kemampuan dengan suatu keinginan untuk menghindari hal-hal negatif dalam mengevaluasi suatu kemampuan. Sehingga timbul dikotomi dalam performance goal orientation, yakni antara dimensi :
  2. Performance prove goal orientasi (memperlihatkan kinerja, disingkat PPGOv) didefinisikan sebagai suatu keinginan seseorang memperlihatkan kemampuannya.
  3. Performance avoid goal orientation (tidak memperlihatkan kinerja, disingkat PAGOv) didefinisikan sebagai suatu keinginan untuk membuktikan kemampuannya dan menghindari hal-hal negatip dalam mempertimbangkan kemampuannya.

Skala yang dibangun oleh VadeWalle (1997) untuk mengukur goal orientasi ini terdiri dari 13 item, yakni : 5 item untuk kontruk yang pertama, dan masing-masing 4 item untuk konstruk kedua dan ketiga. Penelitian yang dilakukan oleh McKinney (2003) menunjukkan bahwa self-esteem dan generalized self-efficacy mempunyai hubungan positip dengan learning goal orientation (LGOb dan LGOv), dan mempunyai hubungan negatip dengan performance goal orientation (PGOb, PPGOv, PAGOv). Pada penelitian itu self-esteem diukur menggunakan Self-Esteem Scale yang terdiri dari 10 item dan dikembangkan oleh Rosenberg (1965), sedangkan generalized self-efficacy diukur menggunakan Generalized Self-Efficacy Scale yang terdiri dari 8 item dan dikembangkan oleh Chen et al. (2001).

Model goal orientasi saat ini diketengahkan oleh Button et al.(1996) dan VandeWalle (1997) yang dirujuk dari kerangka Dweck dan Leggett’s (1988), terdiri dari beberapa konstruk (construct) yang secara konsep mempunyai ciri atau karakteristik yang berbeda.Button et al. (1996) mendefinisikannya dalam dua konstruk yang keduanya sebagai variabel yang cukup stabil dan secara individu berbeda, yakni
  • Learning goal orientation (berorientasi pada tujuan belajar, disingkat LGOb) : mempromosikan suatu tanggapan yang berorientasi pada penguasaan (mastery orientation) dan
  • Performance goal orientation (berorientasi pada tujuan dalam mencapai suatu kinerja tertentu, disingkat PGOb) : menciptakan suatu sifat yang mudah mempengaruhi pada sesuatu hal yang menyimpang (maladaptive) atau tidak berdaya (helpless) melakukan suatu respon.

Skala untuk mengukur goal orientasi yang dibangun oleh Button et al. (1996) terdiri dari 16 item, masing-masing 8 item untuk setiap konstruknya.

Sedangkan menurut VandeWalle (1997), mendefinisikan goal orientation secara konsep sebagai sifat yang stabil yang bergerak kearah pengembangan kemampuan berprestasi dalam berbagai situasi, dan terdiri dari tiga konstruk, yakni :

  1. Learning goal orientation (disingkat LGOv) : didefinisikan sebagai keinginan untukmengembangkan diri dengan memperoleh ketrampilan baru, menguasai situasi baru, dan kemampuan seseorang. Menurut VandeWalle, Performance goal orientation dibedakan antara suatu keinginan memperlihatkan suatu kemampuan dengan suatu keinginan untuk menghindari hal- hal negatif dalam mengevaluasi suatu kemampuan. Sehingga timbul dikotomi dalam performance goal orientation, yakni antara dimensi :
  2. Performance prove goal orientasi (memperlihatkan kinerja, disingkat PPGOv) didefinisikan sebagai suatu keinginan seseorang memperlihatkan kemampuannya.
  3. Performance avoid goal orientation (tidak memperlihatkan kinerja, disingkat PAGOv) didefinisikan sebagai suatu keinginan untuk membuktikan kemampuannya dan menghindari hal-hal negatip dalam mempertimbangkan kemampuannya.

Skala yang dibangun oleh VadeWalle (1997) untuk mengukur goal orientasi ini terdiri dari 13 item, yakni : 5 item untuk kontruk yang pertama, dan masing-masing 4 item untuk konstruk kedua dan ketiga. Penelitian yang dilakukan oleh McKinney (2003) menunjukkan bahwa self-esteem dan generalized self-efficacy mempunyai hubungan positip dengan learning goal orientation (LGOb dan LGOv), dan mempunyai hubungan negatip dengan performance goal orientation (PGOb, PPGOv, PAGOv). Pada penelitian itu self-esteem diukur menggunakan Self-Esteem Scale yang terdiri dari 10 item dan dikembangkan oleh Rosenberg (1965), sedangkan generalized self-efficacy diukur menggunakan Generalized Self-Efficacy Scale yang terdiri dari 8 item dan dikembangkan oleh Chen et al. (2001).

Monday, July 9, 2007

Teori tentang Self-Concept

Teori tentang self-concept / konsep diri berhubungan dengan suatu gagasan tentang diri seseorang, self-consistency / konsistensi diri (konsisten terhadap apa yang ada pada dirinya), dan self-enhancement / peningkatan diri (kecenderungan untuk mempertahankan sesuatu hal yang positip yang ada pada dirinya) merupakan sesuatu hal yang penting (Hattie, 1992). Konsep diri merupakan salah satu konstruk yang penuh misteri dalam psikologi. Beberapa peneliti mendefinisikan self-concept dengan berbagai cara, istilah self-concept kadang-kadang digunakan sebagai sinonim dari istilah self-regard (kehormatan seseorang), self esteem (harga diri) atau yang lain.Untuk menghindari hal seperti itu, kita gunakan model self-concept dari Shavelson, Hubner, and Stanton (1976 : 411) untuk mengenali self-concept yang multi dimensi. Dalam model itu self-concept didefinisikan sebagai bagaimana seseorang mempersepsikan dirinya dan itu dibentuk melalui pengalaman penting yang diperoleh dari lingkungan dirinya atau orang lain. Shalvenson dan koleganya mengambil istilah self-concept secara umum (global self-esteem) baik digunakan pada bidang akademik maupun tidak. Dalam artikel ini kita fokuskan pada global self-esteem dan academic self-concept (self-concept pada bidang akademik).
Global self-esteem didefinisikan sebagai keseluruhan pemikiran dan perasaan seseorang yang menjadi acuan dalam menempatkan dirinya sebagai obyek (Rosenberg, 1979 : 7), dan secara umum mengevaluasi sikap dan perasaan kita pada lingkungan di sekitar kita, dan sebagai bahan pertimbangan dalam memahami tentang diri kita sendiri secara mendalam (Brodbar, 1980). Global self-esteem tidak menyiratkan menjadi domain yang khusus dari self-evaluations (academic self-concept) dan tidak ada hubungannya dengan self-esteem. Sesungguhnya para peneliti telah memperlihatkan hubungan yang spesifik antara self-evaluation dengan global self-esteem (Marsh, 1992; Pelham & Swann, 1989). Self-esteem berhubungan dengan bagaimana seseorang merasakan sesuatu hal, bagaimana mereka berpikir, dan bagaimana mereka bertindak. Meskipun global self-esteem terlihat penting dalam konteks akademik, namun self-concept pada bidang akademik telah ditemukan menjadi penaksir yang baik untuk prestasi akademik siswa (Byrne, 1996; Marsh, 1992).
Self-concept pada bidang akademik didefinisikan sebagai persepsi seseorang secara menyeluruh pada bidang akademik, dan itu mengacu pada evaluasi diri (self-evaluation) pada domain yang berkaitan pada hal-hal yang bersifat akademik. Misalnya tipe beberapa item yang digunakan untuk menilai self-concept seseorang pada bidang akademik antara lain : ‘Saya bangga pada kelas yang saya ikuti’ atau ‘Ujian saya ikuti tidak memberi tantangan seperti yang harapkan’. Self-concept pada bidang akademik secara ekstensif telah diperlihatkan mempunyai hubungan dengan hasil belajar siswa di tingkat sekolah maupun lembaga pendidikan tinggi (Byrne, 1996; Cockley, 2003; Cockley, Bernard, Cunningham, Motoike, 2001; Harter, 1982; Hattie, 1992; Marsh, 1990; 1992; Reynolds, 1988; Reynolds, Ramirez, Magrina, & Allen, 1980).

