Wednesday, June 27, 2007

Motivasi Otonom dalam perspektif Self-Determination

Teori self- determination mengusulkan tiga jenis motivasi yang berbeda, yakni motivasi intrinsic (muncul dari dirinya), ekstrinsik (muncul dari dirinya), dan amotivation (Deci & Ryan,1985; Ryan & Deci, 2000). Pengelompokkan itu didasarkan pada apakah dan untuk apa perilaku seseorang ditentukan, yakni untuk membantu kita dalam memahami motivasi otonom (otonomous motivation) yang digunakan dalam kajian ini. Oleh karema itu marilah kita amati tiga jenis motivasi tersebut yang diusulkan dalam teori self-determination.
  • Motivasi intrinsik mengacu pada suatu tugas, dan itu merupakan sesuatu hal yang penting, karena suatu kepuasan dan kesenangan akan diperoleh dari tugas yang telah dikerjakannya (Deci, Vallerand, Pelletier, Blais, Briere, Senecal & Valleries, 1992). Jika siswa termotivasi secara intrinsik, ia akan melaksanakan tugas dengan perilaku tanpa mengharapkan suatu pujian atau tanpa menghiraukan kendala yang ada di luar dirinya. Sebagai contoh, jika seorang siswa membaca suatu artikel dan mendapatkan kesenangan dari membaca itu, maka dikatakan bahwa siswa itu termotivasi secara intrinsik.
  • Jika seorang siswa melaksanakan tugas dengan perilaku yang muncul dari luar dirinya dan sifatnya sebagai bantuan, maka siswa itu termotivasi ekstrinsik (Deci & Ryan, 1985). Walaupun motivasi ekstrinsik mula-mula dianggap sebagai perilaku yang bisa dibisikkan dari ketidakpastian yang ada di luar dirinya (Harter, 1978), teori self-determination mengusulkan sebagai fakta sepanjang merupakan suatu rangkaian dari self-regulation (pengataturan diri). Oleh karena disebabkan oleh keadaan di luar dirinya, maka diusulkan tiga jenis motivasi ekstrinsik yang berbeda, yakni pengaturan dari luar dirinya (external regulation), introjection regulation, dan identification regulation.
  • Pengaturan dari luar dirinya (external regulation) sama dengan motivasi ekstrinsik sebagaimana diutarakan pada literatur lama. Motivasi jenis ini terjadi manakala perilakunya diatur oleh beberapa kendala atau penghargaan/pujian dari luar dirinya (Deci & Ryan, 1985). Sebagai contoh motivasi akan terjadi pada seorang mahasiswa membaca suatu jurnal, karena diwajibkan oleh pembimbing tesisnya.
  • Jenis kedua dari motivasi ekstrinsik adalah introjection regulation, yakni tidak menerima pengaturan dari luar secara penuh akan tetapi sebahagian berasal dari dirinya (Ryan & Deci, 2000). Sumber motivasi yang datang dari luar dirinya yang kemudian menjadi berasal dari dirinya, kehadirannya tidak lagi diperlukan untuk memulai suatu perilaku (Deci et al., 1991). Beberapa perilaku dilakukan untuk menghindari rasa bersalah atau adanya rasa ketertarikan. Perlu dicatat di sini bahwa internalisasi jenis ini bukan merupakan kasus dari self-determination, hal ini disebabkan adanya pembatasan internalisasi peristiwa yang terjadi di luar dirinya. Sebagai contoh, seorang mahasiswa menamatkan studinya untuk membuktikan bahwa dirinya mampu mencapai derajad yang lebih tinggi dan ini menandakan bahwa ia telah melakukan regulasi introjected.