Wednesday, June 27, 2007

Motivasi Otonom dalam perspektif Self-Determination

Teori self- determination mengusulkan tiga jenis motivasi yang berbeda, yakni motivasi intrinsic (muncul dari dirinya), ekstrinsik (muncul dari dirinya), dan amotivation (Deci & Ryan,1985; Ryan & Deci, 2000). Pengelompokkan itu didasarkan pada apakah dan untuk apa perilaku seseorang ditentukan, yakni untuk membantu kita dalam memahami motivasi otonom (otonomous motivation) yang digunakan dalam kajian ini. Oleh karema itu marilah kita amati tiga jenis motivasi tersebut yang diusulkan dalam teori self-determination.
  • Motivasi intrinsik mengacu pada suatu tugas, dan itu merupakan sesuatu hal yang penting, karena suatu kepuasan dan kesenangan akan diperoleh dari tugas yang telah dikerjakannya (Deci, Vallerand, Pelletier, Blais, Briere, Senecal & Valleries, 1992). Jika siswa termotivasi secara intrinsik, ia akan melaksanakan tugas dengan perilaku tanpa mengharapkan suatu pujian atau tanpa menghiraukan kendala yang ada di luar dirinya. Sebagai contoh, jika seorang siswa membaca suatu artikel dan mendapatkan kesenangan dari membaca itu, maka dikatakan bahwa siswa itu termotivasi secara intrinsik.
  • Jika seorang siswa melaksanakan tugas dengan perilaku yang muncul dari luar dirinya dan sifatnya sebagai bantuan, maka siswa itu termotivasi ekstrinsik (Deci & Ryan, 1985). Walaupun motivasi ekstrinsik mula-mula dianggap sebagai perilaku yang bisa dibisikkan dari ketidakpastian yang ada di luar dirinya (Harter, 1978), teori self-determination mengusulkan sebagai fakta sepanjang merupakan suatu rangkaian dari self-regulation (pengataturan diri). Oleh karena disebabkan oleh keadaan di luar dirinya, maka diusulkan tiga jenis motivasi ekstrinsik yang berbeda, yakni pengaturan dari luar dirinya (external regulation), introjection regulation, dan identification regulation.
  • Pengaturan dari luar dirinya (external regulation) sama dengan motivasi ekstrinsik sebagaimana diutarakan pada literatur lama. Motivasi jenis ini terjadi manakala perilakunya diatur oleh beberapa kendala atau penghargaan/pujian dari luar dirinya (Deci & Ryan, 1985). Sebagai contoh motivasi akan terjadi pada seorang mahasiswa membaca suatu jurnal, karena diwajibkan oleh pembimbing tesisnya.
  • Jenis kedua dari motivasi ekstrinsik adalah introjection regulation, yakni tidak menerima pengaturan dari luar secara penuh akan tetapi sebahagian berasal dari dirinya (Ryan & Deci, 2000). Sumber motivasi yang datang dari luar dirinya yang kemudian menjadi berasal dari dirinya, kehadirannya tidak lagi diperlukan untuk memulai suatu perilaku (Deci et al., 1991). Beberapa perilaku dilakukan untuk menghindari rasa bersalah atau adanya rasa ketertarikan. Perlu dicatat di sini bahwa internalisasi jenis ini bukan merupakan kasus dari self-determination, hal ini disebabkan adanya pembatasan internalisasi peristiwa yang terjadi di luar dirinya. Sebagai contoh, seorang mahasiswa menamatkan studinya untuk membuktikan bahwa dirinya mampu mencapai derajad yang lebih tinggi dan ini menandakan bahwa ia telah melakukan regulasi introjected.
  • Identification regulation adalah operasi yang dilakukan manakala seseorang telah dapat menghargai suatu pengaturan atau tujuan suatu perilaku dan menerima tindakan yang secara pribadi berharga. Walaupun aktivitas masih dilakukan dengan pertimbangan yang disebabkan oleh keadaan di luar dirinya, namun secara internal diatur dan ditentukan oleh dirinya (Deci & Ryan, 1985, Ryan & Deci, 2000, Vallerand et al., 1991). Jika dari contoh di atas apabila mahasiswa menamatkan sekolah disebabkan ia merasakan bahwa sekolah akan membantu dalam mempersiapkan karirnya di masa depan, maka ia telah melakukan dia telah melakukan identification regulation.
  • Deci dan Ryan (1985) tertantang sekali untuk memahami perilaku manusia pada jenis motivasi ketiga (mereka menyebutnya amotivation) yang harus dipertimbangkan. Motivasi jenis ini sangat serupa dengan konsep tentang ketidakberdayaan belajar / learner helplessness (Abramson et al., 1978). Bentuk motivasi ini terjadi manakala seseorang tidak tahu dengan pasti antara tindakan mereka lakukan dan hasil yang mereka capai. Pengalaman seseorang yang amotivated, mereka merasa tidak cakap (tidak punya kompetensi) dan ketidak adanya pengendalian diri atas hasil yang akan dicapai atau hasil yang dipikirkan dalam memotivasi perilaku manusia. Perilaku amotivated sangat kurang dalam menentukan sesuatu yang seharusnya bisa ditentukannya sendiri. Seseorang yang amotivated merasa tidak kompeten dan dengan begitu mereka merasa tidak akan bisa mengendalikan hasil yang ingin dicapainya (Ryan & Deci, 2000; Vallerand et al., 1992). Suatu contoh amotivation bisa terjadi pada seorang mahasiswa yang telah menematkan sekolahnya, akan tetapi ia tidak bisa melihat hubungan antara usaha yang telah dilakukannya pada saat kuliah dengan hasil setelah ia menamatkan kuliahnya.
  • Riset terbaru pada berbagai format yang berorientasi pada motivasi telah dikombinasikannya dengan hal-hal yang berkaitan dan berkontribusi mereka ke pada hasil-hasil yang dicapai pada bidang pendidikan, khususnya prestasi akademik. Penelitian ini berfokus pada topik dengan menggabungkan bentuk motivasi dalam perspektif self-detemined yang mempunyai hubungan dengan kineja akademik (Grolnick & Ryan, 1987; Fortier, Vallerand & Guay, 1995). Dengan merujuk pada beberapa kajian literatur di atas, motivasi intrinsik dan identification regulation (bentuk motivasi ekstrinsik) diberi label motivasi otonomi (auotonomous motivation), sedangkan introjection dan external regulation dipertimbangkan sebagai motivasi yang tidak otonom (non-autonomous motivation).
  • Berdasarkan konsep dari beberapa peneliti, untuk mengevaluasi ketiga jenis motivasi tersebut, Vallerand et al. (1992) telah membangun ‘Academic Motivation Scale’ (AMS) yang terdiri dari 28 item. Beberapa peneliti yang lain, di antaranya Shia (www.cet.edu/research/pdf/motivation.pdf) mengembangkan mengembangkan Academic Motivation Scale yang terdiri dari 60 item dan dikelompokkan ke dalam 6 faktor. 2 faktor merupakan motivasi intrinsik, yakni mastery goals dan needs for achievement, sedangkan 4 faktor yang lain yakni : authority expectations, peer acceptance, power motivation, dan fear of failure merupakan motivasi ekstrinsik. Walaupun motivasi ekstrinsik dapat dibedakan dalam tiga jenis regulasi seperti di atas, namun menurutnya motivasi ekstrinsik jenis power motivation dan fear of failure tidak terdapat di dalamnya.