  • Identification regulation adalah operasi yang dilakukan manakala seseorang telah dapat menghargai suatu pengaturan atau tujuan suatu perilaku dan menerima tindakan yang secara pribadi berharga. Walaupun aktivitas masih dilakukan dengan pertimbangan yang disebabkan oleh keadaan di luar dirinya, namun secara internal diatur dan ditentukan oleh dirinya (Deci & Ryan, 1985, Ryan & Deci, 2000, Vallerand et al., 1991). Jika dari contoh di atas apabila mahasiswa menamatkan sekolah disebabkan ia merasakan bahwa sekolah akan membantu dalam mempersiapkan karirnya di masa depan, maka ia telah melakukan dia telah melakukan identification regulation.
  • Deci dan Ryan (1985) tertantang sekali untuk memahami perilaku manusia pada jenis motivasi ketiga (mereka menyebutnya amotivation) yang harus dipertimbangkan. Motivasi jenis ini sangat serupa dengan konsep tentang ketidakberdayaan belajar / learner helplessness (Abramson et al., 1978). Bentuk motivasi ini terjadi manakala seseorang tidak tahu dengan pasti antara tindakan mereka lakukan dan hasil yang mereka capai. Pengalaman seseorang yang amotivated, mereka merasa tidak cakap (tidak punya kompetensi) dan ketidak adanya pengendalian diri atas hasil yang akan dicapai atau hasil yang dipikirkan dalam memotivasi perilaku manusia. Perilaku amotivated sangat kurang dalam menentukan sesuatu yang seharusnya bisa ditentukannya sendiri. Seseorang yang amotivated merasa tidak kompeten dan dengan begitu mereka merasa tidak akan bisa mengendalikan hasil yang ingin dicapainya (Ryan & Deci, 2000; Vallerand et al., 1992). Suatu contoh amotivation bisa terjadi pada seorang mahasiswa yang telah menematkan sekolahnya, akan tetapi ia tidak bisa melihat hubungan antara usaha yang telah dilakukannya pada saat kuliah dengan hasil setelah ia menamatkan kuliahnya.
  • Riset terbaru pada berbagai format yang berorientasi pada motivasi telah dikombinasikannya dengan hal-hal yang berkaitan dan berkontribusi mereka ke pada hasil-hasil yang dicapai pada bidang pendidikan, khususnya prestasi akademik. Penelitian ini berfokus pada topik dengan menggabungkan bentuk motivasi dalam perspektif self-detemined yang mempunyai hubungan dengan kineja akademik (Grolnick & Ryan, 1987; Fortier, Vallerand & Guay, 1995). Dengan merujuk pada beberapa kajian literatur di atas, motivasi intrinsik dan identification regulation (bentuk motivasi ekstrinsik) diberi label motivasi otonomi (auotonomous motivation), sedangkan introjection dan external regulation dipertimbangkan sebagai motivasi yang tidak otonom (non-autonomous motivation).
  • Berdasarkan konsep dari beberapa peneliti, untuk mengevaluasi ketiga jenis motivasi tersebut, Vallerand et al. (1992) telah membangun ‘Academic Motivation Scale’ (AMS) yang terdiri dari 28 item. Beberapa peneliti yang lain, di antaranya Shia (www.cet.edu/research/pdf/motivation.pdf) mengembangkan mengembangkan Academic Motivation Scale yang terdiri dari 60 item dan dikelompokkan ke dalam 6 faktor. 2 faktor merupakan motivasi intrinsik, yakni mastery goals dan needs for achievement, sedangkan 4 faktor yang lain yakni : authority expectations, peer acceptance, power motivation, dan fear of failure merupakan motivasi ekstrinsik. Walaupun motivasi ekstrinsik dapat dibedakan dalam tiga jenis regulasi seperti di atas, namun menurutnya motivasi ekstrinsik jenis power motivation dan fear of failure tidak terdapat di dalamnya.

Sunday, June 17, 2007

Gaya Orangtua dan Motivasi Anak di Kelas

Motivasi anak di kelas selain bisa timbul dari dirinya juga bisa jadi dipengaruhi oleh lingkungan di mana ia tinggal, salah satunya adalah peran orangtua dalam mendidik anaknya. Beberapa penelitian telah dilakukan oleh banyak peneliti yang berkaitan dengan hal itu, di antaranya : Cramer (2002) meneliti pengaruh gaya orangtua dalam mendidik terhadap motivasi anaknya, Ginsburg & Brostein ( 1993) meneliti beberapa faktor yang berhubungan dengan motivasi anak yang berorientasi intrinsik dan ekstrinsik dan kinerja akademik mereka. Model sebagai faktor penentu pendidikan anak dikembangkan oleh Belsky’s (1984) dan dikelompokkan dalam tiga domain, yakni : 1) bersumber secara psikologis pada pribadi kedua orangtua, 2) karakteristik anak, 3) bersumber pada lingkungan yang mendukung atau tidak, termasuk di dalamnya hubungan kedua orangtuanya, sosial, dan apa yang dialami oleh orangtua dalam pekerjaannya.Gaya orangtua (parenting style) dalam mendidik anak dikelompokkan menjadi tiga gaya (Baumrind, 1978), yakni : authoritarian (perilaku dan sikap orangtua terhadap anak yang ditandai dengan kehangatan yang rendah, tetapi dengan pengendalian yang tinggi), permissive (perilaku dan sikap orangtua terhadap anak yang ditandai dengan kehangatan yang tinggi, tetapi dengan pengendalian yang rendah), dan authoritative (perilaku dan sikap orangtua terhadap anak yang ditandai dengan kehangatan dan pengendalian yang tinggi). Gaya orangtua ini diukur menggunakan skala ‘The Primary Caregivers Practices Report’ (PCPR, Robinson et al., 1995) lewat survey, di mana skor yang diperoleh akan menilai sejauh mana gaya orangtua atau wali sebagai authoritarian, permissive, atau authoritative, dan juga untuk menilai sosio-ekonomi keluarga dan karakteristik orangtua.Motivasi anak di kelas merupakan ukuran sejauh mana motivasi intrinsik anak dalam mengikuti kegiatan di kelas (Harter, 1981) dan diukur menggunakan dua skala, yakni ‘The Self-Report Scale of Intrinsic versus Extrinsic Motivation in the Classroom’ (Harter, 1981) dan ‘The Teacher-Report Scale of Intrinsic versus Extrinsic Motivation in the Classroom’ (Harter, 1981). Instrumen pertama yang terdiri dari 30 item dan dikelompokkan dalam lima skala. Untuk mengukur motivasi anak yang berorientasi pada penguasaan (mastery motivation) menggunakan skala Curiosity, Independent Mastery, dan Preference for Challenge, dan untuk mengukur motivasi anak yang berorientasi pada bagaimana mereka mengemukakan pendapat (judgment motivation) menggunakan skala Independent Judgment dan Internal criteria. Instrumen kedua terdiri dari 10 item untuk mengukur persepsi guru terhadap motivasi intrinsik anak secara menyeluruh.Selanjutnya untuk melengkapi analisis data yang diperoleh dari survey menggunakan ketiga instrumen di atas, diambil sebagai variabel kontrol adalah usia, pendidikan, suku, pendapatan, pekerjaan, status perkawinan orangtua, jenis kelamin anak dan kelas jika memang dibutuhkan.

Friday, June 15, 2007

Meneliti Perbedaan Antar Gender Terhadap Motivasi Akademik Siswa Sekolah Menengah Atas

Salah satu pertimbangan yang penting dalam meneliti motivasi akademik siswa adalah karena pengaruhnya yang signifikan terhadap belajar siswa di kelas. Sebagai konsekwensinya, motivasi dan belajar siswa merupakan dua variabel yang perlu dianalisis. Meskipun dalam beberapa tahun penelitian yang berkaitan dengan belajar siswa di kelas telah banyak dilakukan, namun perhatiannya hanya ditujukan pada aspek kognitif. Beberapa peneliti, diantaranya adalah Broussard (2002) dan Rusillo & Arias (2004) melakukan penelitian dari perspektif yang berbeda, yakni penelitian yang ditekankan pada hubungan antar (interrelation) aspek-aspek koginitif dan motivasi.
Penelitian Rusillo & Arias bertujuan meneliti apakah ada perbedaan jika dikelompokkan menurut gender terhadap variabel-variabel yang ditinjau dari aspek kogninif dan motivasi, seperti beberapa atribut yang menjadi penyebab (causal attributes), beberapa tujuan belajar (learning goals), konsep diri terhadap akademik (academic self-concept), beberapa strategi belajar yang signifikan (significant learning strategies) dan kinerja sekolah yang akan dicapai dalam mata pelajaran matematika dan bahasa.
Sesuai dengan tujuan penelitian, mereka memilih sampel sebanyak 521 siswa berusia antara 14-18 tahun, 285 di antaranya wanita dan sisanya pria. 252 siswa SMA yang dipilih duduk di kelas 9 dan sisanya di kelas 10 di propinsi Jaen Spanyol. Beberapa kuisener dipilih sesuai dengan keperluan penelitian itu, antara lain :
1. AFA (Musitu, Garcia, & Gutierres, 1994) : digunakan untuk mengevaluasi konsep diri siswa.
2. MAPE-II (Montero & Alonso, 1992) : untuk menentukan motivasi yang berorientasi intrinsik atau ekstrinsik, dievaluasi tujuan-tujuan yang harus dicapai oleh siswa pada lingkungan psikososial di kelas (sekolah) dengan melihat skor yang diperoleh oleh siswa pada faktor ‘Motivation for learning’ dan ‘Seeking positive competency judgments’ dari kuisener ini.
3. EMA-II (Alonso, Montero & Mateos (1992) : untuk melihat atribut yang menyebabkan siswa dalam situasi sukses atau gagal yang diperoleh dari 6 skala dari kuisener ini. Kuisener ini didesain untuk mengevaluasi seberapa jauh faktor-faktor internal (usaha dan kemampuan) berkontribusi pada kegagalan atau kesuksesan siswa, dan faktor eksternal atau aspek yang berhubungan dengan guru.
4. Learning and Study Strategies Inventory (LASSI; Weinstein, 1987) : strategi siswa yang diarahkan pada belajar yang komprehensif dan signifikan, diukur melalui skor yang diperoleh lewat skala ‘Information Processing Strategies’, ‘Self-evaluation Strategies, dan ‘Support Strategies’ dari kuisener LASSI. Di samping itu juga para siswa juga ditanya tentang laporan kemajuan akademik mereka dalam mata pelajaran matematika dan bahasa.