Sunday, June 17, 2007

Gaya Orangtua dan Motivasi Anak di Kelas

Motivasi anak di kelas selain bisa timbul dari dirinya juga bisa jadi dipengaruhi oleh lingkungan di mana ia tinggal, salah satunya adalah peran orangtua dalam mendidik anaknya. Beberapa penelitian telah dilakukan oleh banyak peneliti yang berkaitan dengan hal itu, di antaranya : Cramer (2002) meneliti pengaruh gaya orangtua dalam mendidik terhadap motivasi anaknya, Ginsburg & Brostein ( 1993) meneliti beberapa faktor yang berhubungan dengan motivasi anak yang berorientasi intrinsik dan ekstrinsik dan kinerja akademik mereka. Model sebagai faktor penentu pendidikan anak dikembangkan oleh Belsky’s (1984) dan dikelompokkan dalam tiga domain, yakni : 1) bersumber secara psikologis pada pribadi kedua orangtua, 2) karakteristik anak, 3) bersumber pada lingkungan yang mendukung atau tidak, termasuk di dalamnya hubungan kedua orangtuanya, sosial, dan apa yang dialami oleh orangtua dalam pekerjaannya.Gaya orangtua (parenting style) dalam mendidik anak dikelompokkan menjadi tiga gaya (Baumrind, 1978), yakni : authoritarian (perilaku dan sikap orangtua terhadap anak yang ditandai dengan kehangatan yang rendah, tetapi dengan pengendalian yang tinggi), permissive (perilaku dan sikap orangtua terhadap anak yang ditandai dengan kehangatan yang tinggi, tetapi dengan pengendalian yang rendah), dan authoritative (perilaku dan sikap orangtua terhadap anak yang ditandai dengan kehangatan dan pengendalian yang tinggi). Gaya orangtua ini diukur menggunakan skala ‘The Primary Caregivers Practices Report’ (PCPR, Robinson et al., 1995) lewat survey, di mana skor yang diperoleh akan menilai sejauh mana gaya orangtua atau wali sebagai authoritarian, permissive, atau authoritative, dan juga untuk menilai sosio-ekonomi keluarga dan karakteristik orangtua.Motivasi anak di kelas merupakan ukuran sejauh mana motivasi intrinsik anak dalam mengikuti kegiatan di kelas (Harter, 1981) dan diukur menggunakan dua skala, yakni ‘The Self-Report Scale of Intrinsic versus Extrinsic Motivation in the Classroom’ (Harter, 1981) dan ‘The Teacher-Report Scale of Intrinsic versus Extrinsic Motivation in the Classroom’ (Harter, 1981). Instrumen pertama yang terdiri dari 30 item dan dikelompokkan dalam lima skala. Untuk mengukur motivasi anak yang berorientasi pada penguasaan (mastery motivation) menggunakan skala Curiosity, Independent Mastery, dan Preference for Challenge, dan untuk mengukur motivasi anak yang berorientasi pada bagaimana mereka mengemukakan pendapat (judgment motivation) menggunakan skala Independent Judgment dan Internal criteria. Instrumen kedua terdiri dari 10 item untuk mengukur persepsi guru terhadap motivasi intrinsik anak secara menyeluruh.Selanjutnya untuk melengkapi analisis data yang diperoleh dari survey menggunakan ketiga instrumen di atas, diambil sebagai variabel kontrol adalah usia, pendidikan, suku, pendapatan, pekerjaan, status perkawinan orangtua, jenis kelamin anak dan kelas jika memang dibutuhkan.

Friday, June 15, 2007

Meneliti Perbedaan Antar Gender Terhadap Motivasi Akademik Siswa Sekolah Menengah Atas

Salah satu pertimbangan yang penting dalam meneliti motivasi akademik siswa adalah karena pengaruhnya yang signifikan terhadap belajar siswa di kelas. Sebagai konsekwensinya, motivasi dan belajar siswa merupakan dua variabel yang perlu dianalisis. Meskipun dalam beberapa tahun penelitian yang berkaitan dengan belajar siswa di kelas telah banyak dilakukan, namun perhatiannya hanya ditujukan pada aspek kognitif. Beberapa peneliti, diantaranya adalah Broussard (2002) dan Rusillo & Arias (2004) melakukan penelitian dari perspektif yang berbeda, yakni penelitian yang ditekankan pada hubungan antar (interrelation) aspek-aspek koginitif dan motivasi.
Penelitian Rusillo & Arias bertujuan meneliti apakah ada perbedaan jika dikelompokkan menurut gender terhadap variabel-variabel yang ditinjau dari aspek kogninif dan motivasi, seperti beberapa atribut yang menjadi penyebab (causal attributes), beberapa tujuan belajar (learning goals), konsep diri terhadap akademik (academic self-concept), beberapa strategi belajar yang signifikan (significant learning strategies) dan kinerja sekolah yang akan dicapai dalam mata pelajaran matematika dan bahasa.
Sesuai dengan tujuan penelitian, mereka memilih sampel sebanyak 521 siswa berusia antara 14-18 tahun, 285 di antaranya wanita dan sisanya pria. 252 siswa SMA yang dipilih duduk di kelas 9 dan sisanya di kelas 10 di propinsi Jaen Spanyol. Beberapa kuisener dipilih sesuai dengan keperluan penelitian itu, antara lain :
1. AFA (Musitu, Garcia, & Gutierres, 1994) : digunakan untuk mengevaluasi konsep diri siswa.
2. MAPE-II (Montero & Alonso, 1992) : untuk menentukan motivasi yang berorientasi intrinsik atau ekstrinsik, dievaluasi tujuan-tujuan yang harus dicapai oleh siswa pada lingkungan psikososial di kelas (sekolah) dengan melihat skor yang diperoleh oleh siswa pada faktor ‘Motivation for learning’ dan ‘Seeking positive competency judgments’ dari kuisener ini.
3. EMA-II (Alonso, Montero & Mateos (1992) : untuk melihat atribut yang menyebabkan siswa dalam situasi sukses atau gagal yang diperoleh dari 6 skala dari kuisener ini. Kuisener ini didesain untuk mengevaluasi seberapa jauh faktor-faktor internal (usaha dan kemampuan) berkontribusi pada kegagalan atau kesuksesan siswa, dan faktor eksternal atau aspek yang berhubungan dengan guru.
4. Learning and Study Strategies Inventory (LASSI; Weinstein, 1987) : strategi siswa yang diarahkan pada belajar yang komprehensif dan signifikan, diukur melalui skor yang diperoleh lewat skala ‘Information Processing Strategies’, ‘Self-evaluation Strategies, dan ‘Support Strategies’ dari kuisener LASSI. Di samping itu juga para siswa juga ditanya tentang laporan kemajuan akademik mereka dalam mata pelajaran matematika dan bahasa.

Hasil dari penelitian mereka antara lain adalah terdapat perbedaan jika dikelompokkan menurut gender terhadap variabel-variabel yang menjadi pertimbangan pada penelitian mereka, dengan siswi mempunyai motivasi ekstrinsik lebih rendah dibandingkan dengan siswa, lebih bertanggung jawab terhadap kegagalan mereka, menggunakan Information Processing Strategies diperoleh informasi bahwa siswi hasilnya lebih baik pada mata pelajaran bahasa dibandingkan siswa, tidak terdapat perbedaan jika dikelompokkan menurut gender pada aspek konsep diri terhadap akademik, motivasi intrinsik, atribut yang berhubungan dengan kesuksesan, dan kinerja yang dicapai pada mata pelajaran matematika.


Dirujuk dari :
Rusillo, M.T.C. & Arias, P.F.C. (2004). Gender Differences in academic motivation of
secondary school students. Electronic Journal of Research on Educational Psychology, 2 (1), 97, 112. ISSN : 1696-2095(2004).

Sunday, June 3, 2007

Motivasi Kelas (Classroom Motivation)

Sejak awal para ahli psikologi yang mendalami teori motivasi mencoba untuk menjelaskan motivasi di beberapa bidang kajian yang berbeda dan di beberapa jenis perilaku (Weiner, 1990). White (1959 : 317-318) mendiskusikan motivasi mastery (mastery or effectance motivation) sebagai kemampuan, dan mengusulkan sinonim dari kapabilitas (kemampuan), kapasitas, efisiensi, kecakapan, dan keterampilan. White berargumentasi bahwa seseorang mempunyai sesuatu hal yang tidak bisa dipisahkan, yakni merasa dirinya mampu dan sekaligus saling berhubungan secara efektif dengan lingkungan atau dipengaruhi oleh lingkungan. Tujuan dari motivasi mastery adalah sejauh mana seseorang mempunyai keyakinan atas kapasitas yang dimilikinya (efficacy) atau dapat menguasai diri dengan baik (personal mastery), dan ini merupakan suatu kebutuhan yang hadir sejak awal. Motivasi mastery juga berperan dalam belajar anak walaupun bukan yang utama. Ketika para siswa masuk sekolah, mereka mulai mengarahkan motivasinya pada penguasaan mata pelajaran tertentu. Prestasi sekolah dan hasil belajar lainnya dihipotesiskan berasal dari motivasi mastery. Motivasi adalah atribut yang menggerakkan kita untuk melakukan sesuatu atau tidak (Grendler, 2001). Menurut Harter (1981), anak mempunyai motivasi yang berorientasi intrinsik (mastery or instricsic orientation) bila sedang belajar di kelas, yang ditentukan oleh minat yang timbul dari dirinya seperti penguasaan, keingintahuan, dan memilih sesuatu dalam menghadapi tantangan. Motivasi intrinsik mempunyai pola yang berhubungan dengan kemampuan dan pengendalian diri yang tinggi, merencanakan dan menganalisis tugas secara realistis, dan percaya dengan usaha yang dilakukannya dalam meningkatkan kemampuan dan pengendalian diri (Fincham & Chain, 1986). Anak juga memiliki motivasi yang berorientasi ekstrinsik (performance or extrinsic orientation) bila sedang belajar di kelas, yang ditentukan oleh minat yang berasal dari luar dirinya seperti restu atau petunjuk dan penilaian dari guru. Motivasi ekstrinsik yang mendorong ke arah belajar ditandai oleh pertimbangan di luar dirinya dalam melakukan suatu pekerjaan, seperti misalnya kinerja seorang siswa, penilaian dari guru, atau untuk mengantisipasi suatu penghargaan atau pujian (Goldberg, 1994).Kerangka teoritis pada penelitian Harter’s mempunyai pengaruh yang besar pada teori motivasi, dengan bertitik tolak pada argumentasi White. Harte (1983) mengusulkan suatu model tentang motivasi masteri (mastery or effectance motivation), yang menggambarkan pengaruh dari kesuksesan atau kegagalan yang dialami. Tujuan dari motivasi masteri adalah untuk memperoleh kemampuan dalam menghadapi pengaruh lingkungan seseorang (Eccles, Wigfield, and Sciefele, 1998). Harter (1980, 1981) secara operasional membangun konstruk (construct) Children’s Self Report Scale of Intrinsic versus Extrinsic Motivation in the Classroom. Instrumen itu terdiri dari 30 item yang dikelompokkan menjadi 5 skala dan masing-masing terdiri dari 6 item (3 item untuk intrinsik dan 3 item untuk ekstrinsik), yakni :
  1. Preference for challege : memilih sesuatu dalam menghadapi tantangan dan bukan mencari sesuatu dengan mudah.
  2. Curiosity : melakukan suatu pekerjaan untuk memenuhi rasa keingintahuan dan minat yang pada dirinya, tetapi bukan untuk menyenangkan guru dan memperoleh nilai yang bagus.
  3. Independent mastery : berusaha sendiri dan tidak tergantung dari guru.
  4. Independent judgment : mempertimbangkan sesuatu sendiri dan tidak hanya percaya pada pertimbangan guru atau orang lain.
  5. Internal criteria : mempunyai kriteria sendiri dalam menentukan sesuatu hal yang dianggap akan sukses atau gagal dibandingkan dengan kriteria yang berasal di luar dirinya.