Hasil dari penelitian mereka antara lain adalah terdapat perbedaan jika dikelompokkan menurut gender terhadap variabel-variabel yang menjadi pertimbangan pada penelitian mereka, dengan siswi mempunyai motivasi ekstrinsik lebih rendah dibandingkan dengan siswa, lebih bertanggung jawab terhadap kegagalan mereka, menggunakan Information Processing Strategies diperoleh informasi bahwa siswi hasilnya lebih baik pada mata pelajaran bahasa dibandingkan siswa, tidak terdapat perbedaan jika dikelompokkan menurut gender pada aspek konsep diri terhadap akademik, motivasi intrinsik, atribut yang berhubungan dengan kesuksesan, dan kinerja yang dicapai pada mata pelajaran matematika.


Dirujuk dari :
Rusillo, M.T.C. & Arias, P.F.C. (2004). Gender Differences in academic motivation of
secondary school students. Electronic Journal of Research on Educational Psychology, 2 (1), 97, 112. ISSN : 1696-2095(2004).

Sunday, June 3, 2007

Motivasi Kelas (Classroom Motivation)

Sejak awal para ahli psikologi yang mendalami teori motivasi mencoba untuk menjelaskan motivasi di beberapa bidang kajian yang berbeda dan di beberapa jenis perilaku (Weiner, 1990). White (1959 : 317-318) mendiskusikan motivasi mastery (mastery or effectance motivation) sebagai kemampuan, dan mengusulkan sinonim dari kapabilitas (kemampuan), kapasitas, efisiensi, kecakapan, dan keterampilan. White berargumentasi bahwa seseorang mempunyai sesuatu hal yang tidak bisa dipisahkan, yakni merasa dirinya mampu dan sekaligus saling berhubungan secara efektif dengan lingkungan atau dipengaruhi oleh lingkungan. Tujuan dari motivasi mastery adalah sejauh mana seseorang mempunyai keyakinan atas kapasitas yang dimilikinya (efficacy) atau dapat menguasai diri dengan baik (personal mastery), dan ini merupakan suatu kebutuhan yang hadir sejak awal. Motivasi mastery juga berperan dalam belajar anak walaupun bukan yang utama. Ketika para siswa masuk sekolah, mereka mulai mengarahkan motivasinya pada penguasaan mata pelajaran tertentu. Prestasi sekolah dan hasil belajar lainnya dihipotesiskan berasal dari motivasi mastery. Motivasi adalah atribut yang menggerakkan kita untuk melakukan sesuatu atau tidak (Grendler, 2001). Menurut Harter (1981), anak mempunyai motivasi yang berorientasi intrinsik (mastery or instricsic orientation) bila sedang belajar di kelas, yang ditentukan oleh minat yang timbul dari dirinya seperti penguasaan, keingintahuan, dan memilih sesuatu dalam menghadapi tantangan. Motivasi intrinsik mempunyai pola yang berhubungan dengan kemampuan dan pengendalian diri yang tinggi, merencanakan dan menganalisis tugas secara realistis, dan percaya dengan usaha yang dilakukannya dalam meningkatkan kemampuan dan pengendalian diri (Fincham & Chain, 1986). Anak juga memiliki motivasi yang berorientasi ekstrinsik (performance or extrinsic orientation) bila sedang belajar di kelas, yang ditentukan oleh minat yang berasal dari luar dirinya seperti restu atau petunjuk dan penilaian dari guru. Motivasi ekstrinsik yang mendorong ke arah belajar ditandai oleh pertimbangan di luar dirinya dalam melakukan suatu pekerjaan, seperti misalnya kinerja seorang siswa, penilaian dari guru, atau untuk mengantisipasi suatu penghargaan atau pujian (Goldberg, 1994).Kerangka teoritis pada penelitian Harter’s mempunyai pengaruh yang besar pada teori motivasi, dengan bertitik tolak pada argumentasi White. Harte (1983) mengusulkan suatu model tentang motivasi masteri (mastery or effectance motivation), yang menggambarkan pengaruh dari kesuksesan atau kegagalan yang dialami. Tujuan dari motivasi masteri adalah untuk memperoleh kemampuan dalam menghadapi pengaruh lingkungan seseorang (Eccles, Wigfield, and Sciefele, 1998). Harter (1980, 1981) secara operasional membangun konstruk (construct) Children’s Self Report Scale of Intrinsic versus Extrinsic Motivation in the Classroom. Instrumen itu terdiri dari 30 item yang dikelompokkan menjadi 5 skala dan masing-masing terdiri dari 6 item (3 item untuk intrinsik dan 3 item untuk ekstrinsik), yakni :
  1. Preference for challege : memilih sesuatu dalam menghadapi tantangan dan bukan mencari sesuatu dengan mudah.
  2. Curiosity : melakukan suatu pekerjaan untuk memenuhi rasa keingintahuan dan minat yang pada dirinya, tetapi bukan untuk menyenangkan guru dan memperoleh nilai yang bagus.
  3. Independent mastery : berusaha sendiri dan tidak tergantung dari guru.
  4. Independent judgment : mempertimbangkan sesuatu sendiri dan tidak hanya percaya pada pertimbangan guru atau orang lain.
  5. Internal criteria : mempunyai kriteria sendiri dalam menentukan sesuatu hal yang dianggap akan sukses atau gagal dibandingkan dengan kriteria yang berasal di luar dirinya.