Motivasi berdasar pada penguasaan (mastery or intrinsic motivation) didefinisikan oleh White sebagai kecenderungan umum yang saling berhubungan dan dipengaruhi oleh lingkungan (White, 1959). White memandang kecenderungan ini harus dihadapi secara efektif dengan memotivasi diri, karena kepuasan yang dicapai tidak bisa dipisahkan dengan perasaan senang (Harter, 1981). Motivasi yang berdasarkan pada pertimbangan (judgment motivation) berkaitan dengan skala internal criteria dan independent judgment, dan ini mencerminkan sejauh mana anak memiliki kepercayaan dibandingkan bila bersandar pada pertimbangan orang lain, dan menjadi dasar (internal maupun eksternal) dalam mengevaluasi kinerja (performance) anak di sekolah (Ginsburg & Bronstein, 1993).Entwisle dan koleganya menemukan bahwa motivasi intrinsik anak-anak muda cenderung sangat tinggi (Enrwisle, Alexander, Cadigan, & Pallas, 1986). Goldberg (1994) menyatakan bahwa motivasi intrinsik akan berkurang dengan mulai digunakannya motivasi ekstrinsik, hal itu disebabkan oleh keadaan di luar dirinya mulai memberi penghargaan atau pujian, dan cenderung berubah atau berkurang ketika umur anak meningkat. Kassin & Lepper (1984) mempertunjukkan bahwa jika anak-anak diberi pertimbangan di luar dirinya untuk mulai bekerja dan mereka menikmati kegiatan itu, mereka menduga bahwa mereka telah ikut ambil bagian dengan alasan yang disebabkan oleh keadaan di luar dirinya, dan di masa mendatang mereka cenderung tidak ikut ambil bagian dalam suatu kegiatan manakala tidak memberikan suatu penghargaan atau pujian.Beberapa peneliti telah melakukan penelitian yang berkaitan dengan motivasi siswa di kelas, antara lain Gottfried (1985) memperlihatkan ada hubungan yang signifikan antara motivasi (instrinsik) akademik dengan prestasi anak di kelas. Skala Children’s Academic Intrinsic Motivation Inventory (CAIMI) digunakan untuk mengukur motivasi intrinsik anak dalam belajar di kelas. Demikian juga Fortier (1995) dalam penelitiannya menemukan bahwa kompetensi akademik yang dirasakan siswa mempunyai hubungan positip dengan motivasi intrinsik, Boggiano et al. (1992) mengungkapkan bahwa motivasi akademik anak mempunyai pengaruh yang positip pada kinerja akademik mereka.

Saturday, May 26, 2007

Mutu Layanan Pendidikan dan Kepuasan Mahasiswa di Indonesia

Lembaga Pendidikan Tinggi tumbuh dan berkembang sebagaimana layaknya industri jasa, dan setiap saat berubah seiring dengan proses globalisasi, oleh karenanya perlu dipasarkan dan berorientasi kepada mahasiswa sebagai salah satu pelanggan lembaga, dan itu konsisten dengan kepentingan pemasaran dunia industri sektor pendidikan (Kamvounias, 1999). Perhatian pada mutu layanan pendidikan yang menekankan pada kepuasan siswa muncul dalam rangka menarik para calon siswa, melayani dan mempertahankan mereka. Peningkatan mutu pendidikan tinggi termasuk di dalamnya mutu layanan akademik dan mutu pengajaran merupakan upaya-upaya yang harus dilakukan agar kepuasan mahasiswa sebagai pelanggan lembaga pendidikan dapat diberikan secara optimal. Namun demikian ada beberapa masalah yang akan dihadapi oleh lembaga pendidikan tinggi di Indonesia pada umumnya, antara lain adalah :

• Rendahnya mutu layanan pendidikan pada sebagian besar lembaga pendidikan tinggi di Indonesia menjadi kendala dalam meningkatkan mutu pendidikan nasional, di lain pihak mutu layanan pendidikan mempunyai hubungan dengan kepuasan mahasiswa sebagai pelanggan lembaga (Greiner, 2000), dan kepuasan siswa terhadap dosen, dan program (Riportela Couste dan Torres, 2001).

• Di lain pihak kepuasan, komitmen secara emosional, kepercayaan, dan komitmen kognitif mahasiswa terhadap lembaga pendidikan tinggi mempunyai pengaruh pada loyalitas mahasiswa sebagai pelanggan (Hennig, Langer, dan Hansen, 2001).

• Masalah yang lain seperti misalnya keterbatasan sumber daya manusia, belajar, dana, fasilitas fisik lembaga, dan fasilitas pendukung lainnya akan berpengaruh pada mutu kinerja sekolah (Surono, 2005).
• Rendahnya kesejahteraan, komitmen, dan motivasi kerja dosen mempunyai pengaruh yang signifikan pada kinerja dosen, dan ini akan berpengaruh pada pada hasil belajar siswa (Haryadi, 2005).
• Masalah lain yang tidak kalah pentingnya adalah peningkatan mutu pendidikan, khususnya pendidikan tinggi telah dilakukan secara rutin dan berkelanjutan melalui evaluasi diri dan akreditasi, tetapi apakah mahasiswa sebagai pelanggan lembaga merasa puas akan layanan yang diberikan.

Beberapa penelitian yang berkaitan dengan hubungan antara mutu layanan pendidikan dan kepuasan mahasiswa, antara lain :

• Holdford & Patkar (2003) mengidentifikasi mutu layanan pendidikan Farmasi di Amerika, dan menyimpulkan bahwa semua dimensi mutu layanan pendidikan kecuali dimensi faculty communication dapat digunakan untuk menaksir item-item kepuasan mahasiswa menyeluruh.