Motivasi berdasar pada penguasaan (mastery or intrinsic motivation) didefinisikan oleh White sebagai kecenderungan umum yang saling berhubungan dan dipengaruhi oleh lingkungan (White, 1959). White memandang kecenderungan ini harus dihadapi secara efektif dengan memotivasi diri, karena kepuasan yang dicapai tidak bisa dipisahkan dengan perasaan senang (Harter, 1981). Motivasi yang berdasarkan pada pertimbangan (judgment motivation) berkaitan dengan skala internal criteria dan independent judgment, dan ini mencerminkan sejauh mana anak memiliki kepercayaan dibandingkan bila bersandar pada pertimbangan orang lain, dan menjadi dasar (internal maupun eksternal) dalam mengevaluasi kinerja (performance) anak di sekolah (Ginsburg & Bronstein, 1993).Entwisle dan koleganya menemukan bahwa motivasi intrinsik anak-anak muda cenderung sangat tinggi (Enrwisle, Alexander, Cadigan, & Pallas, 1986). Goldberg (1994) menyatakan bahwa motivasi intrinsik akan berkurang dengan mulai digunakannya motivasi ekstrinsik, hal itu disebabkan oleh keadaan di luar dirinya mulai memberi penghargaan atau pujian, dan cenderung berubah atau berkurang ketika umur anak meningkat. Kassin & Lepper (1984) mempertunjukkan bahwa jika anak-anak diberi pertimbangan di luar dirinya untuk mulai bekerja dan mereka menikmati kegiatan itu, mereka menduga bahwa mereka telah ikut ambil bagian dengan alasan yang disebabkan oleh keadaan di luar dirinya, dan di masa mendatang mereka cenderung tidak ikut ambil bagian dalam suatu kegiatan manakala tidak memberikan suatu penghargaan atau pujian.Beberapa peneliti telah melakukan penelitian yang berkaitan dengan motivasi siswa di kelas, antara lain Gottfried (1985) memperlihatkan ada hubungan yang signifikan antara motivasi (instrinsik) akademik dengan prestasi anak di kelas. Skala Children’s Academic Intrinsic Motivation Inventory (CAIMI) digunakan untuk mengukur motivasi intrinsik anak dalam belajar di kelas. Demikian juga Fortier (1995) dalam penelitiannya menemukan bahwa kompetensi akademik yang dirasakan siswa mempunyai hubungan positip dengan motivasi intrinsik, Boggiano et al. (1992) mengungkapkan bahwa motivasi akademik anak mempunyai pengaruh yang positip pada kinerja akademik mereka.