• Riportela, Couste, & Torres (2001) melakukan kajian empirik tentang model pengukuran mutu pengajaran pada Program Master, dan menyimpulkan bahwa faktor kejelasan dan antusias dosen mengajar, partisipasinya dosen dalam kelas, kemudahan mendapatkan bahan rujukan, ketepatan waktu dalam mengajar membunyai hubungan dengan kepuasan mahasiswa terhadap dosen dan program, loyal terhadap seorang dosen untuk mata kuliah yang berbeda.

• Soemantri, H. (2006) mengidentifikasi beberapa faktor dari mutu layanan pendidikan yang berpengaruh pada kepuasan mahasiswa secara menyeluruh pada suatu lembaga pendidikan tinggi di Bandung sebagai studi kasus, dan menyimpulkan bahwa tiga faktor yang mendasari mutu layanan pendidikan (penyampaian materi perkuliahan, hubungan dosen / fakultas dengan mahasiswa, dan reputasi lembaga) berpengaruh pada kepuasan mahasiswa secara menyeluruh.

Saturday, May 19, 2007

Evaluasi Siswa Terhadap Efektivitas Pengajaran (Students’ Evaluation of Teaching Effectiveness)

Evaluasi siswa terhadap pengajaran yang efektif merupakan salah satu topik yang didiskusikan pada literatur pendidikan tinggi (Gursoy & Umbreit, 2005), dan evaluasi ini dilakukan oleh siswa terhadap dosen. Evaluasi siswa terhadap pengajaran yang efektif telah umum dilakukan pada universitas dan pendidikan tinggi di Amerika Utara dua puluh tahun terakhir ini, dan dirancang untuk mengukur mutu pengajaran. Menurut literatur (Lin, Watkins, dan Meng, 1994), evaluasi siswa terhadap efektivitas pengajaran (Students’ Evaluation of Teaching Effectiveness disingkat SETEs) telah banyak dilakukan sejak tahun 1920 atau bahkan lebih awal dari itu. Tinjauan yang dilakukan oleh Marsh dan Dunlin (1992) dalam Ling, Watkins, dan Meng (1994) mengidentifikasi bahwa : a) SETEs are multifaceted; b) SETEs stabil dan dapat dipercaya (reliable); c) SETEs sebagian besar menyangkut dosen yang memberikan pengajaran dan bukan siswa; d) SETEs merupakan indikator-indikator yang sah (valid indicators) dari pengajaran yang efektif; e) SETEs secara relatif tidak menyimpang dari variabel yang dihipotesiskan sehingga tidak terjadi penyimpangan yang potensial (SETEs are relatively unaffected by a variety of variables hypothesized as potential biases to the ratings); dan f) SETEs layak dipertimbangkan akan bermanfaat untuk para dosen sebagai umpan balik untuk peningkatan pengajaran, untuk para siswa yang akan melanjutkan pada suatu program studi ke jenjang pendidikan tinggi, dan para administrator bermanfaat untuk mengambil keputusan yang berkaitan dengan personil. Fakta menunjukkan bahwa SETEs adalah multifaceted didukung oleh sejumlah kajian empiris (Marsh, 1987). Usaha terbatas telah dilakukan untuk meneliti penggunaan instrumen evaluasi ini, dan berusaha menggeneralisasi hasil temuan penelitian terkait pada para siswa dengan kultur dan konteks pendidikan yang berbeda, seperti misalnya di negara dunia ketiga. Dalam berbagai rujukan tentang evaluasi siswa terhadap pengajaran, beberapa instrumen telah dibangun dengan beberapa faktor yang mempunyai pengaruh yang kuat pada mutu pengajaran antara lain (Marsh & Hocevar, 1990) :

1. Instrumen endeavor yang dikembangkan oleh Frey’s (Frey, Leonard & Beatty, 1975; juga oleh Marsh, 1981, 1986), terdiri dari dimensi : presentation clarity, workload, personal attentation, class discussion, organization/planning,grading, student accomplishments.
2. Deskripsi siswa berkaitan dengan pengajaran (The Student Description of Teaching / SDT), kuisener yang dikembangkan oleh Hildebrand, Wilson, dan Dienst (1971), yang terdiri dari dimensi : analytic/synthetic approach, organization/clarity, instructor group interaction, instructor individual interaction, dan dynamic/enthusiasm.

3. Instrumen SEEQ (students’ evaluation of educational quality) dikembangkan oleh Marsh (Marsh, 1982b; 1983, 1984; 198), terdiri dari dimensi learning/Value, instructor enthusiasm, organization / clarity, individual rapport, group interaction, breadth of coverage, examinations/grading, assignments / readings, dan workload / difficulty.

4. The Michigan State SIRS instrument (Warrington, 1973) terdiri dari beberapa dimensi, antara lain : instructor involvement, student interest and performance, student-instructor interaction, course demands, dan course organization.


Memperhatikan keempat instrumen yang telah dibangun di atas, dapat disimpulkan bahwa evaluasi terhadap pengajaran yang efektif terdiri dari paling sedikit tiga komponen dasar (Toland & de Ayala, 2005) :

1. Subject matter : penilaian yang meliputi evaluasi pengetahuan dosen pada subyect matter dan bagaimana pengetahuan tersebut direfleksikan ke dalam materi pengajaran. Hal itu disebabkan bahwa menguasai subject matter merupakan kemampuan mereka, dan untuk menjadi fakultas panutan atau favorit penilaian pada komponen ini merupakan sesuatu kegiatan yang mutlak harus dilakukan. Sehingga penilaian terhadap mereka secara normal akan menjadi beban dibandingkan komentar dari siswa.

2. Organization : penilaian terhadap lembaga meliputi evaluasi terhadap rancangan pengajaran (design of the course) meliputi silabus dan hal-hal yang berkaitan dengan materi pengajaran, walaupun menjadi fakultas panutan akan lebih baik jika mengevaluasi keseluruhan hubungan timbal balik antara lembaga dan apa yang terjadi di kelas. Sehingga baik evaluasi yang dilakukan fakultas secara internal maupun yang dilakukan oleh siswa secara substansial mempunyai porsi yang sama.

3. Delivery : penilaian pada bagaimana pengajaran disampaikan meliputi kemampuan dosen dalam mentransfer pengetahuan, memotivasi siswa, to encourage inquiry. Karena siswa dalam posisi sebagai penilai apa yang telah disampaikan oleh dosen dalam kurun waktu semester berjalan, dan komentar mereka akan menjadi beban secara substansial. Pengamatan terhadap fakultas yang sejenis akan menghasilkan informasi tambahan untuk melakukan evaluasi ini.

Saturday, May 12, 2007

BEBERAPA FAKTOR DARI MUTU LAYANAN AKADEMIK DAN PENGAJARAN YANG MEMPENGARUHI KEPUASAN MAHASISWA UNIVERSITAS ISLAM NUSANTARA BANDUNG

Handoyo Soemantri *)

ABSTRACT

The measure of academic service and teaching quality performance plays an important role in every quality improvement effort, especially in higher education.
The purpose of this study was to determine if a relationship existed between perceptions of academic service quality and teaching quality in higher education, to predict the overall student satisfaction by the factors of educational service and teaching quality, and to analysis the differences overall student satisfaction by student demographic. This study assesses universities students’ perceptions of services experienced at University of Islam Nusantara (UNINUS) Bandung.
The questionnaire used in this survey was based on the SERVPERF (Service Quality = Performance) scale adaptations of Cronin and Taylor (1992), that contains 20 service attributes, grouped together into five dimensions adaptations of Parasuraman et al. (1988), and SEEQ scale contains 32 attributes, grouped together into nine dimensions adaptations of Marsh’s (1982), and The Overall Students’ Satisfaction scale adaptations of Holdford and Patkar (2003), contains 7 students’ satisfaction attributes. The researchers obtain the response of 204 students from the undergraduate and graduate students’ for the study. The validity analysis conducted to analyze the overall attributes assessment, and analyse to yield five attributes omit from the analysis so that 54 attributes remained. The reliability analysis produces a Cronbach Alpha coefficient is 0.9324 and split half methods with the coefficient are 0.9065 (27 attributes) and 0.8569 (27 attributes), which is very satisfactory.
A Principal Component Analysis (PCA), using varimax rotation, was carried out on the total samples. It yielded three factors of higher education student perceptions of educational service and teaching quality, which account for 77.505 % of the variation in the data. We have labeled the three factors as : Factor 1 was labelled ‘Teaching Materials Delivery’ and was composed 29 attributes, Factor 2 consisted of 12 attributes was labeled ‘Communication of civitas academic’ , and Factor 3 was labeled ‘Institutional Reputation’ and comprised 6 attributes. Stepwise regression analyses showed the extent to which the three factors of the educational service and teaching quality predicted one or more of the overall students’ satisfaction attributes. Factor 1 predicted to four attributes (I am satisfied with the quality teaching, the extent of my intellectual development, school’s curriculum, and that the school provided me a high quality education), Factor 2 predicted to two attributes (I am satisfied with the faculty of this school and the administration of this school), and Factor 3 predicted to one attributes (I am satisfied with the school’s facilities).
Test hypothesis related to perception of the three factors not significant differences when classified according to gender, marital status, works type (governance, private sector, etc), and professions, and there is significant almost differences when classified according to work or not yet, age group, source of education fund, semester, student’s categories, and faculty.

Keywords : Educational Service Quality, Teaching Quality, Overall Students’ Satisfaction, Students’ Perception.

*) Soemantri, H. (2006). Beberapa Faktor Dari Mutu Layanan Akademik dan Pengajaran Yang Mempengaruhi Kepuasan Mahasiswa Universitas Islam Nusantara Bandung. Tesis Program Pascasarjana Manajemen Pendidikan Universitas Islam Nusantara Bandung.

Thursday, May 3, 2007

Mutu Layanan Pendidikan

Tujuan dari suatu universitas atau lembaga pendidikan tinggi di Indonesia meliputi pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, oleh karena itu bentuk layanan yang diselenggarakannya juga meliputi ketiga aspek tersebut di atas. Layanan pengajaran meliputi setiap kegiatan yang diselenggarakan di luar maupun di dalam kelas, layanan penelitian meliputi semua kegiatan penelitian baik yang dilakukan oleh dosen maupun mahasiswa, yang diselenggarakan mandiri maupun diwadahi oleh suatu lembaga. Sedangkan layanan pengabdian kepada masyarakat adalah kegiatan universitas kepada masyarakat pada umumnya berkaitan dengan hal-hal yang berguna dan bermanfaat bagi masyarakat, kegiatan ini bisa dilakukan melalui bentuk kerjasama maupun tidak. Menghimpun umpan balik berkaitan dengan berbagai aspek pendidikan dari para mahasiswa merupakan bagian yang penting dari penilaian hasil pendidikan.

Para administrator pendidikan telah membangun mekanisme untuk mendapatkan bermacam-macam umpan balik dari mahasiswa, dan selanjutnya mengevaluasi persepsi siswa mengenai pengalaman mereka selama mengikuti proses pendidikan. Beberapa peneliti menganjurkan untuk mengevaluasi persepsi siswa terhadap mutu layanan pendidikan (Allen, J. and David, D. (1991); Di Domino, E. and Bonnici, J. (1996); dan Holdford and Reinders (2001) dalam Holdford and Patkar (2003). Mutu layanan pendidikan (educational service quality) didefinisikan oleh Holdford and Reinders (2001) sebagai : mengevaluasi layanan yang diterima (service received) oleh mahasiswa secara menyeluruh sebagai bagian dari pengalaman pendidikan (educational experience) mereka, meliputi bermacam-macam kegiatan di dalam dan di luar kelas, seperti pengajaran di kelas, interaksi antara siswa dan fakultas, fasilitas pendidikan, dan hubungan antara siswa dengan staf administrasi lembaga.

Beberapa peneliti tersebut di atas menyatakan bahwa umpan balik dari para siswa berkaitan dengan layanan pendidikan bermanfaat untuk berbagai keperluan, seperti misalnya untuk program perbaikan mutu pendidikan, mengidentifikasi gap (kesenjangan) antara persepsi siswa dan pendidik berkaitan dengan pendidikan yang diselenggarakan oleh sebuah lembaga, dan juga dapat digunakan sebagai alat strategik untuk program pemasaran pendidikan. Beberapa kajian empirik telah dilakukan oleh para peneliti untuk mengevaluasi mutu layanan pendidikan, dan mereka umumnya merujuk dari apa yang dilakukan peneliti bidang pemasaran. Para peneliti memulai dengan menggunakan lima dimensi mutu dari Zeithaml, Parasuraman, dan Berry (1990) untuk mencoba mengidentifikasi dimensi mutu layanan yang cocok untuk bidang pendidikan, khususnya pendidikan tinggi, yakni :
•Tangibles : penampilan fisik lembaga, peralatan, pegawai dan sarana komunikasi.
• Reliability : kemampuan untuk memberikan layanan sebagaimana yang dijanjikan, terpercaya, akurat, dan konsisten.
•Responsiveness : kemauan untuk membantu pelanggan dan memberikan layanan dengan cepat.
•Assurance (kombinasi dari competence, courtesy, credibility, security) : kemampuan staf lembaga untuk memberikan kepercayaan kepada pelanggan melalui rasa hormat dan pengetahuan yang mereka miliki.
•Empathy (kombinasi dari acess, communication, understanding the customer) : perhatian staf lembaga yang diberikan kepada pelanggan secara individu.

Dalam Othman dan Owen (2000), dijelaskan bahwa alat (tool) untuk mengukur mutu layanan yang populer adalah SERVQUAL, suatu instrumen yang dirancang oleh tim peneliti bidang pemasaran (Parasuraman, Berry, dan Zeithaml (1985, 1988, 1990, 1991, 1993, 1994), sedangkan menurut Cronin dan Taylor (1992) dalam Zhiltsov (2006 : 12), membangun model untuk mengukur mutu layanan hanya cukup dengan mengukur kinerja (performance) mutu layanan dan mereka menyebutnya sebagai instrumen SERVPERF. Beberapa kajian empirik yang dilakukan oleh peneliti mencoba untuk mengidentifikasi dimensi mutu layanan yang cocok untuk pendidikan, antara lain :
• Holford & Patkar (2003 : 4-5) : mengidentifikasi mutu layanan Pendidikan Tinggi Farmasi di Amerika, yakni : administration, interpersonal personal behaviour of faculty, faculty communication, facilities, dan faculty expertise.
• Nangalinggam & Sivanand (2004) : melakukan kajian komparatif kepuasan mahasiswa perguruan tinggi negeri & swasta di Malaysia, dan mengidentifikasi : service product, administration, lecturers, dan facilities.
• Snipes & Thomson (1999 : 51) : melakukan kajian empirik berkaitan dengan beberapa faktor yang mendasari persepsi mahasiswa, yakni : employee empathy, employee competence & reliability, dan tangibles of the work environment.
• Athiyainan & O’Donnell (1993) : melakukan kajian empirik berkaitan dengan mutu pendidikan tinggi yang berkelanjutan, khususnya pada program MBA di Finlandia, dan berhasil mengidentifikasi : technical quality, functional quality, interaction quality, dan utility.
• Soemanrtri, H. (2006) : melakukan kajian empirik berkaitan dengan beberapa faktor dari mutu layanan pendidikan (teaching material delivery, communication of civitas academic, dan institutional reputation) yang mempengaruhi kepuasan mahasiswa menyeluruh.

Saturday, April 28, 2007

Mahasiswa Sebagai Pelanggan Lembaga Pendidikan Tinggi Dalam Perspektif Manajemen dan Pemasaran

Konsep pemasaran yang dipelajari di sekolah bisnis membantah bahwa kebutuhan pelanggan menjadi fokus perusahaan dalam mendefinisikan tujuan bisnisnya dan laba dihasilkan melalui terciptanya kepuasan pelanggan (Snipes, Thomson, 1999). Oleh karena itu memenangkan strategi bisnis harus dimulai dengan suatu analisis yang menyangkut kinerja yang telah dicapai perusahaan dibandingkan dengan harapan pelanggan, khususnya layanan yang diberikan oleh industri. Smith dan Morgan (1990) menjelaskan bahwa staf administrasi dan akademik lembaga pendidikan tinggi tidak bisa lagi mengabaikan kebutuhan mahasiswa yang spesifik sebagai konsumen, yakni keinginan dan kepuasan mahasiswa harus bersesuaian. Hal ini disebabkan karena kebutuhan akan pemasaran lembaga pendidikan tinggi, khususnya di Indonesia mendapat porsi yang besar saat ini berkaitan dengan beberapa faktor seperti misalnya keterbatasan dana, meningkatnya program dan kebutuhan akan layanan, serta meningkatnya kompetisi lembaga pendidikan tinggi sejenis. Bagaimanapun pendidikan tinggi yang berorientasi hanya menjual jasa masih lazim dilakukan, karena tampaknya lembaga pendidikan tinggi masih memusatkan perhatiannya pada kebutuhan mereka sendiri dan mempertimbangkan mahasiswa hanya sebatas sebagai masukan untuk memuaskan kebutuhan lembaga. Ada beberapa pertimbangan yang mungkin berkaitan pada fokus kepuasan pelanggan lembaga pendidikan tinggi, mungkin ini karena alasan pertimbangan ekonomi sehingga kepuasan mahasiswa sebagai pelanggan tidak bisa direalisasikan seketika. Hasil penelitian menyatakan bahwa usaha untuk meningkatkan kepuasan mahasiswa sebagai pelanggan lembaga terutama akan berpengaruh pada masa depan mahasiswa, oleh karena itu jika pertumbuhan ekonomi sudah pulih maka meningkatkan kepuasan pelanggan akan dapat direalisasikan dalam waktu yang akan datang (Anderson, Fornell & Lehmann, 1994). Alasan yang lain bahwa kepuasan pelanggan tidak menjadi fokus mungkin disebabkan oleh mutu layanan, walaupun mutu layanan dianggap penting tetapi sulit untuk mendefinisikan, mengukur, dan memelihara. Beberapa peneliti setuju bahwa mutu layanan terabaikan dan secara abstrak sulit untuk mendefinisikan dan mengukurnya (Cronin & Taylor, 1992; Carman, 1990).

Persepsi pelanggan (mahasiswa) pada mutu layanan (pendidikan) tidak perlu sama dengan persepsi lembaga tentang mutu layanan yang disampaikannya, dan itu sulit mengukurnya. Beberapa perusahaan secara sederhana bahwa mutu hanya diukur dalam perspektif proses produksi saja (Gronroos, 1990). Namun saat ini perusahaan mulai menyadari bahwa ukuran mutu yang dihasilkan tidak sesuai dengan persepsi pelanggan terhadap mutu, dan ini juga terjadi pada lembaga pendidikan, sehingga akhirnya hanya pelanggan dan bukan manajemen yang harus diperhitungkan dalam pasar yang penuh persaingan untuk merebut pelanggan. Kepuasan dan persepsi pelanggan (mahasiswa) akan menjadi pendorong pergeseran mutu. Beberapa peneliti pemasaran mengusulkan bahwa beberapa keuntungan yang diperoleh dari pelanggan perlu ditingkatkan. Kepuasan mempunyai dua bentuk dasar, yakni kemampuan perusahaan (lembaga pendidikan) untuk menarik pelanggan (mahasiswa) baru perlu ditingkatkan, dan kemampuan dari perusahaan (lembaga pendidikan) untuk memelihara pelanggan atau loyalitas pelanggan (Karat, Zahorik, & Keiningham, 1995).